Hamil

1282 Words
“Tristan, aku hamil!!!” ucap Stefanie sambil menitikan air matanya dan Tristan yang mendengarnya sontak kaget.             Tangan kekarnya menyentuh kedua pipi Fanie lalu mengusapnya perlahan-lahan sambil menatap mata cokelat milik kekasihnya yang sudah memerah.             “Jangan menangis, ayo kita menikah. Aku akan bertanggung jawab atas kejadian yang tak seharusnya kita lakukan. Maafkan aku sudah membuat kamu menderita,” ucap Tristan lalu mencium kening Fanie.             “Tapi bagaimana dengan Papaku?”             “Aku akan bicara dengannya.”             “Tapi kamu tahu dia sangat galak sekali.”             “Aku akan menghadapinya.”             “Lalu bagaimana jika kamu terluka?”             “Aku sudah biasa dengan hal seperti itu!”             “Apa kamu yakin akan menikahi aku?”             “Tentu saja karena aku sangat mencintai kamu.”             “Tapi …,” ucap Stefanie lalu Tristan langsung melumaat bibir cerewet itu yang sejak tadi tidak bisa diam sama sekali.             Fanie mencoba memukul pelan dadaa Tristan tetapi kekasihnya ini tidak perduli dan terus melumaat bibir Fanie, menarik pinggang ramping Fanie hingga tubuh mereka berdua sangat rapat sekali sampai akhirnya Fanie larut di dalam kecupan bibir ini.             “Kejadian malam itu memang kita salah. Tapi aku melakukannya karena cinta. Dan kamu sangat terlihat cantik juga sempurna. Fan, aku sangat mencintai kamu. Dan hanya kamu satu-satunya yang ada di hati aku,” ucap Tristan dan Stefanie masih saja menitikan air matanya. Ia sangat takut sekali.             Lelaki mana saja pasti akan panas saat melihat kekasihnya juga terlihat begitu menggoda. Apa lagi pakaian seksi yang Fanie kenakan saat itu sangat terbuka. Dan lebih parahnya lagi, Fanie ternyata meminum obat perangsaang yang sengaja di campur keminumannya. Ini semua ulah teman-temannya. Jadi mau tak mau Fanie lebih agresif malam itu. Ia yang membuka pakaiannya lebih dulu lalu mendorong Tristan hingga ke atas tempat tidur sampai akhirnya terjadilah aksi ranjang panas.             “Tapi Tristan, bagaimana dengan orang tua kamu?” tanya Stefanie yang sampai saat ini memang belum pernah bertemu dengan kedua orang tua kekasihnya. Sudah bertahun-tahun mereka berdua menjalin kasih, yang Fanie tahu orang tua Tristan berada di luar negeri dan cukup sibuk dengan pekerjaannya di sana.             “Mereka pasti akan merestuinya. Mereka tidak pernah menuntut. Asalkan aku bahagia maka mereka juga akan bahagia. Toh juga selama ini mereka tidak mengurusi kehidupan aku,” ucap Tristan.             “Sekarang kita makan ice cream dulu yuk habis itu aku akan antar kamu pulang. Aku gak mau kamu pulang dalam keadaan kacau seperti ini. Nanti pasti Papa kamu akan langsung membunuh aku. Kalau aku mati nanti kamu cari pria lain bagaimana?” ucap Tristan hingga membuat Fanie tersenyum.             “Kamu tuh selalu saja ada bahan untuk aku tertawa di saat aku sedih. Terima kasih pacar sudah mencintai aku selama ini,” ucap Stefanie.             “Tentu saja, itu gunanya pacar. Akan selalu ada untuk kekasihnya. Dan aku akan selalu ada untuk kamu,” ucap Tristan lalu ia merangkul kekasihnya dan membawanya masuk ke dalam mobil mereka.             “Toko ice cream kesukaan kamu saja ya,” ucap Tristan dan Stefanie mengangguk dengan wajah yang masih ditekuk.             “Hello ini pacarnya Tristan Corner? Kenapa cemberut saja ya? Bibirnya minta di makan lagi ya?” ucap Tristan sambil menyentuh dagu kekasihnya dengan sebelah tangannya.             “Fanie membuang wajahnya dan Tristan menarik dagu runcing kekasihnya itu lalu mencium kembali bibir ranum milik Stefanie yang terasa begitu manis.             “Mmmmm, enak manis,” ucap Tristan.             “Lihat kedepan, mau aku mati?” ucap Stefanie sambil mendorong wajah Tristan dengan sebelah telapak tangannya.             Tristan tertawa lalu ia kembali fokus menyetir. “Kamu sudah cek ke Dokter kandungan?” tanya Tristan dan Stefanie menggelengkan kepalanya.             “Jadi aku tuh harusnya datang bulan satu minggu yang lalu. Terus sampai sekarang belum juga jadi aku tadi malam aku beli alatnya dan coba cek tadi pagi dan benar saja hasilnya positive. Lagian aku kesal bisa-bisa mereka memberikan aku minuman yang berisi obat bius. Tristan aku sangat takut,” ucap Stefanie dan kedua matanya sudah penuh dengan buliran air mata.             Tristan bisa merasakan kekhawatiran kekasihnya ini. Ia menggenggam erat sebelah tangan Stefanie lalu menciumnya dengan lembut.             “Sini kasih ke aku saja rasa khawatirnya. Biar aku yang menanggung segala kekhawatiran kamu dan kamu hanya cukup tersenyum saja,” ucap Tristan.             “Ayo pacar kita turun,” ucap Tristan saat mereka sudah sampai di toko ice cream.             Stefanie turun bersama dengan kekasihnya. Dan Tristan dengan possessive merangkul belakang pinggang kekasihnya tanpa ia tahu jika di dalam toko ice cream sudah ada yang menatapnya dengan sangat tajam sekali.             “Kamu yang vanilla strawberi kan?” tanya Tristan.             “Hmmm, aku mau itu juga ya,” ucap Stefanie.             Tristan mengangguk dan memesan apa yang kekasihnya inginkan. Lalu mereka berdua duduk bersama.             “Tunggu dulu,” ucap Tristan lalu Fanie mengernyit.             “Ada apa?”             “Anak Papa mau mamam ice cream?” tanya Tristan sambil mengusap perut rata kekasihnya.             Stefanie tersenyum lalu tangannya menarik-narik rambut cokelat milik Tristan.             “Hahaha, sakit sayang,” ucap Tristan lalu mencubit kedua pipi Stefanie.             “Ini lebih sakit,” ucap Stefanie.             Dari kejauhan, lelaki yang sejak tadi memperhatikannya sudah sangat emosi sekali melihat tingkah kedua remaja itu. Tingkahnya sungguh membuat darah di dalam tubuhnya mendidih.             Ia yang sudah emosi langsung berdiri. “Kamu tunggu disini sebentar,” ucap lelaki itu.             Lelaki ini berjalan dengan perasaan emosi yang bercampur aduk dan matanya semakin memerah saat melihat tangan Tristan terus menyentuh bibir Stefanie.             “Apa kamu tidak malu melakukan kemesraan di tempat umum?” ucap lelaki itu hingga membuat Tristan dan Stefanie kaget.             “Papa, kenapa ada di sini?” tanya Stefanie lalu ia mencari keberadaan Mamanya.             “Ini tempat umum, bisa dikunjungi siapa saja!” ucap Steve.             “Di mana Mama?” tanya Stefanie mengalihkan pembicaraannya.             “Kamu tidak usah mencari alasan. Ini cara berpacaran kamu dengan lelaki ini?” ucap Steve.             “Papa sudah ya, malu di dengar orang. Ini tempat umum. Fanie juga sudah besar Pah,” ucap Stefanie sambil memeluk lengan kekar Steve.             “Malu? Kamu tidak malu bermesraan dengannya?” tanya Steve emosi.             “Papa kita bicara di luar saja ya. Di mana Mama?” tanya Stefanie yang berusaha mencari keberadaan Mamanya dan Shasha yang menunggu Steve sejak tadi tidak kembali lantas mencarinya dan ia kaget melihat suaminya sedang marah-marah.             Stefanie berhasil mengajak Steve keluar dan mereka semua berdiri di dekat parkiran mobil di bawah sinar matahari yang cukup terik.             “Kamu harus bisa jaga sikap kamu. Kamu itu anak perempuan dan wajah kamu juga di kenal banyak orang jadi kamu harus bisa lihat situasi dan tempat. Kamu tahu ini tempat umum, mengumbar kemesraan dalam status berpacaran itu tidak terlalu baik. Akan ada banyak pembicaraan negative nantinya,” ucap Steve emosi.             “Maaf Om, kalau saya boleh bicara, saya ingin bicara,” ucap Tristan lalu ia menggenggam erat tangan Stefanie.             “Saya minta ijin untuk menikahi Stefanie,” ucap Tristan yang semakin mengeratkan genggaman tangannya.             “Apa?!” tanya Steve lalu memandangi putrinya yang selalu menjadi belahan jiwa untuknya. Hati Steve seolah hancur mendengar ucapan Tristan yang begitu menusuk hatinya.             “Apa alasan kamu ingin menikahinya? Seberapa jauh memangnya hubungan kalian berdua?” tanya Steve.             “Steve …,” ucap Shasha yang langsung diberikan kode oleh Steve untuk diam.             “Saya mencintainya dan Fanie juga mencintai saya. Kami berdua saling mencintai dan kami ingin segera menikah,” ucap Tristan.             “Kalau saya tidak mengijinkannya kamu mau bilang apa?” tanya Steve.             “Om harus mengijinkannya karena Fanie …,” ucap Tristan dan Stefanie sudah menggelengkan kepalanya.             “Kenapa dengan Fanie?” tanya Steve sambil menatap curiga.             “Karena Fanie hamil anak saya Om,” ucap Tristan.             “Apaaa???” tanya Steve dan Shasha bersamaan lalu tatapannya semakin tajam menusuk bagaikan pisau yang runcing yang mengenai tepat ke jantung.   Bersambung 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD