[2] Sedikit Cerita

2652 Words
Tawa saya disini, adalah tawa murni yang dapat dihitung berapa kali terjadinya, dalam tujuh tahun ini. —Winter Wonderland, bersama Satria. NADINE'S POV Napasku terengah. Kupegangi kepala yang terasa sakit. Kenapa mimpi itu lagi? Untuk kesekian kalinya mimpi itu menjadi tamuku dikala aku tertidur, membuatku lebih memilih untuk terjaga saat malam. Tapi ternyata, obat yang kuminum selalu saja berhasil membuatku mengantuk. Kugerakkan tubuh untuk menuruni tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Kunyalakan beberapa lampu tidur, membuat keadaan di sekelilingku disinari cahaya temaram. Kuturuni anak tangga sambil merapatkan jubah tidurku. Musim dingin yang sudah dimulai sejak beberapa hari lalu membuat salju senantiasa turun di luar sana. Baru memasuki ruang keluarga berniat menghangatkan diri di perapian, keberadaan seseorang di depan televisi membuatku tak bisa menyembunyikan rasa kagetku. Sean sialan. "Lo belom tidur?" tanyaku pelan pada pria yang kini sibuk dengan siaran bola di hadapannya. "Eh, Nad? Haus?" "Gue kedinginan di kamar." Sebenarnya jawaban itu tidak sepenuhnya berbohong, karena pemanas ruanganku sedang rusak sekarang. "Pemanas ruangan?" "Rusak." "Kok nggak dibilang ke gue?!" "Itu barusan gue bilang." "Maksudnya kenapa nggak dari kemarin?" "Orang rusaknya baru tadi," ujarku datar lalu mengambil tempat di samping Sean. "You okey?" Aku menatap Sean cukup lama sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Kayak yang lo liat," ujarku pelan. Aku menatap televisi, membiarkan retinaku menangkap siaran para pria yang sibuk mengejar bola. Namun pikiranku tidak fokus pada layar kaca di depanku. Bagaimana nanti jika aku kembali, ternyata banyak orang yang membenciku? Bagaimana jika aku kembali bertemu dengan lelaki itu? Aku takut. Bagaimana jika nanti aku kembali terluka? Gue bakal nunggu lo, Nadine. Napasku tiba-tiba menderu, tanganku kembali bergetar. Rasa gelisah itu lagi-lagi datang menghampiriku. Sekuat tenaga kutahan keadaan tubuhku agar Sean tidak sadar, namun gagal, Sean sudah lebih dulu bersuara dengan nada panik. Gue janji, gue bakal jemput lo lagi. "Nad?" Jangan tinggalin gue, Nad. Kurasakan genggaman hangat Sean di tanganku dan tubuhnya mendekapku erat. Kutarik sekuat tenaga kaus Sean, ingin mengatakan bahwa sebenarnya aku sudah tidak kuat lagi. Air mataku lagi-lagi mengalir, perasaan itu datang lagi menghukumku. Kesalahanku adalah meninggalkannya. Kesalahanku karena bersifat egois dan bodoh selama ini. Tuhan, aku hanya ingin bebas dari perasaan ini. Teriakan Sean memanggil Reva terdengar, dan setelah itu suara lembut menenangkan miliknya yang memenuhi telingaku. Memintaku meminum air putih yang mungkin dibawakan oleh Reva, merapalkan kalimat bahwa aku akan baik-baik saja. Tapi seakan tidak percaya, aku tetap saja tidak tenang. "Please ke sini sekarang." Aku mengabaikan kalimat Sean yang entah ditujukan kepada siapa. Mulutku sibuk meracaukan kalimat tidak jelas. "Obatnya, Rev." Teriakan Sean membuatku seketika melepaskan tangan pada kausnya, kupindahkan tanganku untuk menutup mulut. "GAK!" ujarku dengan suara kuat. "Gue nggak mau minum pil sialan itu. Gue sehat. Gue udah idup sehat. Gue gak butuh benda kecil itu," racauku lagi. "Nad...." "Nggak mau, Yan." Air mataku meluruh sempurna, menatap memohon pada Sean. "Gue sehat. Gue nggak sakit. Obat itu bikin gue makin buruk. Obat itu yang nyebabin gue sakit, Yan." Getaran di tanganku belum berhenti, Sean kembali menarikku ke dalam pelukan hangatnya. Tidak lama, sebuah aroma yang begitu kukenal dengan baik tertangkap oleh indra ciumku. "Mbak, ayo diminum." Perlahan, kulepaskan diri dari dekapan Sean. Kuatur napas dan saling kugenggam tanganku. Kutatap Reva yang kini tengah bertumpu dengan kedua lututnya dibawahku. Dia tersenyum lembut, menjulurkan tangan lalu ikut menggenggam tanganku. "Pelan-pelan aja, Mbak. Ada mas Sean, ada aku Mbak, Mbak bakal baik-baik aja." Aku diam, hanya mendengar kalimat Reva tanpa berniat meresponnya. Kujulurkan tangan perlahan berniat mengambil telinga gelas bergambar pohon musim semi. Kuletakkan telapak tangan disekitar badan gelas. "Makasih ya, Rev." Ujarku susah payah. Kusesap coklat panas buatan Reva sedikit demi sedikit. Sungguh menenangkan. Kurasakan Sean yang beranjak dari tempatnya, entah mau kemana. Tak lama, dia kembali membawa piring kecil berwarna putih. Saat Sean meletakkan piring tersebut di atas meja di depan kami, baru terlihat olehku apa isi piring tersebut. Tiga buah coklat hitam. Aku meringis menatap benda berbentuk kubus tersebut. Rasanya yang pahit membuatku sedikit enggan memakannya. Aku lebih sering memakan coklat yang sudah diolah dengan campuran s**u dan gula, lebih manis. Namun akhirnya, Sean memarahiku. Semua coklatku disita oleh pria yang kini duduk diam di sampingku. "Satu aja." Kuhela napas dan akhirnya kuambil satu coklat dari piring kecil tersebut. Kugigit sedikit demi sedikit. Ayo, Nad. Biar sehat. Satu coklat berhasil kuhabiskan, lalu kembali kusesap coklat panas buatan Reva. Setelah itu, aku memilih menyandarkan tubuh pada d**a Sean. Elusan lembut pada rambutku membuatku lebih tenang. "Besok gue mau belanja." Aku memberi tahu Sean masih dalam mata tetap terpejam. "Ditemenin Reva, ya?" "Sendirian aja, nggak apa-apa." "Mbak yakin?" "Iya." "Mau belanja apa?" "Oleh-oleh buat Kiya." "Kiya?" Suara Sean terdengar penasaran. Sedang aku diam, tidak lagi menjawab. "Kiya doang?" "Cuma dia temen gue." "Dia tau lo bakalan pulang?" Aku menggeleng, Kiya belum tahu aku akan kembali. Dia pasti akan sangat terkejut mengetahui kepulanganku. Kami benar-benar tidak pernah bertemu dalam tujuh tahun ini. Beberapa bulan lalu, Kiya resmi mendapat Surat Izin Praktek-nya. Dia tengah membanting tulang di sebuah rumah sakit swasta ibu kota. Alasanku tidak pernah memberi tahukan apapun kepada Kiya mengenai keadaanku, karena aku tidak ingin Kiya khawatir. Pendidikan yang dia tempuh harus membuatnya fokus, tidak bisa diganggu. Mengenai oleh-oleh yang akan kubeli, itu akan menjadi hadiah untuk Kiya karena berhasil pada impiannya. Andai saja aku ada di setiap wanita itu menjalani hari-harinya. Aku menghela napas, menggeleng pelan dan menekan kalimat pada otakku bahwa aku tidak perlu khawatir mengenai apapun. Suara bel terdengar, membuatku membuka mata, Reva tengah berlari membuka pintu. Siapa tamu yang datang malam-malam begini? Tidak lama, kulihat Reva kembali dengan plastik putih berlogo rumah makan cepat saji. Di belakangnya, terdapat Satria yang tengah membuka jaket tebalnya. "Darimana lo?" tanya Sean sambil memperbaiki duduknya dan mendekapku makin erat agar tidak kedinginan. "Lagi makan waktu lo telfon tadi. Itu gue minta Reva salinin makanannya, gue beli lebih." Kutatap Satria yang kini memilih ikut duduk di sofa bed. "Kenapa, Nad?" Pertanyaan lembut Satria tidak kupedulikan, kuambil remote lalu mulai mengganti channel tv. "Gue ke kamar dulu." Ketika Sean hendak bergerak, aku langsung saja menahannya. Aku tidak mau dia pergi. "Disini aja," pintaku padanya, dan Sean kembali diam. "Aku mimpi. Mimpiin sesuatu yang nggak pernah aku harepin. Terus kalimat-kalimat yang gamau aku inget lagi mulai terbang di pikiran aku." Aku menghela napas sebelum kembali bersuara. "Sedikit, aku belum siap buat pulang. Aku takut sama reaksi orang-orang nanti. Aku nggak siap ketemu mereka. Aku takut. Terlebih kalau nanti aku ketemu sama adikku sendiri." Kurasakan elusan di tanganku. "Sampai sekarang, aku belum bisa maafin dia. Dan aku nggak pernah punya niat buat maafin dia. Aku nggak bisa." Kutahan sebisaku air mata yang akan meruntuhkan pertahananku. "Dia faktor utama kenapa aku kayak gini. Dia yang buat aku terpaksa harus minum obat dari kamu. Aku benci dia, walaupun statusnya tetep adek kandung aku. Aku nggak bisa maafin dia." Air mataku akhirnya mengalir, kututup wajahku dengan telapak tangan sambil merasakan dekapan Sean yang kian erat. "Aku harus gimana, Sat? Aku capek kayak gini. Tapi aku belum bisa damai sama masa lalu aku sendiri. Sakit, Sat." "Ketakutan itu berhasil jadiin hati sama pikiran kamu tahtahnya dia. Dia berhasil nguasain kamu. Ambil apa yang seharusnya jadi milik kamu, Nad. Rebut balik tahta itu." Kutatap Satria sambil sesekali menghapus sisa air mata. "Caranya cuma satu, kamu harus hadepin ketakutan itu. Kalau damai nggak bisa, ngelawan satu-satunya cara. Tahta itu milik kamu, dan selamanya bakal begitu. "Dengan kamu pulang, itu udah jadi langkah besar buat kamu rebut balik apa yang seharusnya jadi milik kamu. Nggak usah ragu, banyak yang bakalan dukung kamu." Aku menghirup oksigen sebanyak mungkin, lalu menghembuskannya perlahan. Kupikirkan lagi kalimat-kalimat Satria. Semuanya akan baik-baik saja. "Bakal aku coba sebisa aku," ujarku pelan. Dekapan Sean benar-benar memberiku ketenangan, membuat keadaanku lebih baik sekarang. Reva kemudian datang dengan beberapa piring, membuatku terduduk karena penasaran dengan makanan yang dibawa Satria. "Nyuruh aku hidup sehat tapi sendirinya malah makan begini." "Aku lupa beli bahan makanan. Tadi udah kelaperan banget." "Kan kamu bisa ke sini, makan malem bareng kita. Lagian aku sama Reva selalu masak." Kulirik Sean tajam saat mendengar dia terus saja berdehem. "Nggak lucu ya, Pak." "Tidur sana." Perintah Sean sama sekali tidak kuindahkan. "Sumpah aku bisa aja buang makanannya, tapi mubazir, dosa, masuk neraka. Ini terakhir kali aku liatin kamu makan begini, kalau laper dateng kesini aja. Nggak disiplin banget, sih, seharusnya kalau kamu suruh aku hidup sehat kamunya juga harus kayak gitu." "Iya, Nad, nggak lagi. Tidur sana." "Sama aja kalian berdua. Mau bicarain apaansih sampai harus ngusir aku? Pemanas kamar lagi rusak, aku mau disini aja ikutan ngobrol." Kulirik Reva yang tengah terkekeh, mencebik sebal ke arahnya. Tidak ada yang lucu. "Yaudah, aku tidur duluan, ya. Mbak Nadine kalau apa-apa ke kamar aku aja tidurnya." "Iya," jawabku pendek "Jiwa nenek sihirnya balik lagi, Rev, biasa, efek nonton Hansel and Gretel yang witch hunters, berasa reuni dia." "Enak aja." "Emang iya." "Nggak." "Yaudah nggak." "Besok kamu jadi ke tempat Dokter Edward? Perlu aku temenin?" Aku menatap Satria ketika suaranya kembali terdengar. "Oh iya aku baru inget." Besok aku harus mengunjungi dokter Edward berniat mengatakan tentang kepulanganku. "Terserah kamu sih mau nemenin apa enggak, lagian aku sama Dokter Edward juga bakal minum teh doang. Ngobrol santai sekalian bahas kondisi aku." "Di sini ajalah, minum teh, kan?" Aku menatap Sean sebentar lalu kembali menatap televisi. "Sekalian makan malem juga sih sebenernya. Mrs. Edward ngundang gue." "Mr. Dalton bener-bener numpahin semua kerjaan ke gue, lo besok bareng Satria aja. Dia jemput lo abis lo belanja." "Hm." *** Aku membelah jalanan kota London dengan kaki dibalut boots cokelat tua setinggi betis. Jeans putih dipadu dengan mantel yang panjangnya hingga lutut. Percayalah, di dalam mantel ini aku mengenakan baju berlapis. Kumasukkan tangan ke dalam sarung tangan yang menggantung di mantelku, kurapatkan beanie sambil mengeluarkan karbondioksida. Dingin sekali sekarang. Sisa-sisa salju yang baru saja dibersihkan dapat terlihat di jalanan. Aku memasuki starbuck yang tampak dipenuhi oleh beberapa orang. Setelah memesan, aku memilih untuk duduk di salah satu kursi sambil setia memainkan ponsel. Kiyara: Lagi apa? Nadine: Napas. Kiyara: Pinter. Nadine: Emang. Kiyara: Pengen liburan. Nadine: Kesini deh. Kiyara: Miskin gue. Kiyara: Eh sambung ntar, sibuk banget. Nadine: Iya, Dokter Kiya:-) Aku tersenyum menatap chatku bersama Kiya. Walaupun hanya beberapa menit, setidaknya aku tahu bahwa kabar wanita itu baik-baik saja. Dia pasti tengah sangat sibuk sekarang. Aku berdiri ketika namaku dipanggil oleh barista, kulangkahkan kakiku mendekat. Tersenyum ketika menerima minumanku dan setelah itu beranjak dari sana. Aku memilih berjalan kaki selain karena olahraga, nyatanya memang lebih nyaman seperti ini. Menaiki bus atau kereta api bawah tanah untuk pergi kemanapun. Lagipula, jika menyetir mobil pribadi akan lebih repot, karena selain sulit mencari parkir, biaya parkir juga tergolong mahal. Taksi? Tidak, terima kasih. Per kilometer, tarifnya bisa mencapai seratus ribuan. Sangat lebih bermanfaat bila uang tersebut aku simpan. Aku hanya memilih taksi ketika keadaan genting. Aku memilih menuju department store, menghabiskan waktu disana sambil menunggu kedatangan Satria. Aku berhasil mendapatkan beberapa baju untuk Kiya. Sepertinya tubuh Kiya tidak jauh berbeda denganku. Tidak berhenti disini, setelah makan malam nanti aku sudah berencana untuk mengunjungi Winter Wonderland di Hyde Park. Ketika musim dingin seperti ini dan dimana sebentar lagi umat Christiani akan menyambut hari besar mereka, Winter Wonderland adalah salah satu tempat yang wajib aku kunjungi. Banyak pernak-pernik lucu yang akan dijual oleh orang-orang di dalam kios-kios berbentuk rumah dari kayu yang berjajar cantik juga meriah. Kaus, topi, apapun yang akan membuatku gelap mata jika sudah berada di tempat itu. Setelah kurang lebih sepuluh menit menunggu Satria, mobilnya akhirnya tampak. Aku mendekat, masuk ke bagian jok di samping kemudi lalu melemparkan belanjaanku ke jok belakang. "Banyak juga. Buat siapa aja?" "Satu orang doang." "Semuanya?" "Hm." Aku diam, melepaskan sarung tangan dan juga beanie, lalu mengeluarkan ponsel. "Oh iya, nanti kita ke Winter Wonderland ya, please...," pintaku pada Satria yang kini bergantian menatap wajahku dan jalanan di depannya. "Mau ngapain?" "Ikutan jualan," jawabku kesal. Pertanyaan macam apa itu? "Serius?" "Ya mau main abis itu belanja, Sat. Lusa aku udah berangkat ke Paris, abis itu dari sana aku bakal sibuk banget ngurus kepulangan. Nggak punya waktu takutnya." "Yaudah iya." "Thank, you." *** "Ayo main itu!" teriakku semangat menatap Satria, pria itu tampak mengeluarkan senyumnya. Ini pertama kalinya aku pergi berdua bersama Satria. Biasanya Sean yang akan setia menemaniku kemari. Keadaan di sekeliling tampak ramai, seperti biasa. Aku menarik Satria agar dia dapat berjalan lebih cepat. "Pelan-pelan, Nad. Nanti jatoh." "Nggak apa-apa." "Nggak mau makan?" "God, Satria. Perut kamu isinya beruang, ya? Kita baru selesai makan malem di tempatnya Dokter Edward, dan kamu mau makan lagi?" "Itu ada burger." "Aku lagi usaha banget ya supaya nggak nyentuh makanan kayak gitu. Kamu tu harusnya nggak gini tau nggak? Nyuruh aku sehat tapi sendirinya enggak." "Yaudah enggak." Aku menatap Satria sambil menggigit bibir bagian dalam. Menatap pria itu penuh tanya. "Kamu- beneran laper?" "Hm." "Yaudah nanti aku masakin." "Bener, ya?" "Hm." "Ayo main!" Aku seketika mengerjap bingung, Satria terlihat penuh semangat berjalan di depanku dengan keadaan tangannya yang menarik tanganku. Entah sudah berapa lama kami bermain, kini aku menarik Satria untuk berjalan menuju kios-kios lucu. Sebuah beanie berwarna putih dengan bentuk ear cat menarik perhatianku. "Itu yang model monster lucu," ujar Satria membuatku menatap pada tunjukannya. "Itu kayak monster yang ada di monster inc, ya." Aku memilih mengambilnya, setelah itu lanjut kembali melihat-melihat. "Aku kepengen Peruvian lagi." "Itu di kepala kamu Peruvian." "Nggak apa-apa." Aku mengambil satu lagi beanie model Peruvian, bergabung bersama beanie model ear cat dan bentuk monster tadi. Sama sekali tidak mendengarkan kalimat Satria. Salah sendiri, mengapa benda-benda disini memiliki tingkat kelucuan di atas rata-rata. Langkahku terhenti ketika melihat sesuatu yang lucu. Aku jadi mengingat Lulu dan Lala. Kujulurkan tangan lalu kuambil benda lucu tersebut. Earflap Cap Winter Warm Hooded Scarf. Benda ini memiliki bentuk seperti binatang dengan hiasan telinga di atasnya. Menutupi bagian kepala hingga leher. Lucu sekali. "Itu kamu pake?" Aku menatap Satria sambil tersenyum semangat. "Buat keponakanku." Aku mengambil satu berbentuk serigala, dan satu berbentuk kucing. Setelah itu memilih langsung membayar. Bisa-bisa semua yang ada disini akan kubeli. Aku mengecek lagi semua belanjaanku ketika aku dan Satria sudah berada di dalam mobil. Lelaki itu tampak membeli sesuatu, walaupun aku tidak tahu apa yang Satria beli. Selama perjalanan menuju rumah, aku memilih mencoba beanie dan memainkan pernak pernik lucu yang aku beli. "Kamu besok kerja?" "Yap." "Mau aku anterin?" "Nggak mau," tolakku langsung. Bukannya ingin menolak rezeki, hanya saja aku memiliki alasan. "Aku besok mau jalan aja, biar beanie barunya kepake." Aku terkekeh dengan alasanku sendiri, sedangkan Satria tampak menggeleng pelan. Ketika mobil sampai di depan rumah, Satria dengan sigap membantuku membawa kantung-kantung belanjaanku. Aku menekan bel dan tak berapa lama Sean datang membuka pintu. "Darimana?" "Winter Wonderland," ujarku histeris. "Kok nggak bilang? Gue sama Reva udah mati karena bosen nungguin lo balik. Kita kirain lo kenapa-napa. Ponsel kalian berdua ditelfon juga nggak ada yang jawab." Aku seketika merasa bersalah, kutatap Sean berniat meminta maaf. Namun lelaki itu sudah lebih dulu berlalu menuju ruang TV. "Yan, maaf, hape gue ketinggalan di mobil tadi. Gue juga sampe sekarang nggak ada cek hape." Aku merasa benar-benar bersalah. "Rev maafin aku, ya. Aku sama Satria tadi kesibukan belanja." "Kita cuma mau lo ngabarin kita Nadine. Kita khawatir. Lo juga, Sat. Seenggaknya lo bisa ngabarin gue, kan?" "Sorry, Yan. Ponsel gue lowbat. Janji gue gak bakal kayak gitu lagi kalau Nadine lagi sama gue." Satria bersuara dengan tenang. "Yaudah kalau gitu gue balik, ya." "Eh, bukannya laper?" "Udah kenyang." Aku hanya dapat diam, tidak lagi memaksa Satria yang memilih pulang. Aku mengantarnya hingga depan, setelah itu kembali mengunci pintu. "Yan, maaf," ujarku lagi di sebelah Sean. "Jangan diulangin lagi." Senyumku seketika muncul, kupeluk erat Sean sambil mengucapkan janji. "Gue ke kamar dulu, ya." Aku pamit, memilih segera istirahat karena besok aku harus kembali bekerja. Kuambil ponsel yang tadi terus saja mati, kunyalakan dan langsung saja terlihat banyak notification. Salah satu pesan yang masuk membuatku terdiam. See you in Paris, Nad. Aku tersenyum, begitu rindu pada pria yang mengirim pesan ini.  ...tbc...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD