Empat Belas

1329 Words
“Sampai jumpa lagi besok,” pamit Leo, lau berdiri, menggeliat dan menyambar botol terakhir. “Aku perlu tumpangan,” sahut Sancho. “Sudah waktunya kah, sekarang?” tanya David pada Leo. “Tiba waktunya bagi semua pencuri yang taat untuk segera menyelinap keluar dari selokan.” “Aku akan libur beberapa hari,” tutur Leo. “Aku lakukan itu untuk menghormati Pelatih Mag.” “Menyentuh sekali. Kalau begitu, akan aku kirim pulang semua bocah yang sedang bertugas malam karena kau tidak akan membuka toko.” “Lakukan saja sesukamu, David.” Leo, Sancho, dan Bruno berjalan menuruni bangku tribun dengan langkah yang tidak stabil, tangga logam berdentang seiring sentuhan tangan mereka. “Dia akan dipenjara lagi selama dua belas tahun,” kata David seiring ketiga orang itu pergi dan menyusuri running track. “Pastikan kalau bank milikmu bersih, Lennon.” “Kau tak perlu khawatir.” Nicki merasa punggungnya sudah cukup lelah untuk menahannya duduk selama hampir empat jam. Tidak lama setelah ketiga orang tadi menghilang dari lapangan, Nicki berdiri dan berkata, “Aku pun harus segera pergi.” “Aku kira kau akan mampir dulu untuk makan malam,” kata Denis mencoba menahannya. “Saat ini aku sama sekali tidak lapar. Gimana kalau besok malam?” “Julia akan sangat kecewa.” “Suruh dia untuk simpan sisa makanannya buat besok. Selamat malam, David, Robert. Aku yakin dalam waktu dekat kita akan berjumpa lagi.” Lututnya terasa kaku sekali, seperti enggan diajak kerja sama untuk melangkah. Nicki berusaha mati-matian ketika menuruni tangga-tangga sialan itu. Dia berusaha untuk tidak terlihat tertatih-tatih di depan mereka. Kalau tidak, topik mengenai kekerasan yang tidak perlu itu akan tetap diulang-ulang. Sampai di running track, dia merasa otot, sendi di sekitar lututnya nyaris seperti tidak berfungsi hingga membuatnya hampir ambruk. Lututnya gemetar, seperti tusukan-tusukan kecil namun terasa tajam menghunjam sampai terasa di pangkal paha. Oleh karena kejadian seperti itu sudah lazim menimpanya, dia sudah cakap mengatasi itu dengan mengangkat kakinya dan segera memindahkan seluruh beban tubuhnya ke kaki kanan, dan tetap berjalan seolah semuanya terlihat normal. *** (PINDAH PLOT) HARI RABU   Di etalase yang terdapat pada setiap toko yang ada di sekitar alun-alun Lambeth, terupdate jadwal pertandingan sepak bola yang berwarna merah dengan ukuran yang cukup besar, seolah-olah itu diperlukan oleh para pelanggan dan para penduduk kota untuk mengingat kalau Red Circle bertanding pada setiap hari Jumat malam.  Dan di setiap toko terdapat tiang lampu yang berkibar spanduk berwana merah dan putih yang dipasang setiap akhir bulan Agustus dan diturunkan saat musim pertandingan berakhir. Saat dia tengah bersepeda melintas di sepanjang trotoar, Nicki merasa bahwa tradisi memasang spanduk itu tak ada yang berubah. Jadwal-jadwal merah besarnya masih tetap sama pada setiap tahunnya—konteks pertandingannya dicetak dalam huruf tebal, di sekelilingnya dipenuhi wajah para senior yang tersenyum dan beberapa sponsor dari medis setempat—yang merupakan perintis bisnis yang ada di Lambeth. Ketika memasuki Nineteen Café, satu langkah mengekor di belakang Denis, Nicki berusaha dengan keras untuk tetap tersenyum dengan mencoba menarik napasnya dalam-dalam. Bagaimanapun juga, mereka ini dulu adalah pemuja dirinya. Bau yang sepertinya berasal dari sesuatu yang dipanggang menghantam di pintu, suara panci berdentang di kejauhan. Bau dan bunyi suara itu itu tak berubah semenjak ayahnya membawa dirinya ke Nineteen untuk sekadar menikmati cokelat hangat pada Sabtu pagi, beriringan dengan kebiasaan para penduduk setempat yang rutin mengingat kembali dan membicarakan dengan gaduh topik mengenai kemenangan terbaru Red Circle. Salah satu aspek historis yang menarik adalah ketika sepanjang musim pertandingan, para pemain sepak bola bisa mendapatkan makanan gratis selama satu kali dalam seminggu di Nineteen’s, hal itu merupakan tindakan sederhana. Dan bagian menariknya adalah yaitu saat Nineteen’s mengizinkan para pemain kulit hitam mendapatkan perlakuan keistimewaan yang sama. Fakta tersebut tidak lepas dari campur tangan James Maggie yang membuat kafe itu menjadi perintis utama peleburan etnik tanpa intervensi particular dari penguasa. Denis berbasa-basi kepada sebagian besar orang yang saat itu sedang menekuri kopi mereka masing-masing, sambil tetap berjalan ke bilik dekat jendela. Nicki mengangguk takzim pada mereka layaknya seorang penduduk biasa dan secara sengaja menghindari kontak mata. Dan xketika mereka menyelinap masuk dan merih tempat duduk masing-masing, rahasia besarnya terungkap. Andrea Nicki sungguh kembali ke kota! Dindingnya dipenuhi riwayat jadwal sepak bola lama, beberapa artikel bersumber dari media yang terbingkai rapi, spanduk khas Red Circle dan beberapa jejak tanda tangan dari para pemain, foto tim dari masa ke masa, refleksi fragmentaris dari setiap pertandingan penting juga terpampangan di sana, foto hitam-putih besar para pemain yang paling dikenang dan hebat pada masa kejayaan Red Circle. Foto Nicki dipasang di atas mesin kasir, itu merupakan foto dirinya di tahun terakhirnya, bergaya dengan kaki yang menginjak bola seolah siap ditendang ke arah kamera: tanpa senyum, tangan terlipat di depan d**a, rambut yang mulai panjang, janggut dan jambang yang berusia lima hari, pandangan yang tertuju ke kejauhan, seperti memimpikan kemegahan di masa depan. “Kau sangat manis saat itu,” ucap Denis. “Perasaan seperti baru terjadi kemarin, dan kalau dipikir-pikir lagi rasanya seperti mimpi.” Di tengah-tengah dinding terdapat altar pemujaan bagi James Maggie—sebuah foto dirinya yang berukuran cukup besar, mentereng di dekat tiang gawang, dan di bawahnya tercatat rekorny—420 kemenangan- 58 kekalahan- 15 gelar juara negara bagian. Menurut gosip yang terdengar sayup-sayup subuh tadi, Maggie masih mampu bertahan hidup. Dan seisi kota masih memperhatikan kabar terbaru terkait kondisi dirinya. Perbincangan yang berlangsung hanya dipenuhi dengan bisikan—tak ada tawa, tak ada guyonan, tak ada topik lain yang aneh-aneh, tak satu pun yang membawa celotehan politik. Pramusaji bertubuh mungil mengenakan seragam kombinasi merah dan putih menyuguhkan kopi dan mencatat beberapa pesanan mereka. Dia kenal dengan Denis, tapi asing dengan seorang laki-laki yang duduk bersamanya. “Apa Steve masih ada?” tanya Nicki. “Di panti jompo,” jawab Denis. Selama puluhan tahun, Steve Nineteen menghidangkan kopi yang masih mendidih dan telur yang masih berminyak. Dia pun dengan semangat mengantongi semua desas-desus gosip mengenai tim sepak bola Red Circle. Sebab kedermawanannya untuk memberikan makanan gratis pada para pemain, dia berhasil mencapai sesuatu yang diinginkan oleh semua penduduk di Lambeth, yaitu menjadi lebih dekat dengan para pemain dan pelatih sepak bola mereka. Setelah itu, ada seorang laki-laki mendekat dan mengangguk pada Nicki. “Cuma ingin menyapamu,” katanya tanpa suara yang ekspresif, dilanjutkan dengan suatu uluran tangan. “Senang rasanya bisa melihatmu lagi setelah sekian lama. Dulu kau hebat.” Nicki membalas uluran tangan laki-laki itu dan mengatkan, “Thanks.” Jabatan tangan yang singkat. Nicki memutuskan untuk menatap mata laki-laki itu. Sedang laki-laki itu mengerti isyaratnya dan mengundurkan diri. Tak ada yang mengikuti laki-laki itu. Sepintas, ada lirikan-lirikan yang menghampirinya, beserta tatapan-tatapan kikuk dari pengunjung lain. Beberapa orang masih terlihat puas dengan renungannya sambil mencium kepulan asap dari kopi mereka tanpa ikut-ikut melirik Nicki. Bagaimanapun juga, Nicki menyadari sebuah fakta bahwa dirinya telah mengabaikan mereka hingga lima belas tahun lamanya. Lambeth sudah mempunyai para pahlawannya, dan diharapkan mereka benar-benar menikmati nostalgianya masing-masing. “Kapan kau terakhir kalinya bertemu Jack?” tanya Denis. Nicki memandang ke arah luar jendela dan mendengus. “Aku sudah tidak pernah bertemu dengannya sejak college.” “Tidak untuk satu kata pun?” “Ada sepucuk surat, sudah lama sekali, beberapa tahun yang lalu. Di dalamnya ada kertas indah sekali yang berasal dari suatu tempat di Hollywood. Dia bilang dia berhasil mengguncang tempat itu. Dia bilang juga, dengan sangat gamblang kalau katanya dia lebih terkenal daripada diriku. Beserta kemasyhuran yang dia dapat, semuanya melebihi semua kemasyhuran yang kuperoleh. Jahat sekali dia itu. Aku tidak pernah membalas suratnya.” “Reuni sepuluh tahun kita, dia muncul di sana,” kata Dennis. “Sosok Aktris berambut pirang, memiliki kaki yang bagus dengan balutan pakaian yang belum pernah ditemukan di sekitar sini. Sepertinya berasal dari produksi yang cukup rumit. Menyebarkan nama ke sana sini, menyebutkan produser A, sutradara B, setumpuk aktor yang belum pernah aku dengar namanya. Ketika melihatnya, aku memperoleh kesan kalau sepertinya dia lebih banyak menghabiskan waktu di ranjang daripada di depan kamera.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD