Chapter 1

2272 Words
                          “Lebih baik kau nikahi dia dan jangan banyak bicara lagi, Rachel!”           Bibir Rachel Queensha Johnson mencebik mendengar vonis kejam yang dilontarkan oleh ibunya, Lidya. “Aku tidak akan pernah sudi menikah dengannya. Dia itu bau, Mom! Dan lagi, dia lebih pantas menjadi kakekku daripada suamiku!”           “Anak bodoh! Kau akan bisa menikmati uangnya. Semua akan menjadi milikmu kalau dia mati.”           “Aku tidak mau! Dan tidak akan pernah mau menjadi istrinya.”           Mata Lidya melotot. “Kalau kau tidak mau menuruti perkataanku, kau bisa angkat kaki dari rumah ini sekarang juga.”           Mereka berdua saling melotot selama beberapa saat sebelum akhirnya Rae, begitu ia biasa dipanggil,  mengangguk. “Baiklah jika itu maumu. Aku akan pergi dari rumah ini!” Ia berlari masuk kamar dan segera menarik ransel bututnya dari dalam almari.           Lebih baik ia pergi daripada harus menjadi istri pria gemuk, bau, dan tua yang bahkan tidak bisa melepaskan diri dari alcohol sedetik pun. Rae memasukkan semua pakaian yang ia punya, yang jumlahnya sangat sedikit itu, dan juga beberapa benda tak berharga yang ia punya. Sedikit buku bacaan, bedak dan lipstick murahan yang ia beli di minimarket dekat pantai, dan juga tabungan. Tabungan yang ditinggalkan ayah untuknya.           Ia memandang foto pria bermata biru dan berambut coklat sama seperti miliknya. Pria itu, Steve Marshall Dougherty, ayah kandungnya yang seorang warga negara Amerika. Enam bulan lalu, Steve pergi mencarinya dan berniat untuk mengajak Rae tinggal di Amerika. Namun tentu saja Lidya menolaknya. Walaupun tidak pernah menyayangi Rae sebagaimana mestinya seorang ibu, wanita itu tidak akan membiarkan Rae pergi bersama Steve karena memang menurut hukum, sang ayah tidak berhak atas perwalian dirinya.           Ya, ia adalah anak di luar pernikahan dari seorang pria asing dengan penduduk asli Donaghadee, Irlandia Utara. Sejak kecil, Rae tidak pernah mengenal siapa ayahnya. Setiap ia bertanya, Lidya selalu menjawab bahwa ayahnya adalah pria kejam dan tidak bertanggung jawab. Namun setelah akhirnya bertemu, tentu saja Rae tahu jika Lidya berbohong. Steve tampak sangat menyayangi dan juga merindukannya. Pria itu bahkan meninggalkan tabungan dalam jumlah sangat besar dan juga passport untuknya tanpa sepengetahuan Lidya. Berbekal itulah, ia akan memulai hidup barunya di Edinburgh. Jauh dari ibunya yang kejam dan tidak berperasaan itu. Memulai hidup sebagai seorang Rachel Queensha Johnson yang baru.           Empat jam kemudian, Rae tiba di Dublin dan segera mencari bus yang akan membawanya ke airport. Semoga saja masih ada tiket penerbangan langsung ke Edinburgh hari ini sehingga ia bisa langsung pergi dari kota ini. Bukan berarti ia takut Lidya akan mencari, itu satu hal yang tidak akan mungkin terjadi, tetapi jika ia bisa terbang satu atau dua jam lagi, ia tidak akan sampai terlalu larut di Edinburgh.           Dewi fortuna tampaknya sedang memutuskan untuk berada di pihaknya hari ini. Rae mendapatkan tiket penerbangan langsung  yang akan berangkat satu jam lagi.           Pukul enam sore, Rae akhirnya menginjakkan kakinya untuk pertama kali di ibukota Skotlandia itu. Sejak kecil, Rae tidak pernah keluar dari Donaghadee. Selain karena ia tidak punya uang, Lidya juga tidak pernah mengajaknya pergi ke manapun selain ke pasar untuk mencari ikan segar yang akan mereka jual di restoran. Hidupnya selalu penuh kerja keras sejak ia masih kecil. Bagi Lidya, yang penting adalah uang, bukan yang lain.           Rae memutuskan untuk makan terlebih dahulu sebelum ia pergi ke apartemen sahabatnya yang ada di kota ini. Ya, itulah alasan ia memilih Edindurgh. Karena ia memiliki seseorang yang ia kenal di sini. Restoran cepat saji itu terlihat sangat ramai saat Rae sampai. Tampaknya, semua orang sedang kelaparan karena hampir semua meja sudah penuh. Rae memandang sekeliling dengan baki di tangannya, dan segera berjalan cepat saat melihat ada meja kosong di sudut. Namun sebelum ia meletakkan bakinya, seorang pria muda sudah lebih dulu meletakkan baki yang sama di meja itu. Rae melotot marah pada pria muda yang tampaknya seorang pekerja kantoran itu.                    “Sir, ini mejaku!!” bentak Rae pada seorang pria muda bersetelan rapi itu.           Pria itu melotot. “Apa di meja ini ada Tulisan namamu, Nona?” tanyanya dengan sarkatis.           “Tetapi aku yang melihat meja ini duluan!”           “Oh, salahkan tubuhmu yang kerdil itu! Jelas-jelas aku yang lebih dulu menaruh makananku di meja ini.”           “Dasar pria menyebalkan. Tidak bisakah kau mengalah pada seorang perempuan??”           Beberapa orang yang ada di restoran cepat saji itu mulai berkasak-kusuk menontonmereka. Sang pria muda mulai tampak tidak nyaman sementara Rae tidak peduli. Jelas ia yang melihat meja ini lebih dulu dan pria itu menyerobotnya.           “Jika kita bertemu lagi lain kali, aku akan membalas perbuatanmu ini, Gadis barbar!”           “Aku pastikan tidak akan ada lain kali, Tuan Menyebalkan!” Mereka saling menatap marah selama beberapa saat sebelum akhirnya pria muda itu berlalu meninggalkan baki makanannya yang masih utuh. Rae tersenyum, setidaknya ia mendapat satu baki penuh makanan lagi. Gratis.    *****             Dave Orlando Cromwell memasukkan mobil ke basement dalam satu hentakan kasar. Bannya berdecit saat ia menginjak rem dengan asal-asalan. Ia keluar dari Porsche hitam itu dan membanting pintunya dengan keras.Suasana hatinya benar-benar buruk hari ini. Ia lapar dan belum makan apapun sejak siang tadi. Bayangan gadis barbar yang tadi beradu mulut dengannya, membuat Dave mengacak rambutnya dengan marah. Dasar barbar! Lihat saja kalau kita bertemu lagi. Aku akan membalasmu!           Seolah belum cukup puas dengan membanting pintu mobil, Dave kembali membanting pintu apartemennya dan langsung berlalu menuju dapur. Ia mengambil sampanye dan menyesapnya. Seharusnya tadi ia pergi ke klub saja, bukannya terkurung sendirian di apartemen yang sepi seperti ini. Rupanya pertemuan dengan gadis barbar itu sudah mengacaukan system kerja otaknya.           Dave membuka kulkas dan tidak menemukan apapun selain  air mineral, kaleng-kaleng bir, dan s**u yang ia sendiri tidak ingat kapan dibeli. Dengan berdecak, Dave mengambil ponsel dan memutuskan memesan makanan Cina seperti yang selalu ia lakukan selama ini. Memakan makanan tidak sehat atau makanan restoran.           Ia memutuskan mandi sambil menunggu pesanan makanannya datang. Tepat saat ia menyalakan televisi, bel apartemennya berbunyi. Alis Dave berkerut saat melihat interkom. Itu bukan kurir restoran Cina.           “Kenapa kau kemari?” tanyanya saat pria itu masuk sambil membawa kantong makanan yang menguarkan aroma menggiurkan.           “Layanan makan malam,” ucap pria itu, Jamie McAdams, sambil menggoyang-goyangkan kantong kertas yang ada di tangannya.                 “Kau terlambat. Aku sudah memesan makanan.”           Jamie menyeringai dan meletakkan kantong itu di hadapan Dave. “Itu milikmu. Aku bertemu kurirnya tadi di bawah.”           “Hah! Kupikir kau sengaja datang kemari karena tahu aku belum makan. Baru saja aku akan terharu,” gerutu Dave sambil mengeluarkan makanannya.           “Kau piker aku istrimu.”           “Ada apa kau kemari?” tanya Dave sambil menggigit ikannya.           “Tadinya aku mau ke club, tetapi aku bosan. Ya sudah aku kemari saja.”           Dave tersenyum mendengarnya. Dirinya dan Jamie itu sama. Sama-sama pria lajang yang memilih untuk mencari kesenangan di club. Bedanya, Dave hanya pergi ke club untuk minum, sementara Jamie untuk mencari partner yang bias diajaknya naik ke ranjang.           Jamie sudah bekerja dengannya sejak lima tahun lalu. Hubungan mereka sudah seperti hubungan baiknya dengan ketiga sahabatnya. Selama dia tinggal di Jakarta, Jamie yang menjalankan perusahaan Dave di sini. Namun sejak satu tahun yang lalu, Dave memutuskan tinggal di Edinburgh, kota kelahiran ayahnya.           “Kau sudah makan?”tanya Dave kemudian.           Jamie melihat makanan yang sudah tandas itu dan berkata, “setelah makananmu habis, kau baru bertanya aku sudah makan atau belum? Kau memang tuan rumah yang sangat baik!”           Dave tertawa dan bangkit menuju dapur untuk mengambil air minum. “Kau tamu tidak diundang,”ucapnya sambil melempar kaleng bir yang ditangkap Jamie dengan sigap. “Jadi tujuanmu ke sini hanya karena kau bosan ke club?”           Jamie mengangguk. “Dave, apa kau tidak ingin menikah?” Tiba-tiba Jamie bertanya sambil menatap Dave dengan serius.           Kaleng bir yang hamper sampai di bibirnya menggantung di udara. Dave menatap Jamie dengan ngeri. “Kau tidak berencana mengajakku menikah ‘kan?”           Lagi-lagi Jamie terbahak. “Tidak, terima kasih. Aku belum tertarik menjadi pemain anggar.” Namun pria itu segera bangkit dari sandaran duduknya dan menatap Dave dengan tatapan seriusnya lagi. “Atau kau yang sudah berbelok, Dave?” tanyanya sambil berbisik.           “b******k, aku masih lebih menyukai p******a daripada d**a sixpack!” jawab Dave sambil kembali duduk di samping Jamie.           “Tapi kau kan sudah lama selibat!”           “Selibat bukan berarti aku homo, Bodoh!”           Jamie terkekeh. “Siapa tahu kau memutuskan selibat karena kau sedang mencari soulmate-mu dan akhirnya kau sadar bahwa d**a sixpack lebih menyenangkan daripada...”           “Kalau kau hanyaberbicara tidak penting, lebih baik kau pulang!”           “Pemarah sekali kau ini. Mana ada wanita yang mau denganmu kalau kau selalu marah-marah begitu.”           “Pu...” suara Dave terputus oleh bunyi ponsel Jamie.           “Ada apa, William?”           “ .............. “           “Siapa? Aku tidak punya janji dengan wanita malam ini.”           “ .............. “           “Bagaimana wajahnya? Apa dia cantik?”           Dave mencibir. Begitu mendengar kata ‘wanita’ saja, semua rambut Jamie langsung tegak berdiri.           “Bermata biru? Berambut coklat? Apa bibirnya berwarna pink pucat yang cantik? Apa dia memiliki poni?”           Dave memperhatikan mata Jamie yang berbinar saat menjabarkan wanita yang dikatakan menemuinya itu. Jamie tampak begitu senang.           “Berikan ponselmu padanya. Aku ingin bicara dengannya.”           “ ........... “           “Rae?? Benarkah itu kau????”           Dave menoleh lagi. Rae? Nama yang aneh.           “Tentu, Sayang. Aku akan segera pulang. Kau menunggu saja di apartemenku. Kodenya 990704.”           “ ............. “           “Ya, tidak apa-apa. Aku akan pulang sekarang. Aku merindukanmu.”           Jamie terlihat seperti anak remaja yang akan bertemu kekasihnya. Matanya bersinar  saat berbicara dengan gadis bernama aneh di seberang sana. Dan itu tidak seperti Jamie yang Dave kenal selama ini.           “Kau tidak perlu mengusirku. Aku akan pulang sekarang.” Jamie bangkit dan memakai mantelnya.           “Pastikan kau tidak marathon seks dengan pacarmu malami ni. Kita adameeting besok pagi.”           Jamie memutar bola mata sebelum membuka pintu. “Aku pastikan aku akan dating tepat waktu besok, Bos.”           Dave mengembuskan napas lelah dan memejamkan mata. Bahkan Jamie pun sudah memiliki kekasih. Ia sudah hamper berumur tiga puluh tiga tahun sekarang. Hampir semua sudah ia miliki. Uang, bisnis yang sukses, harta kekayaan yang ia yakin tidak akan habis sampai anak cicitnya. Hanyasatu yang Dave tidak punya. Seorang istri. Seorang wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya kelak. Seorang wanita yang akan menyiapkan makan malam untuknya saat ia pulang dari kantor. Seorang wanita yang akan menghangatkan ranjangnya setiap malam.           “Arrrggghh!!” Dave berteriak frustasi sambil mengacak-acak rambut cokelatnya.           Sebenarnya, bukan hal sulit bagi Dave untuk mencari wanita yang mau menjadi istrinya. Mereka pasti akan sukarela mengantri untuknya.  Yang menjadi masalah adalah, Dave hanya ingin wanita seperti yang dimiliki ketiga sahabatnya. Wanita cantik, berhati baik, cerdas, dan bukan gold digger.           Dulu... Dulu sekali, ia pernah menyukai Abby. Gadis itu sempurna di matanya. Sayang gadis itu menolaknya. Dan alasannya baru ia tahu lama setelahnya saat Abby bertemu kembali dengan Devan yang adalah cinta pertama gadis itu saat sekolah.           Lalu ada Kimmy. Dave sebenarnya hanya ingin membuat Damian menyadari perasaannya. Namun semakin ia mengenal Kimmy, ada setitik harap di hatinya. Dan lagi-lagi harapan itu terpatahkan saat akhirnya Damian dan Kimmy menikah lima tahun lalu.           Yang terakhir, Angel. Gadis yang tidak sengaja ia tabrak di coffee shop. Gadis cantik berparas oriental nan sederhana, dan ternyata gadis itu pun lebih tertarik pada rekan bisnisnya sendiri, Johan. Apa ini hukuman untuknya karena dulu selalu mempermainkan wanita?           Suara ponsel memutus lamunannya. Dave tersenyum melihat nama yang muncul di ponselnya. Lihat, Jamie, aku juga punya seseorang yang kupanggil sayang.           “Hallo, Sayang.”           “Kakaak... Lama sekali mengangkatnya,” protes wanita itu di ujung sana dengan bahasa Indonesia yang begitu lancar.           Sayangnya seseorang yang kupanggil sayang itu...           “Maaf, aku sedang di kamar mandi tadi,” dustanya pada Diva, adik perempuannya.           “Besok aku dan Danny akan ke Edinburgh. Bisa jemput kami kan?”           “Besok? Ada apa? Kenapa mendadak sekali?”           “Louis merindukan Uncle­-nya. Kau tahu kan bagaimana keras kepalanya seorang Cromwell?”           Dave terkekeh. “Di mana dia sekarang?”           “Sedang mandi Bersama Daddy. Kami bahkan harus menjanjikan berangkat pagi-pagi sebelum akhirnya dia mau mandi.”           “Khas Cromwell ya? Baiklah aku akan menjemput kalian besok pagi. Peluk dan cium Louis untuk aku.” Dave mematikan sambungan teleponnya dan baru akan meletakkanya di meja saat benda itu berbunyi lagi. Senyum kembali terbit di bibirnya. “Hallo, Sayang.”           “Hai, Kak, apa kau sedang sibuk?”           “Tidak. Hanya sedang menonton acara televisi yang membosankan. Ada apa?”           “Ada yang rindu padamu.”           “Uncle D Oneeeee!!!” teriak suara kecil itu dengan riang.           Dave terkekeh. “Hai, Jagoan! Apa kabarmu?”           “I miss you so badly,” jawab Mike manja hingga membuat  Dave lagi-lagitertawa. Samar-samar ia juga mendengar tawa Abby di belakang anaknya itu.           “I miss you too, Mickey.”           “Uncle D, I'm not mickey mouse! I'm, Mike! Michael!”           Dave tertawa terbahak. Anak itu selalu marah jika ia memanggilnya Mickey.           “Jangan marah, Jagoan,” rayunya kemudian.           “Dia sudah pergi. Pasti mengadu pada Daddy dan uncle D Three-nya.”            “Kau di Jerman? Ada apa? Kakimu baik-baik saja kan?” tanya Dave dengan khawatir.           “Aku baik-baik saja. Hanya ingin makan Apfelkuchen buatan nenek Kimmy,” jawab Abby sambil terkikik.           “Salah satu keinginan anehmu lagi?”           Abby tertawa di ujung sana.           “Kapan kau akan pulang? Mampirlah kemari. Aku merindukanmu, Sayang.”           “Tentu. Aku sudah merencanakannya dengan Devan. Aku merindukanmu juga.”           “Diva dan Daniel akan ke sini besok.”           “Benarkah?”           “Ya. Louis mengamuk ingin bertemu denganku.”           Abby terkikik.“Tampaknya kau paman favorit anak-anak kami.”           “Yeah, aku paman yang hebat kan??”           Lagi-lagi Abby tertawa. “Kak, kau sudah makan?” tanyanya kemudian.           “Pengecekan rutin seperti biasa, huh?”           “Jadi apa yang kau makan malam ini?” tanyanya tanpa peduli pada pertanyaan Dave.           Abby adalah pemeriksa makanan sehat baginya. Hampir setiap hari, wanita itu mengoceh tentang apa yang boleh Dave makan dan apa yang sebaiknya ia hindari. Beruntung ia hanya mendengar itu melalui telepon.           “Makanan Cina.”           “Kau tidak bohong? Tidak ada fast food hari ini?”           Menyinggung fast food, Dave kembali teringat gadis barbar bermata biru yang ia temui sore tadi. Si barbar yang membuatnya gagal memakan paha ayam dan kentang goreng.           “Tidak, Sayang. Aku gagal makan fast food hari ini gara-gara seorang gadis menyebalkan,”gerutu Dave dengan kesal.           “Gadis?? Kau bertemu seorang gadis???” pekik Abby riang.           Dave mengerang. Mengutuk kelancangan mulutnya sendiri.           “Seperti apa gadis itu?” Tanya Abby penasaran.           “Abigail, dengarkan aku. Itu hanyalah kesalahan dan aku tidak sengaja bertemu gadis menyebalkan itu, okey? Tidak ada kelanjutannya jadi jangan bertanya lagi.” “Tetapi aku tidak percaya. Sepertinya akan ada kelanjutannya. Kau harus menceritakannya padaku minggu depan, okey?”           “Tapi...”           “No excuse! Bye, bayiku rasanya ingin makan sesuatu. Aku mencintaimu.”           Dan telepon diputus begitu saja. Dave mengerang. Apa yang harus dia ceritakan pada Abby?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD