2. Itu Alfa

1313 Words
“Bagaimana keputusanmu, Nduk?” Almira tersentak mendengar pertanyaan Bapak. Dia hampir tersedak ayam goreng yang sedang dimakan. Sudut mata gadis itu melirik sang ibu meminta bantuan. Ibu hanya tersenyum dan mengangguk.  “Harus dijawab sekarang ya, Pak?” tanya Almira tanpa berani mengangkat wajah. Dia mengaduk-aduk makanannya yang berubah hambar. Pandangannya tertuju pada sepasang sandal rumah doraemon yang dipakai.  “Memangnya kamu belum memutuskan?” desak Bapak.  Almira menghela napas. Dia tahu kalau pembicaraan ini akan terjadi saat Ibu mengatakan Bapak sedang menunggunya. Jawaban atas pertanyaan Bapak juga sudah dipersiapkan, tetapi dia masih ragu antara melangkah maju atau berhenti di tempat.  Bapak sebenarnya bukan tipe pemaksa. Dia selalu memberi kebebasan kepada Almira dalam segala hal, selama itu sesuatu yang positif. Namun, sepertinya tidak dalam masalah perjodohan ini. Almira tidak tahu kenapa dia bisa berprasangka Bapak sedikit memaksa untuk menerima. Tidak secara terang-terangan memang, tetapi cukup membuat Almira curiga.  Ada apa dengan perjodohan ini? Bapak tidak sedang memiliki utang kepada calon besannya, kan? Bapak tidak pernah memanfaatkan putrinya untuk kepentingan sendiri.  Astagfirullah.  Berkali-kali Almira menggelengkan kepala. Bagaimana bisa dia berpikir jika Bapak memiliki niat buruk? Bapak hanya ingin mengenalkannya pada seorang pria, bukan memaksa. Mungkin itu hanya perasaan tidak jelas yang dibisikkan setan kepadanya agar dia berdebat dan bersitegang dengan Bapak. Sesuatu yang pasti tidak akan dia lakukan.  Dari dulu Almira tahu Bapak selalu mendahulukan kebaikannya. Bapak rela menunda keinginan demi memenuhi segala permintaan anak gadisnya. Almira juga tahu jika dirinya tidak pernah bisa menolak kemauan Bapak, termasuk perjodohan ini.  Almira mengangkat kepala dan menatap lembut Bapak. Dia menguatkan hati dan menghela napas sebelum menjawab.  Bismillah. Semoga keputusan ini baik untukku dan juga Bapak Ibu. Amin. “Al sudah punya jawaban, Pak,” jawab Almira mantap. Senyum Bapak langsung mengembang. Dia melirik sang istri yang juga tersenyum. Almira sungguh menyukai pemandangan ini. Di mana keluarga mereka saling membalas senyum.  “Jadi?” Kali ini Ibu yang terlihat tidak sabar.  “Al mau dikenalkan dengan pria itu,” bisik Almira.  “Alhamdulillah,” ucap Bapak dan Ibu bersamaan.  “Kamu akan menikah secepatnya.” Ucapan Bapak kembali membuat Almira tersentak. Bukankah Bapak mengatakan kalau dia hanya akan berkenalan. Itu tidak berarti dia ingin dinikahkan secepatnya. Dia belum siap untuk berumah tangga.  “Tapi, Pak, Al harus mengenal ... .”  “Tentu saja. Secepatnya itu kan bukan besok atau lusa, Al. Masih ada banyak waktu untuk saling mengenal, ” potong Bapak.  “Bener, Al. Ibu yakin kamu akan menyukainya. Dia pria baik, insya Allah,” kata Ibu menambahkan.  Tak ada yang bisa Almira lakukan selain tersenyum dan mengangguk. Dia sudah memutuskan untuk mengenal pria itu. Jadi, kemungkinan untuk membuka hati dan menikah lebih besar. Dia benar-benar ingin selalu membahagiakan orang tuanya. Bisakah dia mewujudkan dua kebahagiaan sekaligus? Kebahagiaan orang tua dan juga dirinya.  Doa Almira saat ini adalah semoga siapa pun pria yang akan dikenalkan padanya, memiliki pribadi yang baik. Mengerti agama dan bisa menjadi imamnya, itu yang paling penting. Dia tidak berani mengharapkan yang lebih tinggi. Dia juga bukan pribadi sempurna, jadi dia tidak menginginkan pria sempurna.  *** Si gadis masih berguling-guling di kasur. Malam ini pasti akan menjadi malam yang panjang. Dia kembali menarik sebuah foto yang diselipkan di bawah bantal. Pria berkemeja biru tua yang sedang sibuk di depan komputer.  Almira tidak bisa melihat dengan jelas wajah pria itu karena fotonya diambil dari samping. Matanya menyipit untuk mencari petunjuk siapa sang calon masa depan, tapi dia tidak menemukan. Dia tetap merasa asing. Fauzan Alfarizi  Hati Almira berdesir ketika menyebutkan nama pemilik foto. Dia jadi teringat sesuatu. Kapan dia merasakan perasaan asing ini? Ah, ya! Ketika dia melihat dan mengingat pria berkemeja hitam. Gadis itu menepuk kening dan memukul-mukul kepala. Sayang, desiran itu bukannya berkurang atau menghilang, melainkan bertambah.  Tidak boleh, Almira. Bukankah kamu sudah setuju untuk berkenalan dengan pria pilihan Bapak? Jangan mengecewakan dan mempermalukan keluarga hanya karena pria tidak jelas itu. Kamu harus benar-benar membuangnya dari pikiran.  Kenapa tidak boleh? Toh, kamu hanya memikirkan. Kamu hanya menyukai rasa aneh yang menjalari hati ketika sedang memikirkan pria itu. Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun. Kamu sekadar mengagumi kebaikannya. Tidak lebih. Benar, kan?  Almira menenggelamkan kepala di bantal kesayangan dan berusaha meredam perang batinnya. Dia memejamkan mata rapat-rapat dan menggumamkan doa-doa untuk melenyapkan si pria penuh pesona dari kepala.  Astagfirullah! Ya Allah, lindungilah diriku dari bujukan setan yang menyesatkan.  Setelah merasa lebih baik, Almira duduk dan mengatur napas. Taris napas, buang. Tarik napas, buang. Begitu terus sampai dia bisa mengendalikan perasaan. Mata bulat gadis itu kembali menatap foto Fauzan Alfarizi.  “Dia itu lulusan terbaik di kampusnya. Sebelum memutuskan menetap di sini, dia tinggal di Jakarta selama kuliah dan membuka bisnis mebelnya.” Ada rasa bangga pada kalimat Bapak saat menceritakan sosok kandidat imamnya. Padahal dia bukan siapa-siapa Bapak. Almira jadi bertanya-tanya, apakah Bapak juga bangga memiliki putri hebat sepertinya.  “Karena usaha yang di Jakarta sudah sukses, dia membuka cabang di Pekanbaru. Perusahaannya baru berdiri dua bulan lebih, tapi sudah maju pesat. Banyak yang menyukai produknya. Bisa jadi salah satunya adalah perusahaanmu. Nama perusahaannya Mebel Nusantara. Coba kamu tanya sama teman-temanmu yang mengurusi masalah furnitur.”  Helaan napas Almira kembali membuat sesak. Dia mengenal perusahaan milik Fauzan Alfarizi. Mebel Nusantara. Nama perusahaan yang sederhana namun mampu membuat sang bos di perusahaan Almira berpindah hati.  Bos yang terkenal dengan sifat perfeksionis itu meminta semua furnitur diganti dengan produk Mebel Nusantara. Almira berani bertaruh jika perusahaan Fauzan Alfarizi memang bukan main bagusnya. Dia tahu bagaimana bosnya. Tipe orang yang selalu menggunakan produk terbaik. Jadi, sudah jelas pilihannya selalu yang terbaik pula.  Mendapati kenyataan itu membuat Almira gelisah. Bagaimana jika Fauzan Alfarizi adalah pria kaya sombong dan suka merendahkan orang lain? Dengan perusahaan hebat seperti itu, dia pasti sudah memiliki segala hal. Lalu, mengapa dia mau saja dijodohkan dengan wanita seperti Almira?  Dengan gemas Almira menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar tidak berteriak seperti keinginannya. Dia sungguh penasaran dengan sosok Fauzan Alfarizi. Tangannya meraih ponsel dan mulai menuliskan nama si pria. Jika memang terkenal, pasti dia ada di google, kan?  Benar saja. Ada sosok itu di sana.  Begitu melihat foto Fauzan Alfarizi, kedua mata Almira membulat. Bukan karena berita atau informasi mengenai dirinya, tetapi karena foto yang ditampilkan mengingatkan Almira pada seseorang. Fauzan Alfarizi dan pria berkemeja hitam di lampu merah adalah orang yang sama.  Bagaimana bisa ada kemungkinan seperti ini? Entah apa yang membuat Almira tiba-tiba mengucapkan hamdalah berulang kali. Dia merasakan tubuhnya penuh dengan sesuatu yang menggelitik. Bibirnya tertarik ke atas dengan mata berbinar-binar.  Almira merasa seolah berada di sebuah taman indah yang penuh bunga wangi. Pohon-pohon tinggi yang menyejukkan. Musik indah yang mengalun. Lagu kebahagiaan yang membuatnya melayang-layang .... “Al!” Panggilan sang ibu menghilangkan segala angannya. Dia menoleh dan melihat Ibu ada di ambang pintu kamarnya dengan dahi berkerut. Almira mengerjapkan mata berkali-kali.  “Kenapa, Bu?” tanya Almira heran.  “Seharusnya Ibu yang bertanya, kamu kenapa?” Almira menatap Ibu tak mengerti.  “Memangnya Al kenapa?”  “Kamu dari tadi teriak ‘alhamdulillah’ berulang kali. Kamu dapat apa?”  Refleks tangan Almira mengelus tengkuknya. Dia jadi merinding sendiri. Dia merasa hanya mengucapkan hamdalah di dalam hati. Bagaimana Ibu bisa mendengarnya? Apa tanpa sadar dia mengucapkan kalimat itu keras-keras?  “Enggak kok, Bu,” jawab Almira salah tingkah. Kalau Ibu tahu dia begitu karena Fauzan Alfarizi, bisa malu. Semoga Ibu tidak curiga. Ibu masih belum beranjak dari tempat. Tampaknya dia belum yakin dengan jawaban putrinya. Ketika Almira bersiap untuk menambahkan, Ibu membuka suara terlebih dulu.  “Jangan teriak-teriak. Kamu itu perempuan, harus jaga perilaku. Lagi pula ini sudah malam. Lebih baik kamu tidur.”  “Iya, Bu. Maaf,” lirih Almira.  “Ya, sudah. Tidur.”  Sesudah berkata begitu, Ibu menutup pintu dan pergi. Almira menutup mulutnya yang masih belum berhenti tersenyum. Dia berbaring dan menarik selimut sampai d**a. Matanya nyalang menatap atap kamar.  “Aku tidak sabar bertemu denganmu, Mas. Semoga Allah memudahkan jalan kita. Amin.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD