Enam Belas

1732 Words
Seorang laki-laki bertubuh gempal berjalan semakin mendekat ke arah mereka. Dia mengenakan topi baseball dan tanpa ekspresi di raut wajahnya. “Hanya ingin menyapa, Nicki,” katanya singkat. “Tim Hudson, dari tempat Land Rover,” lanjutnya nyaris membungkuk. Nicki membalas jabatan tangannya sambil memberikan bonus senyuman. “Dulu, aku yang menangani mobil milik ayahmu.” “Ya, sekarang aku mengingatmu,” balas Nicki, yang sebetulnya tengah berdusta. Senyum Mr. Hudson terukir begitu lebar. Dan semakin keras dia menjabat tangan Nicki. “Aku sudah menduga kalau kau akan mengingatku,” katanya sambil melirik meja. “Senang bisa melihatmu kembali lagi ke sini. Kau dulu yang paling hebat,” pujinya, yang sama persis dengan maksud ucapan dari laki-laki yang menyapa Nicki sebelumnya. “Terima kasih,” balas Nicki, sambil melepaskan genggaman tangannya dan kembali mengapit garpu. Tidak lama, Mr. Hudson meraih mantelnya kemudian menghilang dari restoran. Percakapan di sekitar meja masih berlangsung dengan tenang, tetap dengan suara pelan. Denis menelan satu suap hidangannya dan agak mencondongkan tubuhnya serendah mungkin di atas meja. “Aku ingat, empat tahun yang lalu aku duduk tepat di sini. Ketika itu, kita memiliki tim yang bagus. Menyapu bersih sembilan pertandingan pertama dengan kemenangan. Tanpa kalah, tanpa seri. Ya, seperti saat ini, aku duduk di sini, menyantap hidangan yang sama dengan yang aku pesan sekarang. Pada hari Jumat pagi, di hari pertandingan, dan aku bersumpah bahwa ini benar, topik percakapan pada pagi itu adalah Major League. Semua orang yang ada di sini kala itu sudah siap untuk rangkaian kemenangan yang baru. Memenangkan setiap pertandingan dalam satu musim, baik pertandingan persahabatan, atau memperebutkan gelar regional, bahkan kejuaraan negara bagian mewakili Inggris. Kota ini benar-benar menginginkan ukiran sejarah besar Inggris yang salah satunya dituai di sini.” Pandangan Nicki menyapu seisi ruangan seolah sedang memeriksa apakah ada seorang yang diam-diam menjadi penguntit pembicaraan mereka. “Aku tak pernah mampu memahami itu,” katanya. “Mereka semua ini adalah orang-orang yang ramah. Dan terdiri dari berbagai kalangan, ahli mesin, sopir truk, wiraniaga asuransi, bankir, kontraktor, mungkin pengacara. Mungkin eksistensi mereka tidak sampai mengguncang dunia, tapi mereka semua adalah penduduk kota kecil yang kokoh. Maksudku begini, tak ada satu pun dari mereka yang punya penghasilan hingga satu juta dolar. Tapi mereka masih punya hak untuk merasakan gelar juara negara bagian pada setiap tahunnya, bukan?” “Ya, kau benar.” “Aku tetap tidak paham.” “Hak untuk membual, ada pada diri mereka masing-masing. Apa lagi yang dapat mereka bualkan?” Nicki tertawa kecil. “Tidak heran jika mereka benar-benar memuja Maggie. Dia mencantumkan kota ini di peta.” “Ikutlah,” ajak Denis. Datang seorang laki-laki yang memakai celemek kusam mendekat ke meja mereka sambil menenteng map manila. Dia memperkenalkan dirinya sebagai adik dari Steve Nineteen, saat ini dia merupakan koki di tempat ini. Dia membuka map, dan di dalam map tu terpampang foto berwarna dari sosok Nicki saat di Mifa. Foto itu berukuran delapan kali sepuluh, dan dibingkai. “Sejak dulu, Steve berharap kau mau menandatangani foto ini,” katanya. Foto itu memperlihatkan Nicki tengah berdiri di lapangan permain. Terlihat seperti sedang menunjuk rekannya. Dia tampak sangat serius serius dalam pertandingan itu. Siap membawa kemenangan. Nicki ingat bahwa foto itu diambil saat pertandingannya melawan Golden Spurs, di mana foto itu didapatkan beberapa menit sebelum dia mendapatkan lukanya. “Tentu saja,” katanya, sambil mengambil spidol hitam di dekatnya yang tadi dibawa si koki itu. Dia membubuhkan tanda tangannya di bagian atas foto. Setelah itu, pada suatu titik dia berhenti sejenak. Dia menatap mata sang gelandang yang masih muda itu, Sosok bintang yang benar-benar memanfaatkan peluangnya di college, sementara Major League sudah menunggu kehadirannya. Dia dapat mendengar kembali gemuruh nyanyian dari para penggemar Mifa saat itu, sekitar tujuh puluh lima ribu orang mengingingkan sebuah kemenangan, bangga dengan tim mereka yang tak pernah kalah, b*******h karena untuk pertama kalinya, mata mereka dimanjakan oleh sosok gelandang paling handal se-Inggris. Entah kenapa, dia tiba-tiba merasa sangat rindu dengan hari-hari itu. &&& (LANJUTAN, TIDAK GANTI PLOT) “Foto yang sangat bagus.” Sebuah pujian keluar dari mulutnya yang membutuhkan pertimbangan agak lama. Kemudian dia menyerahkan kembali foto itu pada si koki. Si koki lantas menyambar foto itu dan segera menggantungkannya kembali di paku tepat di bawah foto Nicki yang lain yang ukurannya lebih besar. “Ayo pergi,” kata Nicki sembari menyeka mulutnya. Dia menaruh sejumlah uang tunai di atas meja, dan bergegas keluar dari restoran itu. Dia mengangguk dan tersenyum takzim kepada para pelanggan yang lain, dan mereka berhasil meloloskan diri dari restoran itu tanpa hambatan. “Mengapa kau terlihat gugup saat menghadapi mereka?” Sebuah pertanyaan yang sudah dipendam Denis sejak mereka ada di restoran tadi. “Aku tidak mau membicarakan soal sepak bola, oke? Aku sama sekali tidak ingin dan tidak pernah berharap untuk bisa mendengar seperti apa aku dulu, betapa hebatnya aku dulu, dari siapapun itu.” Mereka menyusuri jalanan sepi yang ada di sekitar lapangan, melewati sebuah gereja yang merupakan tempat di mana Nicki dibaptis, dan tempat yang sama di mana Denis melangsungkan pernikahannya. Mereka juga melewati sebuah rumah di Nine Street. Rumah itu dibagi menjadi dua lantai, yang merupakan tempat tinggal Nicki sejak dia usia delapan tahun sampai dia meninggalkan kota ini untuk melanjutkan kuliah di Mifa. Orangtuanya sudah menjual rumah tersebut. Setelah itu, mereka bergerak dan menemui rumah Maggie di seberang jalan. Mereka bergerak secara perlahan seakan mereka bisa mendengar berita terbaru di dalam rumah itu hanya dari dalam mobil. Jalur masuk rumah Maggie dipenuhi oleh mobil, di mana sebagian besar mobil itu berpelat nomor kota lain, beberapa mobil sepertinya milik keluarga dan teman dekat Maggie, menurut perkiraan mereka. Mereka kemudian melewati sebuah taman, tempat di mana mereka pernah menjauhkan sejenak diri mereka dari sepak bola dan bermain panahan di sana. Dan mereka berdua teringat beberapa kisah. Salah satunya yang saat ini tengah mendapat predikat sebagai legenda di Lambet, ya tentu saja, kisah tentang Maggie. Awal-awal mereka bermain sepak bola: Nicki, Denis, dan beberapa teman lain sedang bermain sepak bola kecil-kecilan di dekat pagar lapangan yang biasa dipakai buat panahan. Mereka menyadari hawa kehadiran seseorang yang saat itu sedang mengawasi mereka dengan sangat cermat. Setelah mereka selesai bermain, laki-laki tersebut mendekat dan memperkenalkan diri pada mereka sebagai Pelatih James Maggie. Bocah-bocah itu seketika tak mampu bicara. “Kau mempunyai senjata yang bagus, Nak,” puji laki-laki itu pada Nicki, yang seketika itu dia merasa mulutnya seperti menempel sebuah perekat yang membuatnya tak mampu berkata apa-apa. “Kaki kirimu itu akan menghasilkan pundi-pundi penghargaan buatmu.” Bocah-bocah lain beralih memandangi kaki kiri Nicki yang menurut mereka terlihat biasa saja, tak ada beda dengan kaki mereka. “Apakah postur ibumu setinggi ayahmu?” tanya Maggie. “Hampir,” jawab Nicki singkat. “Bagus, suatu hari kau akan memimpin Red Circle dan menjadi pemain yang hebat,” puji Maggie sambil menyapu pandangan bocah-bocah yang lain, dan setelah percakapan singkat itu, dia pun pergi. Nicki yang belia, kala itu masih berusia sebelas tahun. Mereka berhenti di sebuah pemakaman. *** Musim pertandingan 1992 yang semakin dekat, memunculkan sebuah keprihatinan yang cukup besar di Lambeth. Di musim sebelumnya, tim mereka mengalami kekalahan yang cukup krusial sebanyak tiga kali. Akibat kekalahan itu, menimbulkan bencana sipil yang luar biasa. Membuat para penduduk kota jadi tidak begitu menikmati santapan biskuit mereka di Nineteen, menyantap ayam karet dengan menggurutu saat makan siang, dan membanting keras botol-botol bir murahan di setiap bar pedalaman. Dan terdapat faktor yang mendatangkan pertanda buruk, yaitu keberadaan beberapa senior yang ada tim itu. Benar-benar melegakan ketika para pemain yang lemah itu lulus. Kebiasaan Maggie adalah tidak memperlihatkan kalau dia sedang merasa tertekan. Ketika itu, dia sudah menjadi pelatih Red Circle sekitar lebih dari tiga dekade, dan sudah mengetahui semuanya. Momen dia meraih gelar negara bagian terakhir, yakni yang kelima belas terjadi pada tahun 1987, jadi selama beberapa tahun itu, para penduduk terpaksa harus menahan sejenak keinginannya untuk kembali juara. Para penduduk itu sudah dimanja sedemikian rupa sehingga membuat mereka membuat target sendiri agar tim menciptakan sejarah baru dengan meraih kemenangan seratus kali pertandingan berturut-turut dari berbagai level kompetisi. Dan menginjak usianya yang ketiga puluh empat tahun, dirinya tak lagi peduli dengan apa yang mereka mau. Hal yang identik pada tim tahun 1992 adalah dipenuhi oleh para pemain yang kurang memiliki bakat, dan semua orang tahu itu. Satu-satunya bintang tim pada saat itu cuma Robert Frank Luis, yang biasanya bermain sebagai pemain sayap, tempat di mana dia bisa bebas berlari seiring datangnya bola padanya. Di kota seperti Lambeth, suatu bakat akan datang berdasarkan siklus. Saat-saat masa kejayaannya, seperti di tahun 1987 dengan Nicki, Leo, Denis, Jodan Sancho, dan beberapa pemain lain sebagai punggawanya, rekor kemenangannya sangat bagus. Namun salah satu kehebatan Maggie yang paling unik adalah dia menang dengan para pemainnya yang cenderung lebih kecil dengan postur pemain lawan. Dia memanfaatkan tubuh ramping mereka, dan menghajar mereka dengan latihan super keras. Hanya sedikit tim yang memiliki intensitas latihan seperti yang dihadirkan Maggie di lapangan pada bulan Agustus 1992. Usai pertandingan buruk yang mereka jalani pada hari Sabtu sore, Maggie benar-benar marah pada para pemainnya dan menuntut mereka latihan di hari Minggu pagi. Sesuatu yang jarang, bahkan hampir tak pernah dilakukan. Sebab hal itu menjengkelkan bagi orang-orang gereja. Latihan dimulai pada hari Minggu pagi sekitar jam delapan, jadi para pemain masih sempat berdoa ke gereja sebentar, itu pun kalau mereka mampu. Entah kenapa, Maggie merasa begitu jengkel karena menurutnya, latihannya terlihat masih terlalu ringan. Ini adalah lelucon. Karena berdasarkan fakta di lapangan, setiap pemain harus berlari sprint puluhan kali. Jumlah yang sangat tidak lazim untuk sebuah latihan di minggu pagi. Nb: Untuk teman-teman pembaca cerita ini, penulis hanya ingin memberitahukan bahwa untuk penggunaan tanda baca '&&&' bukan berarti ada pemindahan plot, ya. Tapi tetap melanjutkan plot dari paragraf sebelumnya sebelum tanda baca tersebut. Kecuali kalau pada bab lain ke depannya, penulis akan tetap memakai tanda baca '***' untuk pemindahan plot adegan. Sama seperti aturan baku tulisan penulis yang lain. Kalian bisa lihat di story yang lain untuk memastikannya. Kenapa penulis memakai tanda baca '&&&'? Barangkali ada yang bertanya, penulis ingin mengkonfirmasi saja bahwa itu sengaja disertakan sebagai penanda kalau adegan di bab sebelumnya akan ditaruh kembali disertakan pada bab berikutnya. Jika kalian tidak ingin mengulang bacaan sebelumnya, kalian bisa langsung menuju paragraf setelah ada tanda baca '&&&'. Jadi sekali lagi, perlu dibedakan tanda baca '&&&' dengan tanda baca '***'. Tanda baca pertama bermakna melanjutkan cerita, sementara tanda baca yang kedua artinya pemindahan plot adegan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD