Lima Belas-Hari Rabu

1099 Words
Lima Belas “Itu Jack.” “Sudah semestinya kau tahu.” “Gimana penampilannya?” “Lelah.” “Ada kredibilitas?” “Ada beberapa, dan sering berubah-ubah. Kami setelah itu membandingkan ceritanya, dan tak ada yang pernah menonton film apa pun yang menurut pengakuannya dia perankan. Semua cuma pamer saja. Khas Jack. Tapi saat ini namanya Lawrence. Lawrence Friedman.” “Lawrence Friedman?” “Ya.” “Terdengar khas seperti nama bintang film dewasa.” “Ya, awalnya aku mengira dia akan mengarah ke sana.” “Gadis yang malang,” ulang Denis. “Dia bodoh dan egois, satu-satunya ketenaran yang tersisa yang bisa dia pamerkan ke mana-mana adalah kalau dia mantan kekasih Andrea Nicki.” Nicki hanya mendesis, sambil tertawa tipis khas orang yang merasa jijik pada sesuatu. Pramusaji datang dan menyuguhkan pancake dan sosis peasanan mereka dan mengisi ulang gelas mereka dengan kopi. Sembari membanjiri piringnya dengan sirup maple, dia mulai bicara lagi. “Dua tahun lalu, kami mengadakan konvensi bankir yang luar biasa besar di Manchester. Julia ikut denganku. Dia merasa bosan dengan seluruh acara, dan memutuskan untuk kembali ke kamar. Aku pun juga merasa bosan, jadi aku memutuskan untuk menyusuri Strip. Waktu itu sudah larut malam. Di sana, terdapat satu kasino tua, aku menyelinap masuk ke sana. Dan coba tebak, siapa yang aku temukan di sana?” “Lawrence Friedman?” “Aku menemukannya ketika dia sedang sibuk membagi-bagikan minuman keras, seorang pramusaji koktail dengan balutan kostum kecil ketat yang rendah di bagian depan dan tinggi di bagian belakangnya. Rambut yang dicat, riasan tebal, dan berat badan yang terlihat bertambah sekitar sepuluh kilogram. Dia tidak menemukanku, jadi sejenak aku bisa mengawasi dirinya. Kalau kulihat-lihat, dia terlihat lebih tua. Dan yang aneh adalah akting yang dia lakukan saat itu. Ketika dia mencoba mendekati para pelanggan yang ada di meja, senyumannya tanggal dengan diringi suara serak-serak basah mirip dengkuran pelan yang mengatakan, ‘Cepat ajak aku ke atas’. Dialog satu kalimat yang sudah lazim. Dia menabrakkan dan menggesekkan tubuhnya. Dia b******u dengan sekelompok pemabuk di sana tanpa segan. Sepertinya, perempuan itu cuma mau dicintai.” “Aku telah berusaha sebaik yang aku bisa.” “Dia termasuk kasus yang menyedihkan buatmu.” “Ya, karena itu dia kudepak dari hidupku. Dia kemungkinan tak akan ikut hadir dalam pemakaman, kan?” “Mungkin saja. Jika ada kesempatan buat dia agar bisa bertemu denganmu, dia pasti akan datang. Di sisi lain, dia terlihat sudah tidak begitu cantik, dan mungkin saat ini dirinya sudah menyadari hal itu. Padahal menurut Lawrence dulu, penampilan adalah segala-galanya.” “Apakah orang tuanya masih di sini?” “Ya.” Seorang laki-laki bertubuh gempal berjalan semakin mendekat ke arah mereka. Dia mengenakan topi baseball dan tanpa ekspresi di raut wajahnya. “Hanya ingin menyapa, Nicki,” katanya singkat. “Tim Hudson, dari tempat Land Rover,” lanjutnya nyaris membungkuk. Nicki membalas jabatan tangannya sambil memberikan bonus senyuman. “Dulu, aku yang menangani mobil milik ayahmu.” “Ya, sekarang aku mengingatmu,” balas Nicki, yang sebetulnya tengah berdusta. Senyum Mr. Hudson terukir begitu lebar. Dan semakin keras dia menjabat tangan Nicki. “Aku sudah menduga kalau kau akan mengingatku,” katanya sambil melirik meja. “Senang bisa melihatmu kembali lagi ke sini. Kau dulu yang paling hebat,” pujinya, yang sama persis dengan maksud ucapan dari laki-laki yang menyapa Nicki sebelumnya. “Terima kasih,” balas Nicki, sambil melepaskan genggaman tangannya dan kembali mengapit garpu. Tidak lama, Mr. Hudson meraih mantelnya kemudian menghilang dari restoran. Percakapan di sekitar meja masih berlangsung dengan tenang, tetap dengan suara pelan. Denis menelan satu suap hidangannya dan agak mencondongkan tubuhnya serendah mungkin di atas meja. “Aku ingat, empat tahun yang lalu aku duduk tepat di sini. Ketika itu, kita memiliki tim yang bagus. Menyapu bersih sembilan pertandingan pertama dengan kemenangan. Tanpa kalah, tanpa seri. Ya, seperti saat ini, aku duduk di sini, menyantap hidangan yang sama dengan yang aku pesan sekarang. Pada hari Jumat pagi, di hari pertandingan, dan aku bersumpah bahwa ini benar, topik percakapan pada pagi itu adalah Major League. Semua orang yang ada di sini kala itu sudah siap untuk rangkaian kemenangan yang baru. Memenangkan setiap pertandingan dalam satu musim, baik pertandingan persahabatan, atau memperebutkan gelar regional, bahkan kejuaraan negara bagian mewakili Inggris. Kota ini benar-benar menginginkan ukiran sejarah besar Inggris yang salah satunya dituai di sini.” Pandangan Nicki menyapu seisi ruangan seolah sedang memeriksa apakah ada seorang yang diam-diam menjadi penguntit pembicaraan mereka. “Aku tak pernah mampu memahami itu,” katanya. “Mereka semua ini adalah orang-orang yang ramah. Dan terdiri dari berbagai kalangan, ahli mesin, sopir truk, wiraniaga asuransi, bankir, kontraktor, mungkin pengacara. Mungkin eksistensi mereka tidak sampai mengguncang dunia, tapi mereka semua adalah penduduk kota kecil yang kokoh. Maksudku begini, tak ada satu pun dari mereka yang punya penghasilan hingga satu juta dolar. Tapi mereka masih punya hak untuk merasakan gelar juara negara bagian pada setiap tahunnya, bukan?” “Ya, kau benar.” “Aku tetap tidak paham.” “Hak untuk membual, ada pada diri mereka masing-masing. Apa lagi yang dapat mereka bualkan?” Nicki tertawa kecil. “Tidak heran jika mereka benar-benar memuja Maggie. Dia mencantumkan kota ini di peta.” “Ikutlah,” ajak Denis. Datang seorang laki-laki yang memakai celemek kusam mendekat ke meja mereka sambil menenteng map manila. Dia memperkenalkan dirinya sebagai adik dari Steve Nineteen, saat ini dia merupakan koki di tempat ini. Dia membuka map, dan di dalam map tu terpampang foto berwarna dari sosok Nicki saat di Mifa. Foto itu berukuran delapan kali sepuluh, dan dibingkai. “Sejak dulu, Steve berharap kau mau menandatangani foto ini,” katanya. Foto itu memperlihatkan Nicki tengah berdiri di lapangan permain. Terlihat seperti sedang menunjuk rekannya. Dia tampak sangat serius serius dalam pertandingan itu. Siap membawa kemenangan. Nicki ingat bahwa foto itu diambil saat pertandingannya melawan Golden Spurs, di mana foto itu didapatkan beberapa menit sebelum dia mendapatkan lukanya. “Tentu saja,” katanya, sambil mengambil spidol hitam di dekatnya yang tadi dibawa si koki itu. Dia membubuhkan tanda tangannya di bagian atas foto. Setelah itu, pada suatu titik dia berhenti sejenak. Dia menatap mata sang gelandang yang masih muda itu, Sosok bintang yang benar-benar memanfaatkan peluangnya di college, sementara Major League sudah menunggu kehadirannya. Dia dapat mendengar kembali gemuruh nyanyian dari para penggemar Mifa saat itu, sekitar tujuh puluh lima ribu orang mengingingkan sebuah kemenangan, bangga dengan tim mereka yang tak pernah kalah, b*******h karena untuk pertama kalinya, mata mereka dimanjakan oleh sosok gelandang paling handal se-Inggris. Entah kenapa, dia tiba-tiba merasa sangat rindu dengan hari-hari itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD