9. Kampung Halaman Istri

1817 Words
Perjalanan menuju kampung halaman Asri cukup memakan waktu yang lama, hingga membuat Rusma dan Asri ketiduran. Rusma terbangun ketika merasakan sesuatu yang menimpa bahunya, pria itu berdecak kesal ketika ternyata kepala Asri lah yang menimpa bahunya. Inginnya sih memarahi Asri saat ini, tetapi hal itu tidak memungkinkan karena di depannya duduk ibu mertuanya. Bisa-bisa dirinya di cap menantu yang kejam lagi, mana banyak orang yang sepertinya juga ikut terlelap. Pastinya jika ia berteriak kesal sekarang, orang-orang yang merasa terganggu itu pasti akan memarahinya. Rusma mengangkat kepala Asri, membenarkan tidur gadis itu agar bersandar di bangku penumpang saja. Ia berdecak sebal karena sepertinya kepala Asri ini sangat keras kepala hingga berkali-kali kembali jatuh menimpa bahu kekarnya. 'Kalau enggak ingat di sini banyak orang, udah aku sentil, ya, kepala nih cewek kampung,' batin Rusma merasa kesal. Asri ini walaupun sudah tidur saja tetap bersikap menyebalkan, apalagi jika sudah terbangun. Tadi saja saat mata gadis itu terbuka, mereka memperdebatkan hal-hal yang tidak penting. Karena terus berusaha membuat Asri agar tak bersandar di bahunya, Rusma jadi ikut memperhatikan wajah terlelap Asri. Wajahnya nampak polos, seperti tak memiliki dosa ataupun beban sama sekali. Dan entah mengapa wajah Asri yang seperti ini mengapa terlihat menarik di mata Rusma? Rusma langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enggak! Apaan sih!? Masa iya gue mikirnya gitu." Tanpa sadar, Rusma mendorong kepala Asri hingga terantuk kaca jendela kereta. DUKKK "A-aduh ...." Asri meringis sambil membuka matanya ketika merasakan sakit di kepalanya. Rusma yang menjadi tersangka utama pura-pura tertidur lagi, pria itu memejamkan matanya seakan tak pernah ada hal jahat yang ia lakukan pada Asri. Asri membuka mata, menatap bingung ke sekeliling, pikirnya apakah kereta berhenti hingga kepalanya bisa terantuk jendela? Mata Asri menatap ke arah pakde suaminya. Gadis itu terkekeh geli melihat wajah Rusma yang terpejam, aura galaknya jadi hilang kalau seperti itu. Asri tergoda untuk mengusap pipi Rusma, gadis itu entah memiliki keberanian dari mana, ia mengarahkan tangannya hingga berlabuh di pipi Rusma. "Ngapain kamu!?" tanya Rusma galak sambil membuka kedua mata. Asri terperanjat, gadis itu langsung menjauhkan tangannya dari pipi Rusma. Ia menatap Rusma kikuk, seperti seorang maling yang tertangkap basah. "A-anu tadi ada nyamuk di pipi, Mas. Makanya Asri tadi mau matiin nyamuknya," ujar Asri ragu-ragu. "Nyamuk? Mana ada nyamuk di dalam sini," ucap Rusma merasa heran. Pria itu mengusap pipinya sendiri seakan memeriksa apakah ada bekas nyamuk yang menempel. "Eh anu ... itu! Asri mau bangunin Mas karena kita udah mau sampe!" ujar Asri ketika melihat ke luar jendela, di mana sebentar lagi mereka akan segera sampai. Walaupun agak kesusahan memanggil Rusma dengan sebutan mas, tetapi Asri akan berusaha daripada suaminya itu akan marah-marah padanya. Rusma memicingkan matanya, baru saja ia akan berucap. Kereta yang mereka tumpangi berhenti di sebuah stasiun pemberhentian, pria itu menghela napas. Sedangkan Asri merasa lega karena pakde suaminya akhirnya tidak marah lagi padanya, hampir saja ia dimarahi karena sudah lancang mengusap pipi suaminya sendiri. "Eh? Kalian udah bangun tho?" tanya Bu Yanie menoleh ke belakang, tepatnya ke arah putri serta menantunya. "Keretanya udah berhenti, yuk! Kita turun!" ajak Bu Yanie. Wanita paruh baya itu berdiri dari duduknya diikuti oleh penumpang lain, sedangkan Rusma memilih turun belakangan karena merasa tak enak jika berdempetan dengan penumpang yang lain. Lagipula ada banyak barang yang harus ia bawa, apalagi kalau bukan tasnya sendiri, tas Bu Yanie dan tas Asri. "Mas, ndak mau turun?" tanya Asri pada Rusma. "Nanti, nunggu penumpangnya agak sepian. Kamu turun duluan sana!" balas Rusma. "A-Asri ndak bisa turun kalo Mas ndak turun," ucap Asri ragu. "Kenapa begitu?" tanya Rusma. "Mas duduknya ngalangin jalan keluar Asri." Rusma baru sadar, pria itu lantas langsung berdiri. "Udah! Sana turun duluan!" titah Rusma. "T-tapi tasnya, Mas ...." "Aku nanti yang bawain, sana kamu turun duluan. Udah agak sepi itu, jadi kamu bisa lewat." "Makasih, Mas." Asri menatap Rusma sambil tersenyum kemudian gadis itu turun dari kereta lebih dulu menyusul ibunya, meninggalkan Rusma yang tengah mengambil barang-barang mereka kemudian membawanya dan ikut turun. "Matur nuwun, Nak menantu. Ibu ndak nyangka kalau ternyata Nak menantu ini baik dan perhatian," ucap Ibu Yanie ketika Rusma sudah turun dengan membawa barang-barang mereka. (Matur nuwun : Terima kasih) "Iya, Bu, sama-sama." Meskipun Rusma tak suka pada Asri, tentu saja ia harus menjaga etika pada orangtua. Ia harus selalu sopan pada Bu Yanie karena mau tak mau kini wanita paruh baya itu adalah ibu keduanya yang tak lain adalah mertuanya. "Habis ini kita ke mana, ya, Bu?" tanya Rusma. "Habis ini kita naik angkot, Nak," jawab Bu Yanie. "Apa, Bu!? Angkot!?" Tanpa sadar Rusma berteriak karena terkejut, seumur-umur Rusma belum pernah naik angkot. Ya, biasalah, orang kaya sepertinya mana mau naik kendaraan yang dipenuhi dengan orang-orang yang membawa barang aneh serta duduknya berdesakan. "Iya angkot, enggak apa-apa 'kan? Soalnya di sini juga susah kalo mau nyari kendaraan lain. Biasanya kami naik angkot," ucap Bu Yanie sedikit tak enak hati membuat menantunya yang biasanya serba hidup mewah kini ikut susah bersamanya. "O-oh enggak apa-apa kok, Bu. Tadi cuma kaget aja," balas Rusma. "Jangan bilang kalo Mas takut naik angkot, ya? Hihihi ... enggak usah takut, Mas, naik angkot seru kok." Rusma langsung menoleh ke arah Asri yang tertawa pelan. "Jangan ketawa kamu! Lagian siapa yang takut!?" balas Rusma menatap Asri sebal. "Kalo ndak takut, berarti Mas mau dong naik angkot?" Rusma mengangguk, meskipun ia enggan, tetapi tidak mungkin 'kan ia terlihat tidak suka naik angkot di hadapan gadis kampung yang sialnya kini suka sekali meremehkannya dan itu terlihat terang-terangan pula. "Tentu saja mau! Sekarang, ayo kita cari angkotnya!" ujar Rusma bersemangat. Rusma berharap kalau angkot yang akan mereka naiki itu sepi sehingga mereka tak perlu berdempetan dengan penumpang yang lain. Namun, keinginan tak sesuai dengan kenyataan karena angkot yang mereka tumpangi sangat penuh sekali, hingga mau tak mau Asri harus berada dipangkuan Rusma agar menyisakan tempat bagi penumpang yang lain. Sedangkan tas mereka ditaruh dipojok dekat dengan tempat Bu Yanie duduk, Rusma sendiri harus berada di tengah-tengah, berdesakan dengan penumpang yang lain serta harus menampung tubuh Asri di atas pangkuannya. Rasanya Rusma tak bisa bernapas jika begini caranya, bagaimana tidak? Di dalam angkot ini sepertinya sulit sekali mencari udara segar. Tepat di depan Rusma ada ibu-ibu yang membawa ayam sehingga kotoran ayam itu jelas saja mengenai sepatu Rusma, Rusma berusaha menahan dirinya agar tidak marah-marah di sini. Ditambah banyak sekali barang, sepertinya orang-orang ini baru pulang dari pasar yang entah di mana pasarnya itu. Rusma tidak mau peduli ada di mana pasar itu, yang Rusma pedulikan adalah kapan mereka sampai agar ia bisa segera terlepas dari penderitaan ini. "Akhirnya! Lega juga!" teriak Rusma ketika angkot tiba-tiba berhenti. Semua mata tertuju pada Rusma seakan heran dengan pria yang berteriak kencang itu, Rusma yang sadar pun hanya menyengir sambil menatap orang-orang itu dengan penuh permohonan maaf. "Ayo, kita turun," ajak Bu Yanie. "Permisi semuanya, saya sama anak serta menantu mau turun," ucap Bu Yanie sopan pada ibu-ibu serta bapak-bapak yang menghalangi jalan mereka. "Beruntung banget ya cah ayu iku, dapatin suami ganteng kayak tadi. Mana rela-relanya suaminya mangku lagi, aku yakin mereka pasti saling mencintai." Sebelum Rusma dan Asri turun, telinga mereka tak sengaja mendengar obrolan itu. 'Cinta dari mana? Dari Hongkong!? Gue aja dipaksa nikah dan sekarang malah disuruh ikut ke kampung,' batin Rusma merasa sebal dengan spekulasi ibu-ibu itu. "Bu, rumahnya dekat dari sini 'kan?" tanya Rusma pada Bu Yanie. "Yo ndak tho, Nak. Rumah Ibu masih jauh, masih harus jalan lagi. Lewat jalan tanah itu," jawab Bu Yanie menunjuk sebuah jalan tanah yang becek dan berlumpur. "K-kita naik apa lagi, Bu? Ojek atau apa?" tanya Rusma ragu-ragu menatap jalanan itu. "Sekarang di sini kayaknya lagi musim hujan, jadinya tukang ojeknya enggak mau narik dulu. Kita jalan kaki ke rumah Ibu," ucap Bu Yanie membuat Rusma melongo. Jalan kaki? Demi apa mereka akan jalan kaki melewati tanah berlumpur itu!? "T-tapi jalan kakinya cuma sebentar 'kan, Bu?" Lagi, Rusma bertanya karena ingin memastikan lagi. "Lumayan sebentar, cuma satu jam aja kok, Nak Menantu ...." Mata Rusma membola, satu jam dibilang sebentar? Demi apapun itu berarti cukup lama, apalagi ini jalan kaki! Bukan naik motor! "Tapi biar nanti sampai rumah enggak telat shalat, kita shalat dulu di masjid sana. Sekalian makan bekal, enggak apa-apa 'kan?" Tentu saja itu apa-apa bagi Rusma, ia tak terbiasa makan di tempat yang terbuka seperti itu. Apalagi banyak pasang mata yang kini memperhatikan mereka, tetapi apa yang bisa Rusma lakukan selain mengiyakan. Akhirnya mereka memutuskan shalat dzuhur terlebih dulu di sebuah masjid yang letaknya tak terlalu jauh dari mereka, setelah shalat mereka makan bekal yang tadi pagi memang Mama Nana persiapkan karena wanita paruh baya itu tahu perjalanan putra, besan serta menantunya cukup panjang. Kalau tahu begini mengapa mamanya sama sekali tidak berinisiatif mengantarkan mereka? Setidaknya meminjam sopir dan mobil agar mereka bisa selamat sampai tujuan tanpa ada hambatan apapun. Setelah mengisi perut dengan bekal itu, akhirnya mereka berjalan juga di tanah yang becek dan dipenuhi lumpur itu. Rusma bersisikukuh ingin membawakan tas Asri dan mertuanya ditambah tasnya sendiri, ia tidak mau, ya, disangka pria yang tidak peduli pada dua wanita ini. Hingga karena ia tak bisa mempertahankan keseimbangannya karena bobot barang serta tubuhnya yang berat itu pun, ia terjatuh. Semua tas bawaannya terlempar ke lumpur, tak hanya itu saja. Rusma terjatuh dengan posisi menelungkup hingga wajahnya mengenai lumpur. "Pfftt ...." Asri menahan tawanya ketika Rusma mendongakkan wajahnya. Wajah suaminya itu dipenuhi dengan tanah lumpur, hingga ketampanan pria itu sama sekali tidak terlihat lagi. Kini wajah Rusma mirip sekali badut yang sengaja diberi lumpur. "Asri, suaminya jatuh kok, ya, malah diketawain. Bantuin itu suamimu, Nduk," tegur Bu Yanie pada putrinya. "Nggeh, Bu ...." Asri langsung membantu Rusma berdiri, sedangkan Bu Yanie sendiri mengambil tas-tas yang terlempar jauh. Rusma tidak bisa membuka kedua matanya karena wajahnya tertutup sempurna dengan lumpur. Asri meminta botol air mineral pada ibunya kemudian dengan telaten gadis itu mengusap wajah Rusma dengan air mineral itu, tak dapat menghilangkan jejak semua lumpur yang ada di wajah Rusma, tetapi setidaknya Rusma kini bisa melihat dengan jelas dan berbicara. "Senang banget, ya, kayaknya kamu ngetawain aku," ucap Rusma sinis ketika melihat Asri sepertinya tengah menahan tawanya. "N-ndak kok, Mas. Siapa bilang Asri ketawa? Asri cuma senyum doang," ujar Asri mengelak. Bisa gawat kalau Rusma tahu ia menertawakannya, Rusma itu pendendam dan Asri tidak bisa membayangkan balasan apa yang akan pria itu berikan padanya. "Biar Ibu sama Asri bawa tasnya sendiri-sendiri aja, Nak. Nanti kamu jatuh lagi 'kan kasihan," ucap Ibu Yanie sambil memberikan tas Asri pada putrinya. "Iya, Mas. Mending gitu aja, nanti kalau Mas Risma eh maksud Asri Mas Rusma ngotot bawain tas Asri sama Ibu terus Mas jatuh lagi bahaya. Asri ndak punya air mineral lagi," ucap Asri mendukung perkataan ibunya. Rusma hanya mengangguk, hatinya saat ini kesal bukan main. Hari ini sepertinya hari tersial baginya, sudahlah ia dipaksa pergi ke kampung, malah kini wajahnya terkena lumpur kurang ajar itu. Rusma tak bisa membayangkan kesialan apalagi yang akan menimpa dirinya setelah benar-benar tiba di kampung halaman istrinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD