KOTA J, WALUKU, 2075
Musim kemarau berkepanjangan membuatku nyaris mati. Matahari bersinar sangat terik tepat di atas kepala. Ketika menengadah, cahayanya yang benderang langsung menampar wajahku, membuatku menunduk setelah itu. Beberapa hari lagi pemeriksaan kesehatan rutin bulanan akan diadakan. Setiap warga di wilayah ini wajib memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah pada era ini. Salah satunya mengikuti serangkaian pemeriksaan kesehatan rutin yang dapat memastikan bahwa mereka sehat dan bisa beraktivitas normal seperti biasa. Namun apabila terdapat warga yang terjangkit penyakit atau virus, maka ia harus bersedia dibawa oleh petugas medis untuk langkah penyembuhan. Ya, terdengar biasa memang. Tapi, ini belum yang lebih mengerikan dari yang akan kuceritakan.
Tidak dengan makhluk satu ini; manusia rekayasa genetika yang dibuat dari proses kloning. Manusia era sinting yang disebut postmodern mengembangkan sains dan teknologi luar biasa, bahkan menciptakan manusia genetika yang diambil dari sel somatik manusia lainnya untuk diklon.
Aku termasuk di antara manusia kloning itu.
Seperti yang diagung-agungkan para ilmuwan. Kloning alternatif bagi masyarakat yang tak bisa memiliki keturunan. Orang tuaku termasuk di antaranya. Karena telah lama hidup sebagai sepasang suami istri dan Mama dinyatakan mandul, maka kedua orang tuaku mengambil inisiatif lain dengan melakukan kerja sama dengan para ilmuwan untuk membuat bayi hasil rekayasa genetika sesuai keinginan mereka. Menurut para ilmuwan, manusia hasil kloning cenderung mendekati sempurna dan berkemampuan di atas rata-rata manusia biasa. Aku tak tahu bagaimana menggambarkan keuntungan kloning. Kau bisa menilainya nanti. Selama aku hidup menjadi manusia rekayasa genetika, aku memang merasa berbeda dari kebanyakan manusia normal. Aku lebih mudah menyerap informasi, lebih cekatan, sama seperti yang dikatakan ilmuwan yang telah mengkloningku.
Bagaimana jika makhluk rekayasa genetika hasil kloning sepertiku mengikuti pemeriksaan kesehatan dan dinyatakan sakit? Sebagian dari makhluk kloning yang gagal akan diasingkan karena dianggap produk cacat, dibuang ke wilayah lain. Ya, begitulah kenyataan mengerikannya. Sudah banyak teman-temanku yang lahir dari proses kloning diasingkan karena dianggap produk gagal selama masa pertumbuhan mereka—dan kini entah ke mana rimbanya, aku rasa sebagian dari mereka sudah mati. Hidup sebagai makhluk kloning tidaklah mudah. Makhluk kloning dituntut sempurna sebagai penyeimbang! Sebab sempurna atau tidaknya kami sebagai makhluk kloning adalah tolok ukur perkembangan sains dan teknologi di sini. Di era ini.
Berdasarkan cerita Mama, dulu negeri ini tidak mengerikan seperti sekarang. Beberapa dekade lalu terjadi krisis besar-besaran dan perpecahan yang menyebabkan negeri ini terbagi menjadi empat wilayah. Pemerintah era ini menetapkan perbedaan wilayah berdasarkan perbedaan ideologi. Waluku adalah wilayah dengan pusat pemerintahan di negeri ini, didiami sekumpulan masyarakat borjuis yang mendewakan ilmu pengetahuan, teknologi canggih dan mutakhir, kesehatan, serta kedudukan. Wilayah ini telah tercampur dengan pemikiran dan budaya modern secara ekstrim dan antisipasi pada hal-hal yang berhubungan dengan nilai ‘tradisional’. Bagi pemerintah era postmodern yang rusak di negeri ini, untuk menjadi salah satu negara superpower dibutuhkan banyak pengorbanan, termasuk mulai melupakan nilai-nilai tradisional negeri ini yang dianggap ketinggalan zaman, lalu mengubahnya laksana negara-negara utopia. Para korup berkumpul di wilayah ini.
Kau tak usah mengkhwatirkan hilangnya tradisi dan budaya negeri ini. Seluruh tradisi dan budaya negeri ini telah dilestarikan oleh masyarakat yang mendiami wilayah Pari. Tarian dan musik tradisional, rumah-rumah adat, tradisi kental, kodeks, serat-serat, dan sebagainya yang menjadi milik dan identitas negeri ini ada di wilayah itu. Aku tak pernah berkunjung ke Pari sehingga belum bisa menggambarkan seperti apa bentuknya. Hanya saja menurut Mama, tempat itulah yang masih memegang teguh tradisi dan budaya negeri ini. Mempertahankan eksistensinya agar tidak lenyap dan dilupakan begitu saja.
Vrischika, wilayah masyarakat proletar yang benar-benar terpuruk dan diperbudak kaum borjuis. Orang-orang yang dianggap tak pantas bersanding dan hidup bersama orang-orang borjuis diusir hingga ke pelosok negeri, yang disebut sebagai Vrischika. Masyarakat proletar diperbudak di Tanah Air sendiri, tak diayomi, tak dilindungi, tak diberi keadilan.
Dan Biduk. Wilayah yang dihuni oleh masyarakat yang memegang teguh nilai agama. Mereka hidup damai berdampingan satu sama lain. Meski tak pernah bercampur atau bertemu dengan mereka, pernah sekali aku mendengar dari cerita Mama, mereka adalah orang-orang yang masih menjunjung tinggi bhineka tunggal ika. Berbeda-beda tapi tetap satu jua. Tidak seperti Pari maupun Vrischika yang dianggap sebagai hunian golongan pembelot berbahaya, penduduk di Biduk lebih mengedepankan perdamaian di negeri ini tanpa kekerasan.
Pemerintah negeri ini enggan mendengarkan keluh-kesah apa pun. Mereka hidup untuk masyarakat borjuis, mencukupi dan memperkaya diri—serta memberikan kedudukan di parlemen—tanpa memedulikan nasib rakyat yang berada di tiga wilayah lainnya, sehingga tak heran apabila masyarakat wilayah lain selalu mengirimkan protes yang tak pernah didengar oleh Presiden kami. Mereka selalu menyebutnya Presiden b******n.
Aku hanya tahu sedikit tentang Pari dan Vrischika dari berita-berita yang disiarkan oleh televisi. Masyarakat penghuni wilayah tersebut sering diberitakan sebagai ancaman untuk pemerintah. Mereka dianggap pemberontak paling berbahaya. Dan kini, kami hidup dalam bayang-bayang kegelapan yang sewaktu-waktu dapat mengancam satu sama lain.
“Oy, jangan melamun! Get your place!”
Aku yang telah lama mengantre hanya untuk satu es krim maju satu langkah di depan mesin es krim. Kupijit jari-jariku pada tombol virtual memilih es krim mana yang menggoda indera perasa—rasa cokelat dengan selai stroberi—setelah memasukkan koin ke dalamnya. Beberapa menit menunggu, sebuah wadah plastik muncul diikuti keberadaan benda cair kental yang menetes membentuk spiral memenuhi wadah. Lalu diikuti selai stroberinya yang telah menyatu dengan es krim. Aku mengambil es krim tersebut, menjilat tanganku yang terkena tetesan sambil berjalan menjauhi mesin es krim. Mmm… kurasakan sensasi ledakan kecil di lidahku bagaikan kembang api yang membuatku mengernyit dan bergidik.
Aku berdiri memandang gedung-gedung pencakar langit yang memenuhi mata. Ada kereta listrik menggantung di udara, berjalan sesuai jadwal yang ditetapkan. Di kanan-kiri, masyarakat borjuis berlalu-lalang melakukan aktivitas mereka. Ada segerombolan wanita dengan pakaian dari label ternama saling mengobral tawa. Salah seorang dari mereka menyibak rambutnya yang berwarna merah, seperti kelebatan api di udara. Kuku-kukunya yang diberi kuteks mengkilat diterpa sinar mentari. Sedang kawannya yang berbadan langsing dan berkaki jenjang bercicit ria membicarakan tren mode terkini. Rambut pirang dan scraft tipisnya berkibar ke belakang tatkala angin datang menyapa. Mobil-mobil dari yang beroda empat biasa, giroskopis, hingga bioelektrik melaju melewati jalan raya. Nah, di sisi kiri, aku melihat dua bocah lepas dari gandengan ibu mereka, saling berkejaran sambil menggenggam robot mainan dan boneka porselen. Lalu di belakang ibu mereka, tiga remaja tengah menjalankan segway tampak terbahak-bahak, melempar candaan satu sama lain, melewati si ibu dari dua bocah tadi. Begitu lewat di depanku, mereka menambah kecepatan, berniat main kebut-kebutan. Tak jauh dariku, seorang wanita lansia berhenti sambil mengangkat tangannya dan melakukan panggilan melalui jam yang dililitkan pada pergelangan tangannya. Muncullah holografik di udara dan ia mulai berkomunikasi dengan seseorang yang menampakkan diri sebagai hologram di sana.
Kuhela napas pendek. Sungguh, aku bosan melihat pemandangan seperti ini.
Di tempat ini nyaris tak ada kejahatan yang dilakukan orang miskin secara materi. Tidak ada perampokan, penjambretan, pencurian, dan segala kriminalitas lain yang biasanya terjadi di kota-kota besar, sesuai dengan ketetapan Presiden di pertengahan abad 21. Seluruh kota di wilayah ini bersih dari tindak kejahatan, kemiskinan, dan segala hal yang pernah menjadi masalah serius di sini. Hanya wilayah ini, tentu saja. Eksistensi penjara di sini hanya diperuntukkan bagi mereka yang dianggap ancaman; para pembelot dan kaum proletar tak berduit. Sebab orang-orang sepertiku mudah lolos dari hukuman menggunakan sejumlah uang yang dilempar di depan muka para penegak hukum.
Kata Mama aku harus banyak bersyukur diberikan kehidupan sempurna seperti sekarang. Terngiang-ngiang suara Mama yang kerap kali ia ucapkan padaku: banyak-banyak bersyukurlah, sebab negeri ini sudah menuju kemerdekaannya yang mutlak, beruntunglah kau tidak hidup di era kolonial.
Nah, sebenarnya kemerdekaan itu untuk siapa?