1. Adira Dan Abian
Adira menghela napas lega. Menatap saldo tabungannya di layar pipih dalam genggaman. Gajinya sudah keluar. Meskipun tidak banyak karena dia hanya bekerja sebagai sebuah pelayan di restoran, tapi setidaknya dia masih memiliki pemasukan dan tidak menjadi beban keluarga suaminya.
"Dir, udah masuk?"
Adira membalikkan tubuhnya, menatap Salsa, rekan kerjanya yang baru saja bertanya.
Adira mengangguk "udah Sal, ini abis ngecek" jawab Adira sambil menunjukkan layar ponselnya.
Salsa tersenyum lebar. "bagus, sebelum di ambil sama keluarga laki lo yang gak tahu malu, lebih baik jajan dulu Dir, kenyangin diri lo. Itu duit kerja keras lo, lo pantes buat ngerasain itu juga"
Adira hanya tersenyum. Hanya Salsa orang yang dia percaya untuk membagi segala rasa sesak di hatinya. Awalnya, Adira memilih untuk menelan semuanya sendiri, sampai akhirnya dia ada di titik lelah dan merasa sesak hingga dadanya terasa sakit. Salsa datang, membantu dia untuk bangkit dan memberikan semangat hidup meskipun Adira tidak keberatan jika harus mati.
Salsa meraih tangan Adira, menariknya keluar menuju bagian belakang restoran. "Dir, demi Tuhan, bilang sama gue kalau lo udah gak sanggup. Gue lebih seneng bantu percerain lo daripada bantu pemakaman lo. Hidup lo berharga Dir."
Adira kembali hanya tersenyum dengan kekhawatiran Salsa.
"gue liat Dir, gue liat lebam di perut lo kemarin. Dia jahatin lo lagi kan?"
"lo liat?"
Salsa mengangguk "ya. Dia jahatin lo lagi kan?" ulang Salsa lalu memeluk Adira.
"gue emangnya bisa apa Dir selain terima?" lirih Adira.
"lawan Dir. Lawan!"
Adira hanya menggeleng lemah. Sebagai perempuan yang sudah mendapat banyak luka baik fisik dan mentalnya, Adira merasa tidak lagi memiliki tenaga untuk melawan. Dia hanya bisa menerima apa yang sudah terjadi sambil menunggu kapan Tuhan memanggilnya. Dia ingin mati, tapi tidak ingin bunuh diri.
Umurnya masih dua puluh dua tahun, usia yang menurut orang-orang masih muda dan memiliki masa depan panjang dan cerah. Tapi Adira tidak merasakan itu, tepat di usianya yangg ke dua puluh satu, Adira terpaksa keluar dari kampus.
Dia di jebak oleh salah satu seniornya, di mana mereka datang ke sebuah acara jurusan, lalu seniornya yang bernapa Davi memberikan dia minuman dan karena itulah Adira kehilangan hal paling dia jaga selama hidupnya. Adira stress, apalagi Davi mengancamnya akan menyebarkan foto Adira sat kejadian itu terjadi.
Sampai akhirnya Adira berada di titik memberanikan diri untuk menemui keluarga Davi, mengatakan apa yang anak mereka lakukan. Ibu Davi jelas marah dan balik menuduh Adira, tapi tidak dengan ayah Davi yang merupakan abdi negara, beliau mau mendengar semua yang Adira katakan sampai akhirnya Davi mengaku.
Pernikahan Adira dan Davi terjadi, sesuai dengan permintaan dari ibu Adira karena ternyata setelah pemeriksaan kesehatan Adira ternyata hamil. Tapi pernikahan keduanya jelas tidak seindah apa yang orang lain kira. Bukan sebagai penyelesai masalah, pernikahan tersebut malah menjadi awal dari penyiksaan baru untuk hidup Adira.
Adira memiliki ibu mertua yang jahat, memaksa Adira berhenti kuliah dengan alasan tidak akan membiayai kuliahnya. Selama ini, Adira memang hanya seorang mahasiswa beasiswa dan dalam peraturan beasiswa tersebut Adira tidak boleh menikah dan hamil. Ayah mertua Adira yang jarang di rumah karena dinas menjadi satu-satunya orang yang memperlakukan Adira dengan baik.
Davi, suaminya, bahkan satu hari setelah mereka akad, pria itu malah bermalam dengan wanita lain di salah satu hotel dan itu secara terang-terangan di sampaikan Davi kepada Adira.
Adira di tuntut untuk bekerja "hidup tidak ada yang gratis sekalipun kamu menantu di rumah ini. Itu hanya status" kalimat ibu mertua yang sangat menempel di kepala Adira.
Dengan kondisi hamil, Adira mulai mencari pekerjaan, semua pahitnya hidup Adira coba telan sendiri. Termasuk dari ibunya. Adira hanya memiliki sang ibu, mereka juga bukan dari kalangan elit, mereka hanya berasal dari keluarga sederhana di mana uang yang mereka dapatkan hanya cukup untuk bertahan hidup.
Sudah cukup Adira mengecewakan sang ibu dengan kejadian yang terjadi, dia tidak mau lagi memberikan beban tambahan, cukuplah ibunya merasa bahwa Adira hidup dengan baik di rumah mertuanya.
Sampai kandungan Adira menginjak usia dua bulan, dia harus merelakan sang bayi pergi. Tubuh yang lelah karena bekerja di restoran, beban pikiran yang menumpuk karena ulah ibu mertua dan juga suaminya, serta kurangnya asupan gizi membuat Adira tidak bisa mempertahankan sang bayi.
Adira terpuruk, tapi tidak dengan ibu mertua dan suaminya. Mereka malah merasa bahagia karena beban mereka tidak jadi bertambah. Adira lagi-lagi menelan semua luka itu sendiri dan hanya bisa menangis dalam diam.
Sejak saat itu, ibu mertua dan suaminya malah semakin menjadi, Adira wajib memberikan gaji yang dia dapatkan dari hasilnya bekerja, dengan alasan biaya hidup semakin mahal. Belum lai suaminya yang juga berani main tangan kepadanya.
Lalu, apakah Adira tidak ingin berpisah? jangan tanyakan itu pada Adira, jika dia bisa, dia ingin lakukan. Tapi pesan sang ibu selalu sebelum pernikahan selalu mencegahnya. "yang langgeng ya sayang, nikah cukup sekali seumur hidup."
Meskipun ibunya bukanlah ibu kandung, tapi Adira sangat menyayangi sosok itu. Sosok yang mau berjuang bersma ayahnya, sampai ayah Adira meninggal, wanita hebat itu berjuang semakin keras untuk kehidupan mereka berdua. Adira tidak ingin lagi memberikan luka dan beban.
"doain gue kuat ya Sal, atau doain biar Tuhan cepet nyabut nyawa gue juga gak masalah" sahut Adira sambil tersenyum pada Salsa.
"lo cantik Dir, lo baik, gak sepantesnya lo dapet hidup begini" lirih Salsa. Dia ingin sekali menarik Adira keluar dari hidupnya yang sekarang. Tapi tidak banyak yang bisa Salsa lakukan karena dia juga masih memiliki banyak kekurangan.
Adira hanya tersenyum getir, dia bahkan sudah tidak berani membayangkan masa depan cerah.
***
"ABIAN MAHESA PERWIRA!" seorang wanita dengan pakaian piyama menatap tajam pada Abian yang baru saja mematikan mesin motornya.
"balap lagi kamu hah? iya? balap lagi?" lanjut wanita tersebut penuh emosi.
Abian tersenyum lebar, melepas helm dari kepalanya. "teteh-"
"apa kamu? udah berapa kali teteh bilang buat jangan balapan lagi! kamu gak pernah mau denger ya?! teteh bilangin sama bunda pokoknya" ancam perempuan itu kemudian.
Mata Abian membulat, seketika panik dan menyusul sang kakak yang sudah melangkah pergi.
"teteh jangan. Please! jangan teteh!" mohon Abian menahan kakaknya yang akan masuk ke kamar.
Sosok yang Abian tahan itu membalikkan tubuhnya, menatap kesal pada adik bungsunya yang kini sudah berusia dua puluh lima tahun. Usia yang seharusnya sudah tidak lagi membuat para kakaknya pusing tujuh keliling dengan kelakuannya.
"mas. Tolongin dong" Abian beralih kepada kakak iparnya yang sejak tadi hanya menjadi penonton.
"gak berani aku, aku masih pengen tidur kelonan" sahut kakak iparnya.
Abian berdecak, seharusnya dia tidak meminta pertolongan, sudah sangat jelas jika pria di keluarganya, baik itu papanya, kakaknya, bahkan iparnya, semua takut istri.
"teh, please teh. Jangan lapor bunda." Abian kembali memohon. "teteh Chala cantik deh, mau apa? nanti Bian beliin" lanjut Abian membujuk sang kakak.
Chala menghela napas "kamu tuh ya, kalau bukan adik, udah teteh suntik mati kamu! kerjaan kamu tuh bisa gak sih gak bikin khawatir?"
Abian kembali tersenyum lebar mendengar omelan sang kakak, nada suara kakaknya sudah mulai turun, tanda bahwa hatinya juga mulai melunak.
"teh, aku kan kerja juga sama Kak Dio kalau siang, pusing teh, jadi butuh hiburan"
"hiburan gak harus balap motor ya Abian!" sentak Chala.
"terus apa? mabuk gak boleh, narkoba gak boleh, dugem cari cewek gak boleh. Ya kali masak-masak"
"kamu benaran mau teteh laporin bunda?"
Abian kembali menggeleng. Bundanya memang tidak akan marah, tapi akan menatap kecewa pada Abian, itu hal yang paling dia tidak suka. Apalagi usia bunda dan papanya juga tidak lagi muda, mengingat Abian lahir di usia sang bunda yang memang penuh resiko untuk hamil lagi. Dia tidak ingin membuat khawatir dan kecewa mereka setelah mengetahui hobi Abian.
"Bian, harus berapa kali teteh bilang sama Bian? Bian itu adik teteh satu-satunya, Bian tahu gimana sayangnya kita semua ke Bian, tapi kok Bian malah senang cari bahaya gini?. Teteh tuh ngelarang karena teteh takut. Kamu naik motor boleh, tapi kalau balapan gak jelas teteh gak suka. Mending ikut balap resmi sekalian" Chala yang merupakan seorang dokter, tidak satu kali menangani pasien di tengah malam karena kecelakaan balap, entah itu murni kecelakaan atau hasil kecurangan. Hal itulah yang dia takutkan terjadi juga kepada sang adik.
"Teteh harus percaya sama Bian, Bian bisa jaga diri Bian. Tenang ya teh?"
Chala berdecak "ngomong sama kamu mah kaya ngomong sama tembok. Susah" kesal Chala kemudian masuk ke dalam kamarnya.
"semangat ya bro"
Abian menatap kakak iparnya yang tersenyum meledek lalu ikut masuk ke dalam kamar.
"dasar takut istri!"
"kaya lo gak takut bini gue aja" balas kakak iparnya lalu menutup pintu kamar.
Abian mengangguk, iya juga, dia saja takut kepada kakaknya.
Abian menghela napas lalu melangkah ke kamarnya sendiri. Jika tidak balapan, Abian akan pulang ke rumah orang tua mereka, tapi jika dia balapan dan pulang larut, dia akan pulang ke rumah kakak laki-lakinya, Ardio atau ke rumah kakak perempuannya, Chala. Di rumah keduanya, Dio memiliki kamar pribadinya sendiri. Jadi tidak perlu takut tidur di sofa dan biasanya dia akan pulang saat pemilik rumah sudah tidur, jadi dia akan aman dari omelan. Mungkin malam ini adalah malam buruk Abian.
Duduk di ujung tempat tidur, Bian menatap layar ponselnya, di mana pada layar itu tampil sebuah foto dia dengan seseorang yang dia sayang, orang yang selalu melindungi Abian.
"kalau gue nyerah, lo marah gak?" lirih Abian.
***