[1] Kesiapan

2152 Words
"Tik tok, tik tok, tik tok. Lihat! Sudah lama sekali ternyata." —Oxford Street, sambil menghela napas. NADINE'S POV "Gimana obatnya?" Aku menatap pria di depanku malas, memilih menorehkan pensil pada sketchbook di pangkuanku. "Nadine." Panggilan lembutnya membuatku menghela napas panjang. "Aku udah nggak butuh itu lagi," ujarku pelan. Saat melihat pria itu ingin membuka suara, aku dengan cepat langsung memotongnya. "Aku udah teratur sekarang. Olahraga nggak cuma kalau inget, makan udah tepat waktu, makanannya juga yang selalu kamu ingetin. Salmon, tuna, daging kalkun juga aku coba. Buat makan siang nasi putihnya udah aku ganti sama beras merah. Brokoli yang aku benci banget juga aku makan. Coklat hitam juga aku coba. Terus setiap jadwal minum teh, aku juga minumnya teh hijau. Nggak usah khawatir lagi." Pria itu tampak menghela napas panjang lalu memperlihatkan senyumnya padaku. "Pertahanin itu terus. Kalau kamu ada apa-apa, langsung cerita. Jangan pernah disimpen sendiri dalam hati. Aku peduli sama kamu." Ujarnya lagi, aku hanya menanggapinya dengan mengangguk pelan. Jangankan bercerita masalahku dengannya, memberi tahukan pada Sean saja aku malas. Tujuh tahun sudah aku disini, tinggal dirumah papa yang dulu, bersama Sean. Juga ada perempuan bernama Reva. Reva adalah asistenku, dia membantuku dalam menyusun segala jadwal agar aku tidak terlalu kerepotan. Itu ide Sean, karena Sean tidak ingin aku terlalu sibuk dan lupa dengan kesehatan. Saat Sean menawarkan asisten, aku langsung meminta orang Indonesia. Sean menyanggupinya, beruntung Reva menerima. Kami tinggal bertiga dan sudah benar-benar seperti saudara. Aku bersyukur bahwa perempuan yang lebih muda dua tahun dariku tersebut bersifat sangat professional. Selain rekan kerja, Reva juga merangkap sebagai teman. Selain itu, sebenarnya aku sudah lama meminta pada Sean untuk pindah, namun Sean menolak keras. Sean mengajarkanku untuk tidak menghindari masalah. Keinginanku pindah karena meninggalnya Mrs. Anna. Kepergiannya menghantamku keras, aku tidak bisa menerima itu. Mrs. Anna sudah seperti nenek untukku. Dia mengajarkanku banyak hal, terlebih memasak. Disamping itu, aku dan Reva lebih sering tinggal dan menghabiskan waktu bersama Mrs. Anna dirumahnya. Selama ini, hubunganku dengan keluarga di Indonesia masih terbilang baik, entahlah. Walaupun aku hanya memberi kabar pada mama dan papa. Itu sudah cukup menurutku. Pun aku memilih untuk memutuskan kontak dengan Aqila. Tidak hanya Aqila, teman-teman semasa SMA hanya Kiya yang aku biarkan mengetahui bagaimana aku sekarang. Semua sosial media milikku dulu, aku memilih menghapusnya. Membuat sosial media baru dengan nama lain. Temanku pada sebuah aplikasi chat hanya terdiri dari mama, papa, Sean, Kiya, lelaki cerewet tadi yang namanya Satria, dan beberapa kenalanku disini. Aku memilih menutup diri dengan orang-orang dulu. Rasanya kembali sakit mengingat bahwa aku hanya dianggap robot yang sepertinya tidak memiliki emosi serta perasaan. Jika mereka lupa, aku adalah manusia. Disini, aku berusaha bersikap senormal mungkin. Dekat dengan siapapun, bertegur sapa dengan siapapun, dan mencoba membuka diri. Tapi ternyata sulit, semuanya membutuhkan usaha keras. Aku tidak semudah itu dekat dengan orang-orang. Alhasil, aku hanya berinteraksi sekenanya lalu sudah. Masa lalu ternyata masih berusaha menjajahku, membuatku takut memulai semuanya dari awal. Puncaknya saat kepergian Mrs. Anna. Saat itu, kondisiku memang berada di titik terbawah. Hingga Sean meminta Satria untuk menanganiku. Juga hanya papa dan mama yang aku biarkan untuk tau bagaimana keadaanku. Selebihnya? Tidak ada. "Kamu pulang aja," usirku dengan nada pelan. "Aku ada urusan sama Sean. Kamu tidur aja." Aku menatapnya sebentar hingga akhirnya berdiri, meninggalkan ruang keluarga dan memilih naik ke kamarku. Bersamaan dengan aku yang membuka pintu kamar, Sean keluar dari kamarnya. Berjalan mendekat ke arahku. "Gimana?" "Apanya?" "Nad." "Kalau lo tanya tentang kesahatan gue, gue sehat. Tapi kalau lo tanya tentang gue sama Satria, lo masih gagal, Yan," kataku ketus sambil menatap Sean tajam. "Bisa nggak sih nggak usah begini? Gue cuma pasiennya dia, nggak bakal pernah jadi lebih. Lo keterlaluan tau, nggak?" Lalu kututup pintu kamar dengan kencang, tidak peduli reaksi Sean. Kepalaku berdenyut, semua rasa takut serta cemas itu kembali datang. Membayangiku lagi. Rasa takut masih setia mengikutiku bahkan setelah tujuh tahun lamanya. Aku menyandarkan punggung pada pintu, dan perlahan merosot ke bawah. Menekuk lututku dan kusembunyikan wajahku disana. "Kapan lo bakal ngelepasin gue dari ini semua, Azka?" Batinku berteriak sakit. "Bahkan setelah tujuh tahun kita pisah, rasa takut  tu selalu nemenin gue. Kapan lo bakal berhenti jahat ke gue, b******k!" Sungguh sakit ya Tuhan. Rasanya kepalaku akan segera pecah. "AKH!" *** "Dia nggak apa-apakan, Sat?" "Lo ngapain tadi? Yan, gue mohon sama lo, jangan paksain apa-apa dulu ke Nadine. Dia butuh ketenangan buat hati sama pikirannya, Yan. Rasa takut atau paniknya itu gabisa dianggep enteng. Sampai gue harus ngasih dia obat yang itu tandanya kalau kondisi Nadine emang jauh dari kata baik. Lo harus ngerti. Gue juga tau niat sampingan lo buat gue sama Nadine, tapi bukan sekarang waktunya. Kita jaga Nadine, dan kita pastiin dia bakal baik-baik aja tanpa obatnya. Gue sendiri salut karena dia mau dengerin kata-kata gue buat jalanin pola hidup sehat." "Gue minta maaf. Gue bener-bener minta maaf. Kita fokus ke kesehatan dia, ok?" Samar-samar kudengar percakapan Sean dan Satria. Berusaha kubuka mata dengan perlahan, pemandangan kamar langsung menyambutku. "Nad, lo sadar!" Suara Sean terdengar bergetar, terdengar begitu khawatir. "Tadi lo pingsan, gue langsung panggil Dokter Edward buat ngecek elo. Sekarang Dokter Edward udah pergi, ada urusan lain." Aku hanya mendengarkan Sean dan tidak berminat menjawab apapun. Satria yang berjalan ke arahku dengan segelas air membuatku duduk perlahan dibantu Sean. Aku menatap Satria sekilas lalu meminum minumanku. "Besok sama Satria ya, Nad." Aku menatap Sean, tampak pandangan sendu penuh permohonan disana. Aku menggeleng pelan ke arahnya, menolak permintaannya. "Besok gue mesti ketemu client," jawabku pelan, sulit sekali rasanya mengeluarkan suara. "Kesehatan lo lebih penting daripada client sialan yang ngajak lo meeting besok." "Gue yang ngajak meeting besok, mau apa lo?" "Nad, please." "Cuma kerja, Yan, yang bikin gue lupa sama beban pikiran gue. Rasanya pengen mati tau nggak, sih?" Aku menunduk, mengusap mataku yang lagi-lagi mengeluarkan air mata sialan. Kurasakan dekapan hangat milik Sean, membuat tangisku makin menjadi. "Biarin gue kerja ya, Yan. Gue janji bakalan baik-baik aja," bujukku lagi, namun tak ada jawaban dari Sean. "Yan, please. Gue cuma pengen kerja." Kurasakan helaan napas Sean, lalu dekapan itu terlepas. "Tanyain Satria coba?" "Aku kerja ya, Sat?" tanyaku pelan menatap Satria. Satria tampak berpikir dan akhirnya sebuah anggukan menjadi jawabannya. "Tapi janji, jam makan siang kamu harus udah ada di tempat aku." Walaupun tidak terima, aku tetap mengangguk. "Tidur." Perintah Sean lembut, dan perlahan membaringkan lagi tubuhku. Kupejamkan mata saat kurasakan kecupan lama pada dahiku. "Jangan pernah berani mikir buat ninggalin gue." Aku hanya tersenyum tipis, sebagai tanda mengerti ucapannya. *** Selesai meeting, aku berjalan keluar restaurant dengan tangan memegang paper bag berisi makanan. Berjalan menuju bus stop yang berada tidak jauh. Aku menunggu beberapa menit hingga akhirnya bus datang. Setelah duduk pada salah satu kursi, aku memilih fokus pada ponsel. Beberapa saat kemudian, tulisan mama muncul di layar ponselku. "Halo, ma." "Gimana keadaan kamu?" "Baik." Jawabku tenang. "Minggu lalu Satria bilang ke mama kalau kamu rawat inep di rumah sakit. Terus baru-baru ini kamu pingsan." Mama berhenti bicara, terdengar helaan napas diujung sana. "Pulang ya nak, biar mama sama papa juga bisa jagain kamu." Mama berujar lembut, terdengar meminta. "Ma aku gak sakit." Ujarku bergetar. "Iya, anak mama gak sakit. Anak mama sehat. Mama yang sakit kalau kamu kayak gini." "Ma.." "Nad, mama gamungkin biarin kamu sendirian. Seenggaknya biarin mama liat kamu. Mama khawatir, nak." "Ma, aku sehat. Gaada yang perlu dikhawatirin." "Iya, mama tau. Anak mama sehat. Tapi pulang ya, Nad. Mama kangen." Air mataku luruh, kupukul pelan dadaku dengan kepalan tangan, berharap sesaknya hilang. "Ayolah, Nad. Mau sampai kapan sembunyi terus di negara orang?" "Siapa yang sembunyi sih, ma? Orang aku kerja." "Kamu bisa kerja disini. Pasti banyak perusahaan yang mau narik kamu. Karya kamu lebih berguna kalau kamu abdiin buat bangsa sendiri." Aku menghela napas, perkataan mama memang benar. "Waktu oma meninggal, kamu juga gamau pulang. Mama kangen kamu, Nadine. Semua disini kangen sama kamu. Eyangmu selalu nanyain kapan kamu bakal ke Jogja. Opa kamu juga kangen makan malem keluarga sama kamu." Aku diam, bingung menjawab apa. Oma meninggal lebih dulu dari Mrs. Anna. Alasanku tidak pulang karena aku benar-benar belum siap. Aku yakin semuanya akan berkumpul saat itu, dan aku benar-benar tidak bisa. Hanya foto oma yang kumiliki sekarang. "Satria bakalan ke Indonesia bulan depankan? Kamu juga pulang. Udah kelamaan, Nad. Kamu harus pulang. Tujuh tahun itu udah cukup buat kamu sendiri, bikin batesan sama orang-orang. Mama gak mau kamu tumbuh sendirian." "Ma, Nadine ketemu client dulu." Dustaku dan langsung kuputuskan panggilan dan setelah itu memilih memejamkan mata. Percakapan tadi menambah lagi beban pikiranku. Kutarik napas dan kuhembuskan perlahan. Beberapa saat kemudian, aku turun dari bus. Lalu berjalan santai, berusaha memperbaiki emosi. Beberapa orang asing menyapaku, kubalas dengan senyum kecil dan anggukan pelan. Sudah biasa kudapatkan sapaan serta pujian di jalanan seperti ini. Aku memasuki sebuah rumah sakit, berjalan mencari ruangan Satria. Tanpa perlu mengetuknya, aku memilih langsung masuk. Tampak Satria yang kini tengah menekuni buku tebal miliknya. Dia menatapku lalu tersenyum, sedangkan aku hanya menatapnya datar lalu meletakkan paper bag berisi makanan di atas mejanya. "Padahal tadinya aku mau ngajak kamu lunch bareng. Eh taunya ditraktir." Ujarnya sambil memeriksa makanan yang kubawa. "Kamu beneran balik ke Indonesia?" Tanyaku pelan saat Satria mulai menyuapi makanannya. "Hm." Angguknya. "Kita bisa komunikasi lewat social media nanti. Gausah khawatir." Sebenarnya bukan itu yang aku khawatirkan, tapi entahlah. Perasaanku campur aduk. "Aku disuruh pulang." "Disuruh?" "Disisi lain aku juga mau, tapi gasiap." "Mau balik kapan?" Tanya Satria terlihat serius, karena dia memilih untuk mengabaikan makanannya dan fokus padaku. "Aku harus selesein sisa kerja aku dulu. Minggu depan aku mesti ke Paris sama rekan yang lain karena ada kerjaan disana. Mungkin itu bakal jadi moment terakhir buat aku kerja disini." Aku diam sebentar sebelum kembali menjelaskan. "Baru-baru ini Reva bilang ada tawaran kerja di Jakarta, meetingnya bulan depan dan lokasinya di Bali. Awalnya Reva mau langsung nolak karena itu Indonesia. Tapi aku larang, diambil ajalah." Jawabku sambil tersenyum tipis. Mungkin, memang saatnya aku pulang. Semua resiko saat disana nanti sebisa mungkin akan aku terima. Mama benar, sampai kapan aku akan terus bersembunyi? Masa lalu akan tetap mendatangiku untuk diselesaikan. "Kamu yakin?" "Sedikit." "Pikirin dulu, Nadine." "Aku yakin." Satria tampak terkekeh pelan, lalu kembali sibuk dengan makanannya. "Kamu gak makan?" "Kenyang." "Gabisa, kalau kamu gak makan siang, aku bakal ikutin kamu kemanapun." Aku menatap Satria geram, dengan cepat, aku mengambil makanan lain yang masih berada di dalam paper bag tadi. *** "Jadi bulan depan?" "Hm." "Kalau lo pulang ya gue juga pastilah. Tapi kayaknya gue belakangan. Mr. Dalton lagi puyeng banget kayaknya, semua kerjaan diturunin ke gue. Jadinya gue emang sibuk banget. Lo ke Bali nanti bareng Satria ya?" "Bareng Reva. Kok bareng Satria sih?!" "Bertiga." "Nggak." "Nad, ayolah." "Terserah lo." Ujarku ketus lalu menyesap lagi teh hijau di dalam cangkir yang sejak tadi aku pegang. "Gue kangen banget sama rumah. Lebaran puasa disini selalu aja sepi. Kayak nggak ada sama sekali. Lo bayangin yang dulu-dulu, rumah opa ramenya gimana. Apalagi Lulu, gue kangen banget ama tu bocah. Terus Lala, kita belum ketemu Lala, Nad." Kutatap Sean yang tengah menatap ke halaman luas berumput hijau. Sean benar, kami memang kesepian. Sebenarnya hanya aku. Sean seperti ini karena memilih menjagaku, memilih menjadi perisai dalam setiap keadaanku. Kabar tentang Lulu, bahwa dia sudah memiliki adik. Namanya Ashilla dan dipanggil Lala. Jika kalian bertanya nama lengkap Lulu, Mikayla Nazwa jawabannya. Aku sendiripun bingung mengapa Lulu menjadi panggilan bocah tersebut. Mama cukup sering mengirim foto Lulu dan Lala padaku. Dan foto favoritku adalah ketika Lulu mengenakan seragam putih merah. Aku begitu merindukan bocah itu. Masih ingatkah Lulu padaku? Selama ini aku juga tidak pernah berhubungan dengan Lulu. Aku membatasi hubunganku dengan keluarga disana. Erick dan Zifana, aku juga tidak tau mereka seperti apa sekarang. Kadang mama bercerita, bahwa ketika makan malam keluarga besar, semuanya terasa sepi. Cucu opa yang hadir hanya kak Fiko dan keluarga kecilnya. Selebihnya, jauh. Sedikit aku mengerti apa maksud Erick waktu dia mengatakan bahwa pengacara adalah impiannya sejak kecil. Pengacara tujuan hidupnya. Membela pihak-pihak bersalah adalah keinginan utamanya. Keluarga ini, ternyata terlalu mengekang kami semua. Zifana memilih kuliah di luar kota, dimana saja, asal tidak bersama orang tua. Erick sukses menyelesaikan S1 jurusan Hukum di Jakarta, om Arya memang begitu marah saat itu. Dan bahkan mengancam tidak akan pernah membayar biaya kuliah Erick. Lelaki itu terima. Asal dia dapat menjadi seperti apa yang ia impikan. Dia berusaha mendapatkan beasiswa dan ternyata juga bekerja untuk biaya kuliahnya. Diam-diam, sang mama juga membantu Erick. Setelah itu, Erick segera memilih terbang ke luar negri untuk melanjutkan kuliah master dengan mengambil S2. Kata mama, pria itu begitu berjuang untuk mendapatkan beasiswa. Om Arya sendiri telah luluh, perjuangan Erick membuatnya mengerti kalau keinginan sulungnya memang di bidang tersebut. Setidaknya Zifana nanti akan menolongnya, bungsu om Arya tersebut ternyata berminat menjadi sang papa. Jika Aqila, jangan tanya aku. Aku tidak tau apa-apa tentangnya. Bahkan tidak peduli. "Gue minta maaf buat yang semalem." "Gausah dibahas lagi." "Lo siapkan?" "Hm." Aku rasa, aku siap. ...tbc...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD