3. Sang Pengintai

1309 Words
Pria berkemeja hijau pupus itu masih memandangi tablet kesayangannya. Senyum berulang kali menghiasi bibir. Matanya memancar terang seolah ada bola lampu di sana. Tangannya terulur untuk menyentuh wajah cantik di layar tablet.  Perlahan sosok di layar tablet berganti pose. Menampilkan seorang gadis berjilbab biru laut yang sedang memilih baju. Lalu berganti foto lagi, masih gadis yang sama, duduk di sebuah bangku dan memijat kaki. Selanjutnya, foto sang gadis tersenyum lebar ketika berbicara. Objeknya selalu si gadis dengan senyum yang disukai pria itu.  Suasana foto berganti. Kali ini gadis pemilik senyum manis sedang berada di atas motor matic putih. Dia mengenakan jilbab segi empat hijau muda yang menambah pancaran kecantikannya. Tangan kanannya memegang sebuah helm. Dia menatap mentari pagi seraya tersenyum.  Tangan pria itu memencet tanda pause ketika tablet menampilkan si gadis yang berada dalam pose paling sempurna. Gadis itu duduk di sebuah kafe, dia bertopang dagu seraya tersenyum lebar. Jilbab merah muda sepertinya sangat cocok untuk pemilik kulit putih itu.  Helaan napas terdengar, pria itu membuka laci dan kembali menemukan foto-foto sang gadis. Entah sejak kapan dia suka memandanginya. Dia tidak pernah merasa penasaran kepada gadis mana pun setelah pengalaman pahitnya dulu. Kenapa kali ini berbeda? Sejak malam itu.  *** “Kenapa harus dijodohkan sih, Pa?” protes pria berkemeja ungu dengan wajah berkerut. Dia menahan agar kedua tangannya tidak mengepal. Kedua mata elang sang pria sudah siap menerkam siapa saja. “Karena kamu memang harus dijodohkan, Alfa.” Alfa mendengus. Wajahnya semakin berkerut ketika melihat Mama sudah menahan tawa dari tadi.  “Tapi Alfa sudah dewasa. Alfa .... ”  “Tepat sekali,” potong Papa tegas. Dia melipat kaca mata yang sedari tadi dipakai untuk membaca koran. Mata tuanya menatap serius Alfa. “Almira itu wanita baik, kamu pasti sangat beruntung karena bisa bertemu dengannya.”  “Pa!” Emosi Alfa sudah mencapai ubun-ubun. Dia baru saja diminta melebarkan usahanya dan sekarang dijodohkan. Papa benar-benar tidak bisa dibiarkan lagi. Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, dia memang yang paling dekat dengan orang tua. Ditambah ketiga kakaknya yang tinggal di luar kota. Dia menjadi satu-satunya anak yang masih bisa dikendalikan. Namun, perjodohan?  Yang benar saja! Ini sudah tahun 2018. Mengapa kata ‘perjodohan’ masih dipakai sebagai alat menuju pernikahan. Menikah itu butuh perjalanan panjang dan Papa ingin menikahkan anak kesayangannya dengan putri sang sahabat. Memangnya ini daerah pedalaman? Ini Pekanbaru! Salah satu kota yang sedang berkembang. Bagaimana bisa pemikiran ini masih ada.  “Ketemu saja dulu, kamu bukannya mau dinikahkan besok, Al,” ujar Mama, meredamkan gejolak emosi anaknya.  “Mama dukung Papa?” tanya Alfa, matanya masih setajam tadi.  “Mama sudah pernah bertemu Almira. Dia cantik, pintar, dan baik. Mama suka.”  “Kalau dia sudah sesempurna itu, kenapa belum nikah juga? Kenapa harus dijodohin? Jangan-jangan dia punya penyakit.”  “Alfa!” tegur Papa keras. “Jaga ucapanmu!”  Alfa mengerjap. Jika papa sudah berteriak, kesalahannya pasti sudah fatal. Dia tidak bermaksud menjelekkan gadis itu, tetapi di zaman serba canggih ini mana ada wanita sempurna yang mau dijodohkan. Apa lagi dengan pria asing. Di tambah umurnya masih 25 tahun. Belum terlalu tua, bukan? Hanya tiga tahun lebih muda darinya.  “Dia wanita muslimah, karena itu dia tidak mengenal istilah pacaran,” jelas ibu.  “Oh.” Rasanya Alfa mulai mengerti sekarang. Jadi bukan wanita berpenyakitan, tetapi wanita kolot. Ya Ampun! Malang sekali nasibnya. Dan dia memang akan menerima perjodohan ini. Baginya, titah Papa adalah keputusan akhir. Jadi, lebih baik turuti saja. Mana tahu dia bisa menyulap si gadis kolot menjadi tuan putri cantik jelita.  *** Akan tetapi, ternyata Alfa salah besar. Almira Nafisha adalah bidadari. Wajahnya seputih artis Jakarta. Postur tubuh impian setiap pria, tinggi langsing. Meski selalu menggunakan busana longgar, Alfa berani bertaruh jika Almira memang sempurna.  Jilbab yang selalu menghias wajah ovalnya semakin memancarkan kecantikan. Senyum manis dan tutur kata yang lembut Almira berhasil menghipnotis Alfa. Dia berusaha menahan diri untuk tidak menyapa gadis itu, tetapi petang itu dia tidak tahan lagi.  Ketika melihat Almira yang tak kunjung menjalankan sepeda motornya, Alfa menghampiri dan menegur. Sungguh! Suara Almira sangat merdu. Dia jadi ingin berbicara lama dengan gadis itu. Sayangnya, dia buru-buru karena sudah ada janji.  Almira! Tunggu kedatanganku ke rumah, ya.  Alfa tidak akan membiarkan pengintaiannya selama ini sia-sia. Dia menginginkan Almira untuk dirinya. Ingatkan dia untuk berterima kasih kepada Papa karena sudah menghadirkan gadis itu dalam hidupnya. Kebahagiaan masa depannya.  *** “Wah! Siapa, Bro?” Alfa menatap tajam Haris, sahabat sekaligus rekan bisnisnya, yang sudah berada di depan meja dan mengacungkan salah satu foto Almira.  “Sini!” Dengan cepat tangan Alfa menyambar foto itu, lalu memasukkannya ke laci. Haris terbahak. Dia menikmati wajah jengkel Alfa. Sahabatnya itu belum pernah bertingkah seperti ini jika menyangkut seorang wanita.  “Pacar?” tanya Haris tanpa basa basi. Dia duduk di depan Alfa.  “Calon istri,” jawab Alfa ketus. Haris kembali terbahak.  “Calon istri? Yang benar saja. Sejak kapan kamu memikirkan pernikahan?”  “Aku serius. Aku dijodohkan.” Haris mengerutkan kening saat Alfa mengucapkan kata ‘dijodohkan’ dengan mata berbinar dan senyum semringah. Seolah dia memang sudah lama menginginkan hal itu.  “Kamu senang dijodohkan?” cibir Haris. “Aku pikir kamu pria modern yang tidak menerima perjodohan.” Alfa tersenyum menanggapi perkataan Haris.  Haris benar. Sebelum ini dia juga menolak untuk dijodohkan. Kenapa sekarang dia malah kesengsem begini. Apakah dia sudah jatuh cinta pada sosok Almira?  “Kamu memang sedang jatuh cinta, Al.” Alfa tersentak. Dia menatap horor Haris. Apa sekarang temannya itu sudah menjadi ahli percintaan. “Itu tertulis jelas di dahimu.” Haris menekan telunjuknya ke kening Alfa. Hanya sekejap, karena detik selanjutnya Alfa menepis kasar tangan Haris.  Haris tergelak. Dia sampai harus memegangi perutnya yang mulai sakit. Tawanya semakin keras melihat wajah Alfa yang memerah antara menahan marah dan malu.  “Aku rasa Almira memang sosok yang memesona sampai membuatku seperti ini,” ucap Alfa lirih. Tawa Haris seketika terhenti.  “Tunggu! Almira katamu?” tanya Haris memastikan. “Apa gadis yang akan dijodohkan denganmu bernama Almira?  “Iya. Almira Nafisha. Nama yang cantik, kan? Secantik orangnya.”  “Sepertinya aku mengenal Almira. Coba lihat foto itu.”  “Tidak usah mencari alasan, kamu hanya ingin melihat wajahnya, kan?” tolak Alfa tegas.  "Aku serius. Teman dekat istriku bernama Almira.” Alfa memicingkan mata.  “Serius?” Saat mendapat anggukan dari Haris, Alfa mengulurkan foto Almira.  “ Ya Ampun! Dunia sempit banget. Ini memang Almira teman Midah, istriku,” kata Haris seraya menggelengkan kepala. “Selamat, Bro. Aku tahu banget Almira wanita baik. Bahkan terlalu baik buatmu. Dia wanita hebat. Kamu beruntung.” Haris berdiri dan menepuk-nepuk pundak Alfa.  “Aku tahu itu, beberapa hari ini aku mengikutinya.” Alfa mencoba mengalihkan matanya ke segala arah. Haris nyaris meledakkan tawa kalau saja Alfa tidak memberikan tatapan maut kepadanya.  “Aku pikir kamu dengan Nasha.” Mendengar nama Nasha, Alfa tertegun lama. Dia sudah bersiap menjawab, tetapi Haris menyela. “Kamu dan Nasha tidak saling mencintai, kan?” selidik Haris. Alfa tertawa.  “Kami hanya berteman dekat. Mana mungkin kami saling mencintai.”  “Yakin?”  “Tentu saja.”  “Baiklah. Aku percaya padamu. Almira itu wanita baik. Jangan sampai kamu menyia-nyiakan dia.”  “Aku yang akan membahagiakannya. Kamu tidak perlu khawatir,” kata Alfa mantap.  Dalam hati, pria itu berdoa semoga apa pun yang terjadi ke depannya nanti, dia tidak akan pernah menyakiti Almira. Gadis pertama yang berhasil membuatnya berdebar-debar dan penasaran setelah hatinya hampa sekian lama.  Cinta memang tidak bisa ditebak. Dia datang tiba-tiba pada waktu tak terduga. Menyiramkan beribu kebahagiaan bagi yang menikmatinya. Menggoda setiap pencinta untuk tunduk dan menjadi budaknya. Saat kita sudah dilanda asmara, akan banyak godaan yang menghampiri. Bersiaplah untuk mengontrol hati dan perasaan. Jangan terlena dan terhanyut dalam lembah dosa yang mengintai setiap insan yang lalai. Biarkanlah cinta berada pada jalurnya, sehingga kita bisa menikmati rasa manisnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD