Chapter 2

1460 Words
Rae menyantap makanannya dan milik pria menyebalkan tadi dengan lahap. Kebetulan yang -walaupun awalnya- tidak menyenangkan, tetapi akhirnya menguntungkan perutnya.           Selesai makan, Rae bergegas pergi ke tempat tinggal Jamie, tetangga sekaligus sahabat dan kakak laki-lakinya. Pria itu pernah memberikan alamat apartemennnya dan Rae sudah mencatatnya. Setelah bertanya sana sini, akhirnya Rae tiba di depan gedung apartemen yang cukup mewah itu.           “Ada yang bisa saya bantu, Miss?” Tanya seorang petugas keamanan saat ia hendak masuk ke apartemen itu.           “Aku ingin bertemu Jamie. Jamie Mc Adams. Dia tinggal di lantai dua puluh,” Rae menjelaskan pada pria bertubuh gemuk dan berkumis tebal itu.           Pria itu menatap Rae dengan pandangan menyelidik. “Anda sudah membuat janji? Tampaknya Anda dari luar kota.”           “Ya, aku dari Donaghadee, Irlandia Utara. Aku belum membuat janji karena ponselku mati sejak tadi.”           Pria gemuk itu terus mengawasinya, membuat Rae menunduk ketakutan.  Bagaimana kalau pria gemuk ini mengusirnya?           “Aku akan menghubungi Mr. McAdams sebentar, Nona.” Pria itu mengeluarkan ponselnya dan menjauh dari Rae, tetapi Rae masih bisa mendengarnya.           “Selamat malam, Sir,” sapanya dengan sopan.           “ .............. “           “Ada seorang wanita ingin bertemu Anda, Sir.”           “.............”           “Ya, dia cantik. Bermata biru. Dia bilang, dia berasal dari Irlandia.”           “..............”           “Ya, Sir. Tepat seperti itu,” jawabnya sambil mengamati Rae dari tempatnya berdiri.           “ ........... “           Pria itu menghampiri dan menyerahkan ponselnya pada Rae.           “Halo, Jamie,” sapanya.           “Rae?? Benarkah itu kau????”           “Ya, aku baru sampai di apartemenmu. Bisakah kau pulang sekarang?”           “Tentu, Sayang. Aku akan segera pulang. Kau menunggu saja di apartemenku. Kodenya 990704.”           “Tetapi... apa tidak apa-apa jika aku menunggu di tempatmu?”           “Ya, tidak apa-apa. Aku akan pulang sekarang, Sayang. Aku merindukanmu.”           Jamie langsung mematikan teleponnya, membuat Rae memandangi telepon itu seperti orang bodoh.           “Ada yang bisa saya bantu, Miss?” Suara itu membuat Rae berjenggit kaget. Ia mengembalikan ponsel itu dan tersenyum meminta maaf. “Jamie bilang aku disuruh menunggu di tempatnya saja.”           Pria itu mengangguk dan mengantar Rae ke depan lift.  “Apa Anda membutuhkan bantuan saya untuk mengantarkan Anda ke atas?”           Rae menggeleng. “Tidak, terima kasih. Aku sudah tahu nomor kamarnya.”           Ia bergegas masuk ke dalam lift dan memencet angka dua puluh. Sampai di lantai dua puluh, ia mencari nomor kamar Jamie dan memasukkan kode yang tadi diberikan pria itu. Rae masuk dan mengamati ruangan apartemen Jamie yang tampak luas dan mewah. Tidak banyak perabotan di sini. Mungkin karena Jamie tinggal sendiri. Rae mengelilingi apartemen itu dan dibuat terkagum-kagum dengan interior dan perabotan di sana yang semua berkelas. Tampaknya Jamie benar-benar telah menjadi orang yang sukses.           Jamie McAdams. Rae mengenal pria itu sejak ia masih kecil. Keluarga McAdams adalah orang terpandang di tempat asalnya. Umurnya dan Jamie terpaut dua belas tahun. Jamie baru saja masuk JHS saat Rae lahir. Dulu, Lidya bekerja di restoran milik ayah Jamie sebelum akhirnya membuka cafe kecil miliknya sekarang.           Jamie adalah anak bungsu keluarga McAdams. Kakak laki-lakinya, Bryan, terpaut delapan tahun umurnya dengan Jamie dan mereka tidak terlalu dekat.  Jamie menginginkan seorang adik, tetapi ibunya tidak bisa mengandung lagi. Karena itulah, saat Rae lahir dan Lidya sering membawanya bekerja, Jamie yang menjaga dan bermain dengan Rae. Sampai mereka besar, mereka tetap seperti kakak dan adik. Ayah dan ibu Jamie menyayanginya seperti anaknya sendiri. Jamie pula yang memberinya panggilan Rae.           Mungkin bagi Jamie, Rae tetaplah adik kecilnya. Namun tidak bagi Rae. Dirinya pernah, dan masih sampai saat ini, mencintai Jamie.  Baginya Jamie adalah sosok pria yang sempurna. Rae bisa dibilang tidak pernah mengenal laki-laki dalam hidupnya. Ia tidak mengenal ayahnya. Ia tidak mengenal kakek yang sudah meninggal jauh sebelum dirinya lahir. Karena itulah, Jamie adalah idolanya.           Rae pernah nekat mengungkapkan perasaannya. Itu terjadi lima tahun lalu saat ia baru saja masuk SHS, dan umur Jamie sudah dua puluh delapan tahun saat itu. Jamie yang sejak lulus SHS, pergi kuliah ke London dan akhirnya bekerja di Edinburgh, sedang pulang ke Donaghadee. Rae menemui Jamie di rumahnya seperti kebiasaannya selama ini. Ia merindukan Jamie. Selama ini mereka hanya berhubungan via telepon, itupun hanya beberapa kali dalam sebulan.           Ia nekat mengungkapkan perasaannya pada Jamie saat mereka berdua sedang berdua mengobrol di kamar. Namun sayang, Jamie menolaknya. Pria itu bilang dia sudah punya pacar di London.           Tentu saja Rae kecewa dan patah hati. Cinta pertamanya patah di tengah jalan. Namun itu tidak lama, yang penting baginya adalah ia masih bisa dekat dengan Jamie. Entah sebagai sahabat, atau adiknya. Karena itulah, Rae tetap menyimpan perasaan itu di hatinya hingga saat ini.           Rae mendengar suara pintu di buka dan ia segera menoleh. “Jamie!!!” Pekiknya riang sambil menghambur memeluk Jamie.           Jamie tertawa dan mencium keningnya. “Pasti kau kabur dari rumah?” Tebak pria itu langsung.           Rae cemberut dan melepaskan pelukannya. “Aku meninggalkan surat untuk ibuku.”           “Tetapi kau tidak bilang kau pergi ke sini ‘kan?”           Rae menggeleng. “Aku sudah bilang pada Mom untuk tidak mencariku. Aku akan pulang jika ia tidak berniat lagi menjodohkanku dengan kakek-kakek itu.”           Jamie terkekeh mendengarnya.           “Jangan tertawa! Apa kau senang mempunyai adik ipar yang usianya hampir dua kali umurmu?”           Tawa Jamie kini meledak di belakangnya hingga membuat Rae berdecak sebal dan meninggalkannya. Ia menghempaskan tubuh mungilnya ke sofa.           Jamie tahu siapa pria tua yang akan dijodohlan Lidya padanya itu. Donaghadee hanyalah kota kecil. Hampir semua penduduknya saling mengenal. Jadi tidak mengherankan jika berita sekecil apapun akan cepat menyebar.           “Kau sudah makan?” Jamie ikut menghempaskan tubuhnya di samping Rae.           Rae mengangguk, lalu tertawa sendiri mengingat kejadian tadi.           “Ada apa?” Tanya Jamie heran.           “Aku berebutan meja dengan seseorang tadi,” jawabnya sambil cekikikan.           “Seorang wanita?”           Rae menggeleng. “Pria. Om-om”           “Berebut meja dengan Om-om?? Ya Tuhan, Rae! Kau baru datang dan sudah membuat masalah di kota ini?”           Bibir Rae mengerucut kembali. “Aku tidak membuat masalah. Pria itu menyerobot mejaku. Aku yang melihatnya duluan!”           Jamie menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau itu, selalu saja tidak mau mengalah.”           “Seharusnya dia yang mengalah. Dia kan laki-laki.”           “Lalu pria itu pergi begitu saja?”           “Dia sempat marah-marah padaku, tetapi lalu dia pergi meninggalkan makanannya yang masih utuh,” lagi-lagi Rae terkikik.           Jamie mengacak rambut Rae. Jamie adalah orang yang sangat mengenal Rae. Pria itu hapal bagaimana semua sifat dan kebiasaannya. Termasuk keras kepalanya.           “Buatkan aku makan, Rae. Aku rindu makanan buatanmu.”           Rae mencubit perut Jamie hingga pria itu mengaduh. “Aku ini tamu! Dan kau menyuruhku memasak. Yang benar saja!”           “Kau pilih memasak untukku atau tidak kuijinkan tinggal di sini?” Ancam Jamie kemudian.           Rae bangkit dan menghentak-hentakkan kakinya menuju dapur. “Kau kejaaammm, Jamieeeee!!!”           Jamie tertawa mendengar teriakan kesal Rae dan semakin terpingkal lagi saat Rae kaget melihat isi kulkasnya yang hanya penuh dengan air dan kaleng bir.           “Jadi selama ini kau bertahan hidup dengan bir dan air?” Tanyanya sambil berkacak pinggang.           “Rae, aku ini pria lajang. Untuk apa aku mengisi kulkasku. Toh aku juga tidak bisa memasak.” Jamie melakukan pembelaan dirinya.           Rae mendesah dramatis dan kembali menghempaskan tubuhnya di samping Jamie. “Kau betul-betul belum makan?” Tanya Rae khawatir.           Jamie menyeringai.”Tentu saja sudah, little girl. Aku hanya ingin membuatmu kesal. Aku rindu teriakan marahmu.”           Lagi-lagi cubitan maut Rae melayang ke perut Jamie. “Jadi, aku boleh tinggal di sini?”           “Tentu saja. Kau boleh di sini sampai kau bosan.”           “Tetapi carikan aku pekerjaan.”           Alis tebal Jamie terangkat saat mendengarnya. “Pekerjaan?”           Rae mengangguk. “Aku hanya menumpang di sini sampai aku mendapat pekerjaan dan tempat tinggal.”           “Apa?? Tidak. Kau tidak akan bekerja, dan tidak akan tinggal sendiri!”           “Ayolah, Jamie, aku tidak mungkin berdiam diri saja di sini. Aku bisa mati bosan.”           “Kau bisa jalan-jalan, shopping, ke salon, atau apapun semaumu. Aku bisa memenuhinya.”           Bibir Rae mencebik. “Aku bukan salah satu dari sekian banyak kekasih matremu!” Tentu saja Rae tahu bagaimana sepak terjang Jamie bersama para wanita.           “Memang tidak. Kau adikku, Rae.”           “Karena itu, ijinkan aku bekerja, big brother. Di kantormu juga boleh agar kau bisa mengawasiku,” Rae merayu sambil merangkul pinggang Jamie. Ia selalu memanggil Jamie, kakak jika menginginkan sesuatu.           “Nanti. Setelah kau lebih mengenal kota ini. Jadi jika ada yang menculikmu kau bisa tahu jalan pulang.”           “Aku bukan anak kecil lagi! Umurku sudah dua puluh satu tahun.”           Jamie tertawa dan mencubit pipinya. “Bagiku kau tetap adik kecilku.”           Rae merasa ada pisau yang menikam jantungnya. Ya, selamanya dia hanyalah seorang adik kecil bagi Jamie. Selalu akan seperti itu. Tidak akan pernah berubah.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD