KOTA L, PARI, 2075
Matahari telah condong di sebelah barat, bersembunyi di balik lapisan cakrawala yang menampakkan warna jingga. Burung-burung terbang berarakan, berkoloni melintasi langit menuju sarang masing-masing. Salah satu di antara mereka yang terbang di bagian depan dan bertindak sebagai pemimpin mengarak anak-anak buahnya, mengepak sayap mengekori, menuju rumah singgah. Di bawah mereka tampak pemukiman penduduk. Wilayah yang sering disebut sebagai daerah pesisiran yang dikelilingi lanskap kebiruan dan kehijauan; pepohonan rindang dan lautan luas yang dilintasi beberapa perahu.
Tak jauh di pinggiran laut itu, suara angklung yang digoyang terdengar seirama membentuk lagu yang harmonis. Suaranya terdengar samar, ditutupi suara seruan kegembiraan anak-anak yang hanya mengenakan kaus bermotif tak seragam dan celana pendek di lapangan luas, tengah bermain sepak bola. Sore yang tidak terlalu terik, tidak juga terlalu basah. Bola yang ditendang salah seorang bocah berusia sekitar duabelas tahun melayang di udara dalam kecepatan tinggi. Sebelum menghantam seorang pemuda yang melintas, bola itu dengan cekatan berhasil ditangkap. Suara lenguhan bersahut-sahutan menggelegak dari arah lapangan. Pemuda yang menangkap bola di tangannya—Nagara namanya—memutar badan, melempar-lempar bola tersebut di atas tangannya dengan pandangan bertanya sekaligus memberi peringatan, yang tampak di wajah rupawannya. Ia menelengkan kepala ke satu sisi, mengamati bocah-bocah di lapangan itu.
“Ini bisa berbahaya kalau kena kepala orang,” katanya, lantas melempar benda tersebut menuju lapangan, ditangkap baik oleh si bocah lelaki yang menendang bola sembarangan tadi.
“Kalau kena kepala orang, tak bikin mati kok,” sengalnya. “Paling hanya pusing.” Tawa teman-temannya menggelegak saat itu juga.
Mendengar celotehan bocah lelaki itu, Nagara menggelengkan kepalanya. Bocah-bocah di lapangan luas tersebut melanjutkan permainan mereka, saling mengoper bola satu sama lain dan berteriak girang ketika bola berhasil masuk ke gawang.
Nagara melanjutkan langkahnya lagi melewati lapangan menuju rumah yang berdiri di pinggir laut. Beberapa saat lalu ia mengunjungi sanggar yang terletak tidak jauh dari tempatnya tinggal. Sanggar yang dulu didirikan ayahandanya. Setiap saat ia datang ke tempat itu, mengamati anggota sanggar yang berlatih memainkan gamelan, ada pula yang menyinden. Entah mengapa, mendengar suara sinden menyanyi adalah salah satu dari sekian hal yang membuatnya merasa tenang. Ia menyukai perempuan yang bisa menyinden, menari, maupun bermain alat musik tradisional. Ia selalu menganggap perempuan terlihat sangat cantik tiap mereka menyinden, menari, atau bermain alat musik tradisional.
Dulu ibunya seorang penari sedangkan ayahnya seorang dalang. Keluarganya dekat sekali dengan budaya, terutama budaya Jawa yang mereka lestarikan sampai saat ini di Pari. Keluarga besar Nagara dikenal sebagai budayawan sejak abad ke-20, tak heran apabila ia memiliki darah budaya yang kental yang diwariskan secara turun-temurun oleh dua keluarga besarnya. Baik dari keluarga ibu maupun ayahnya.
Mengamati matahari tenggelam di depan rumahnya yang berdekatan dengan tepi laut memang memanjakan dirinya. Ia termangu barang sebentar, menengadah ke atas menikmati matahari yang semakin bersembunyi di balik awan, hanya meninggalkan seleret cahaya oranye pudar. Sudut matanya menangkap sebuah perahu yang bergoyangan-goyang. Talinya lepas dari bambu pengikatnya. Dengan segera, ia melangkah mendekati selasar, mencondongkan badannya ke depan untuk meraih tali tambang perahu yang hampir lepas itu, lantas mengaitkannya dan membentuk simpul mati melilit pada bambu pengikatnya. Usai mengikat perahu itu, perhatian Nagara beralih lagi menuju arah lain. Dari arah barat, ia melihat sesuatu hanyut diantar oleh gelombang air laut mendekatinya. Seperti sebuah perahu tanpa pendayung. Matanya menyipit sekadar mendapatkan penglihatan yang lebih fokus. Didapatinya obyek tersebut kian mendekat dan menampakkan seorang dara tergolek di atas perahu yang terbawa ombak lautan yang tenang. Ia lalu berseru memanggil nama adiknya yang berada di dalam rumah agar segera menghampirinya.
“Sam! Sam!”
Tiada jawaban. Daripada menunggu kedatangan adiknya dan membiarkan perahu itu hanyut semakin jauh, Nagara nekad menceburkan dirinya ke dalam laut dan menarik perahu tersebut mendekati tepi. Diangkatnya dara yang ditemukannya terkulai lemas menuju ke atas selasar. Tak berselang lama, bocah laki-laki berumur sekitar tiga belas tahun yang dipanggil Sam tadi muncul dari dalam rumah, berlari tergopoh-gopoh menghampiri sumber suara abangnya yang kini telah menyeret seorang dara cantik menuju tepi.
“Bantu Mas mengangkatnya,” ujarnya pada Sam, berusaha mengangkat tubuh gadis itu, Btari, menuju ke atas selasar. Begitu tubuh Btari berhasil diangkat dari air dan telah dibaringkan di atas selasar, Nagara mengangkat badannya ke atas dengan napas terengah-engah.
“Masuk ke dalam, bilang pada Bunda untuk menyiapkan satu tempat tidur,” lanjutnya, dengan pandangan yang tak dilepas dari wajah memucat Btari yang kini terbaring tanpa daya.
Sam segera beranjak dari tempatnya duduk semula, menghambur masuk ke dalam untuk menyampaikan pesan abangnya pada si ibu di dalam rumah itu.
Kelopak mata Btari perlahan-lahan terbuka, menyipit, dihadapkan dengan langit jingga dan wajah seorang pemuda yang tampak asing di benaknya. Ia ingin mengucapkan sesuatu, bibirnya yang pucat bergerak-gerak, namun belum sampai memberikan sepatah kata, matanya terkatup lagi. Tampaknya ia kelelahan dan membutuhkan waktu istirahat yang panjang. Nagara tak memaksanya untuk sadar. Ia berniat akan mengangkat gadis itu. Sebelum melakukannya, perhatiannya tertuju pada satu arah, pada kalung yang melingkar di lehernya dengan bandul berbentuk bunga lily. Dahinya mengernyit sementara kedua alisnya menyatu. Jari-jarinya bergerak perlahan meraih bandul itu dan mengamatinya. Pandangannya dibagi antara dara cantik di depannya dengan bandul di jari-jarinya. Tatapannya lalu berhenti menuju Btari. Di dalam benaknya muncul berbagai konfrontasi yang carut-marut. Ia melepas bandul bunga lily itu dari telapak tangannya, membiarkannya tergantung di leher gadis itu, lalu menggendong Btari dari atas selasar untuk segera dibawa ke dalam rumah dan dibaringkan di atas ranjang yang hangat.
Meskipun begitu, pikirannya tentang dara ini tidak membuatnya lantas tenang. Ia membawanya ke dalam rumah, dengan memasang air muka monoton, sedangkan satu kalimat tengah berputar berkali-kali di dalam kepalanya bagai komidi putar. Bahwa gadis itu adalah seorang borjuis. Dan ia amat sangat membenci orang-orang borjuis.
*
“Dia orang borjuis.”
“Lalu?” Candrakanti, ibunda Nagara menaikkan selimut hingga batas d**a Btari yang tidur pulas. Sudut matanya melirik Nagara, dengan senyum khidmat yang terulas dari bibir tipisnya. Wanita itu biarpun telah memasuki kepala empat, wajahnya masih segar dan cantik. Paras seorang penari kerajaan masih terlihat jelas, begitu memikat dan anggun. Wanita itu memutar badannya menghadap putranya yang berdiri membalas pandangan lekatnya. “Kalau dia seorang borjuis, kau mau apa? Membunuhnya?”
Nagara menggeleng samar menjawab pertanyaan ibunya.
Candrakanti meneruskan kalimatnya, “Nak, Bunda sudah bilang berapa kali, penyakit yang dipendam di dalam hati tiadalah berarti. Tak akan menghasilkan sesuatu yang baik. Kalau kau hendak membalas perbuatan jahat seseorang, balas melalui ini.” Candrakanti menyentuh dadanya sendiri. “Dan ini.” Lalu mengetuk pelipisnya.
“Saya paham, Bunda.” Menundukkan kepala, Nagara tak berani membalas pandangan ibundanya. Wanita itu selalu berhasil mendinginkan hatinya yang bagaikan disulut api kemarahan tiap ia mengingat perlakuan biadab orang-orang borjuis terhadap ayahandanya beberapa tahun silam.
“Pura-pura paham dan benar-benar paham itu beda tipis, Le.” Candrakanti berdiri dari tempat duduknya. Kepalanya bergerak menoleh ke arah Btari. Tatapan fluktuatifnya tak lepas dari sosok dara jelita yang baru diselamatkan putranya itu.
Nagara paham satu hal. Ia selalu mengingat petuah yang diucapkan ibundanya, bahwa dendamnya pada masyarakat borjuis tak akan menghasilkan apa pun kecuali keburukan. Penyakit hati yang harus dimusnahkan sebelum menimbulkan musibah. Candrakanti tak akan membiarkan anak-anaknya tenggelam dalam dendam. Biarlah kematian ayahanda mereka, suaminya, menjadi salah satu takdir Tuhan dan cobaan yang harus mereka hadapi dengan sabar. Serta bukti ketidakadilan dan kekejaman yang dimainkan dalang-dalang sebuah lakon di kursi parlemen.
Kejadian beberapa tahun lalu masih membekas dan menempel dalam ingatan mereka. Kira-kira saat Nagara masih berusia delapan tahun. Meski terlalu dini untuk tahu, ia cukup besar untuk mengingatnya. Melihat ayahandanya yang diseret oleh tentara utusan presiden sebelum pemerintahan Presiden Andromeda. Menuduhnya sebagai pemberontak dan provokator berbahaya, yang lantas dibawa ke kota J untuk dieksekusi mati.
“Ayah! Ayah!” jeritan bocah lelaki itu terdengar lantang. Candrakanti lantas menahan tangan anaknya, mencegahnya berbuat nekad dengan menghambur ke depan memberikan perlawanan.
“Tidak perlu, Anakku,” ujarnya kala itu, menahan anaknya tetap berada dalam cengkeramannya. Candrakanti berbisik pelan di telinga anaknya yang tersedu-sedan melihat ayahandanya digiring oleh tentara menuju helikopter. “Biarkan saja. Tak perlu menyusul, apalagi melawan.”
“Tapi Ayahanda dibawa mereka, Bunda!”
“Yang penting kau tahu ayahandamu tak bersalah. Suatu saat, Le. Suatu saat kau bisa menunjukkan pada mereka, pada dunia, bahwa ayahandamu tidak bersalah! Jangan tanamkan dendam di dalam hatimu, itu penyakit hati yang sulit dihilangkan. Balas mereka dengan hati yang bersih dan pikiran cerdas. Kalau kau membalasnya dengan hal buruk, apa bedanya kau sama mereka?”
Suara Candrakanti yang merdu bergaungan di kepala Nagara, berputar-putar dan membelot hati serta pikirannya yang meminta sebaliknya. Rasa bencinya terhadap orang-orang borjuis membutakan segalanya, menghilangkan persepsi baik apa pun yang berusaha masuk ke dalam celah di pikirannya. Ia memandang Btari sekali lagi ketika Candrakanti melangkah pergi meninggalkan kamar dengan penerangan redup itu, sambil berdendang pelan menyanyikan lagu berbahasa Jawa.
“Lingsir wengi. Sepi durung biso nendro. Tak godho mring wewayang. Kang ngeridhu ati. Kawitane mung sembrono njur kulino. Ra ngiro yen bakal nuwuhke tresno.”
Suara nyanyian Candrakanti terdengar sayup-sayup, masuk ke dalam kamar tempat Btari tidur. Nagara mengambil posisi di sebelah dara cantik itu, mengamati wajahnya dengan saksama. Wajah Btari memang polos tanpa polesan apa pun. Bersih dan putih. Warna pucatnya sudah berangsur-angsur menghilang. Bibirnya tak lagi sebiru mega dan sepucat kertas; warnanya kembali seperti semula, terlihat ranum dan kemerahan laksana kuncup mawar disentuh embun. Dara jelita di depannya memang tiada memiliki paras jahat—apalagi dialiri darah orang-orang biadab. Ia bagaikan bidadari yang suci nan rupawan, sengaja diantar Tuhan menuju bumi, tempat yang fana.
Lamat-lamat Nagara menggerakkan tangannya, menyentuh dan menyusuri sebelah wajah gadis itu dengan jari-jemarinya. Sambil mendengarkan suara ibunya yang menggema di dalam ruang kepalanya, Nagara menyita waktunya malam itu dengan memandang dan mengamati Btari. Di luar ekspektasi, ia meraih telapak tangan dara jelita itu. Dingin bagai diselimuti es.
Kulitnya terasa lembut seperti beledu dalam genggamannya. Diremasnya tangan lembut itu seakan berusaha menghantarkan kehangatan dari sentuhannya. Dalam waktu singkat saja, ia seolah terperdaya oleh aura menyihir yang memikat dibawa gadis asing itu. Yang baru diselamatkannya dari laut sore tadi. Yang rupanya seorang borjuis.
“Dia cantik ya, Le,” suara setengah berbisik Candrakanti di belakang sana membuat Nagara praktis melepas genggaman tangannya. Pemuda itu menoleh ke belakang, mendapati ibundanya yang tersenyum-senyum penuh arti di ambang pintu dengan lengan bersandar pada kusennya.
“Secantik apa pun gadis ini, tentu tak akan pernah menggeser posisi Bunda. Bunda wanita paling cantik di dunia. Bundalah Dewi Gandawatiku.”
Candrakanti terkekeh mendengar balasan anaknya. Ia lalu meninggalkan Nagara di dalam kamar itu, berbalik pergi untuk menyiapkan makan malam di meja makan, di mana dua anaknya yang lain telah menunggu dengan perut keroncongan.
“Kalau sudah puas mengamati bidadari itu, segeralah menuju ke dapur untuk makan malam,” tegur Candrakanti. “Kau tak mungkin terus-menerus di sana, kan? Ayoh.”
Nagara menghela napas pendek. Tidak mau mendapatkan teguran lain, ia memutuskan beranjak dari ranjang dan melangkah pergi meninggalkan Btari yang masih memejamkan matanya. Tidak bergerak sama sekali, kecuali dadanya yang naik-turun mengikuti gerakan pernapasannya.