8. Kennan Sabdayagra

1384 Words
8. Kennan Sabdayagra Jika menjadi milikmu, harus melewati ribuan duri, Maka biarlah aku berjuang, meski berdarah-darah menyakiti diri --- Yuna mengetuk pintu ruang kerja Kennan, menunggu sebentar sebelum sebuah seruan dari dalam terdengar. Membuka pintu, Yuna berjalan ke arah Kennan yang fokus pada pekerjaannya. Dia membawa nampan berisi secangkir kopi hitam pekat tanpa gula. Pesanan laki-laki itu. Tadi Yuna merebutnya dari seorang pelayan yang hendak mengantarkan. Yuna meletakkan cangkir ke atas meja. Cukup jauh dari tebaran dokumen yang memenuhi meja kerja Kennan. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi Kennan masih enggan untuk beranjak dari pekerjaannya. "Apa Tuan tidak lapar?" tanya Yuna, mendekap nampan kosong di dadanya. Sesaat Kennan mengernyit, namun sedetik berikutnya dia menyeringai. Mendongak menatap Yuna dengan kerlingan menggoda. "Aku lapar, tapi malam ini lelah sekali. Jadi ingin tidur saja," Yuna tersedak. Mengerti maksud ucapan Kennan. Tidak jauh-jauh dari program anak. Menggelengkan kepala, Yuna menyangkal cepat. "Maksud saya, lapar makan nasi. Bukankah Anda belum makan malam," Kennan terkekeh. Menggoda Yuna membuatnya sedikit mencairkan ketegangan yang sedari tadi dipaksa bekerja. "Tidak, lagipula para pelayan pasti sudah tidur," "Saya yang akan memasak untuk Anda," "Kamu bisa?" Yuna tersenyum, menjawab mantap pertanyaan remeh temeh Kennan. "Bisa. Makanan sederhana khas pinggiran." Kennan diam, dia melirik jam dinding dan menghela napas setelahnya. Sudah terlalu malam, dia enggan merepotkan seseorang. "Kamu tidur saja, aku masih bisa hanya minum kopi." putusnya. "Saya sudah tidur sejak tadi. Tidak apa, saya buatkan nasi goreng," Mendesahkan napas pasrah, Kennan mengangguk mengiyakan. Yuna segera berlalu setelah mendapat persetujuan. Melenggang riang ke arah dapur yang sepi. Memang benar kata Kennan, para pelayan sudah istirahat karena memang sudah waktunya. Dia menyalakan lampu dapur dan mulai mempersiapkan bahan untuk nasi gorengnya. Dengan cekatan, dia meracik bumbu-bumbu, memasang penggorengan dan menuang minyak. Yuna sudah terlatih sejak kecil untuk bisa memasak. Ibunya yang dulu tanpa kenal menyerah mengajari masakan sederhana khas rumahan. Dan ketika ibunya tiada, Yuna tidak begitu kebingungan untuk memasak makanan sehari-hari. Meski tidak selezat makanan restoran. "Hm, wangi sekali," Yuna tersentak kaget. Bulu kuduknya meremang ketika sebuah kalimat disuarakan di belakang telinganya. Meski dia tahu itu Kennan, tapi tetap saja terkejut dan sedikit merasa takut. "Kamu masak apa?" tanya Kennan. Laki-laki itu berdiri di sebelah Yuna yang sedang membolak-balik nasi di penggorengan. Yuna mendengkus lirih. Bukankah dia sudah memberi tahu akan memasak apa tadi. Dan apa Kennan tidak melihat bakal nasi goreng di penggorengan. "Oh, nasi goreng," Kennan menjawab sendiri pertanyaannya. "Apa masih lama?" "Sebentar lagi," jawab Yuna. Sebelah tangannya mengambil kecap dan dituangkannya sedikit ke atas penggorengan. Kennan menguap. Lebih dari lima jam dia berkutat di depan laptop tadi dan sedikitpun tidak beristirahat. "Aku lelah," Yuna meletakkan spatulanya ke atas penggorengan. Ditolehkannya wajah menatap Kennan yang menguap berkali-kali. "Anda bisa istirahat dulu," Kennan mengangguk. Ditepuknya puncak kepala Yuna pelan. "Aku ke kamar ya, kamu berani sendiri?" "Berani," Setelah kepergian Kennan, Yuna kembali cekatan. Dia mencicipi nasi gorengnya, dirasa pas, dia menunggu sejenak sampai bumbu-bumbunya meresap sempurna. Tersenyum puas, Yuna melepas apron bunga-bunganya. Diletakkan kembali ke tempat penyimpanan. Nasi goreng spesialnya sudah siap dan tertata apik di atas piring. Membuka kenop pintu kamarnya, Yuna sedikit terkejut mendapati Kennan yang justru rebah di kasur. Menghela napas, Yuna meletakkan nampan berisi nasi goreng beserta minumnya ke atas nakas di sebelah Kennan terpejam. Dia menarik selimut menutupi tubuh Kennan sampai ke d**a. Senyumnya terkembang melihat wajah laki-laki itu, tampak tenang dan damai. Yuna menggigit bibir bawahnya, menahan niat hati yang begitu ingin mendaratkan kecupan di pipi suami kontraknya. Di bilang jatuh cinta, Yuna tidak tahu. Yang jelas, perlakuan Kennan selama ini membuatnya nyaman, dan aman. "Sudah selesai," Yuna membeliak, menatap Kennan yang mengerjapkan mata. Menggeser tubuhnya untuk tegak, Kennan mengucek matanya pelan. Dia menatap Yuna bergantian dengan nasi goreng di atas nakas. "Aku ketiduran ya?" "Iya, tidak apa-apa jika ingin tidur lagi," Kennan menyingkap selimut, menarik kakinya untuk duduk bersila. Dia mengulurkan tangan mengambil segelas air putih dan meminumnya. "Kamu sudah memasaknya, lagipula aku lapar." Yuna tersenyum, tidak membantah ketika Kennan mengambil piring nasi goreng dan mulai memakannya. Ada bersit bahagia yang menelusup dadanya. Karena baru kali ini dia memasakkan sesuatu untuk Kennan dan dimakan laki-laki itu. Tanpa cemoohan. "Pelan-pelan," Yuna menyodorkan segelas air putih. Memberikannya pada Kennan yang sempat tersedak. Kennan meneguk minumnya pelan. Menghabiskan hampir setengah gelas. Barulah, kembali menyantap nasi gorengnya. Namun kali ini, dia menyuapkan satu sendok ke arah Yuna. Yuna menggeleng. "Kamu tidak suka masakanmu sendiri?" kernyit Kennan. "Bukan. Ada daun bawang di situ," tunjuk Yuna pada sesendok nasi yang masih mengapung di udara. Kennan mendengkus. "Kalau tidak suka, kenapa kamu masih menaruhnya di sini." Yuna menggigit pipi dalamnya. "Karena kata orang itu enak. Jadi saya tambahkan." Kennan hampir kembali tersedak mendengar penjelasan Yuna. Buru-buru dia merebut minum dari Yuna dan meneguknya. Sendirinya tidak suka tapi mencobanya pada orang lain. "Tuan ada makanan yang tidak disuka?" tanya Yuna. Bertekad jika besok-besok memasak lagi, dia akan menghindari makanan apa saja yang tidak Kennan sukai. "Tidak ada. Tapi kalau yang paling disuka ..." Jeda. Kennan meletakkan piring makannya yang sudah kosong ke atas nakas. "Sushi, seafood." Yuna mengangguk. Meski dia belum pernah membuat makanan seperti itu, tapi dia akan belajar. Belajar hal baru agar pengalamannya bertambah. Dan satu yang sangat diinginkannya. Membuat makanan kesukaan Kennan, membuat laki-laki itu senang dirinya pun akan senang. Entah dimulai sejak kapan. Namun, kini Yuna suka melihat Kennan tersenyum untuknya. Sebuah senyuman bahagia. *** "Kamu di rumah saja, kalau mau pergi bilang sopir minta dianterin," Yuna mengerjap, dia menengadah menatap Kennan yang mengambil tempat di depan sebelah kanannya. "Tuan akan pergi?" tanya Yuna. Dia membalik piring kosong milik Kennan lalu meletakkan sepotong sandwich daging ke atasnya. Kennan mengangguk. "Cutiku sudah habis," ucapnya, kemudian menggigit potongan sandiwch dari piringnya. Yuna diam, menilik pakaian yang Kennan kenakan. Stelan kerja lengkap yang tampak apik di tubuh laki-laki itu. "Pulangnya?" "Mungkin malam, karena banyak pekerjaan yang harus segera diurus," Yuna hanya menganggukan kepala, kemudian melanjutkan sarapan dalam hening. Ini adalah hari pertama setelah hari pernikahannya, Kennan berangkat kerja. Beberapa hari libur, bukan berarti membuat dia malas untuk ke kantor. Karena di rumah pun dia hampir tidak lepas dari laptopnya. Dia punya tanggung jawab. Ada ratusan pekerja yang bergantung hidup di dalam perusahaannya. *** "Tuan, tasnya!" seru Yuna dari arah tangga ketika melihat Kennan melangkah keluar rumah. Kennan menghentikan langkah, berbalik melihat Yuna yang berlari kecil ke arahnya. Yuna mendekap tasnya di depan d**a, tersenyum semringah tanpa melihat jalan. "Jangan lari!" tandas Kennan. Dua matanya menyorot tajam pada Yuna, membuat wanita itu serta merta melambatkan langkah. Senyum semringah Yuna berubah menjadi bibir manyun. Sebal. Kennan mendengkus melihat perubahan wajah Yuna. Dia menarik lengan Yuna, membawa tubuh mungil itu menubruk dadanya. Dalam hening, Kennan menghidu wangi rambut Yuna. Menarik napas panjang di puncak kepala Yuna demi menyimpan wangi wanita itu. Wanginya yang menenangkan membuat Kennan betah menciumnya. "Ingat. Jangan bekerja berat-berat," ucap Kennan mengingatkan. Dia melepas pelukannya dan memegang bahu Yuna. Menatap mata Yuna lekat, bola mata yang memancarkan binar tanpa luka. Kennan tersenyum samar, menyibak helaian rambut Yuna yang menutupi dahi. Dan beberapa saat dia terpekur menatap sebuah luka di ujung pelipis, tidak begitu jelas karena terhalang rambut-rambut halus yang tumbuh. Sudah di ujung lidah Kennan ingin bertanya luka apa? Namun urung karena Yuna lebih dulu bersuara. "Ada apa?" Kennan mengembuskan napas, menggeleng pelan kemudian melepas cengkeramannya di bahu Yuna dan beralih mengambil tas kerjanya. "Aku berangkat," Baru Kennan akan melangkah, Yuna kembali menahannya. Wanita itu mengukir senyuman lalu menarik tangan kanan Kennan. Kennan sedikit terperangah kala Yuna mengecup punggung tangannya. Lembut dan terasa sangat mendalami. "Hati-hati," lirih Yuna, meluruhkan kekerasan hati Kennan. Ada desir baru yang menelusup d**a Kennan. Perlakuan lembut Yuna dan bagaimana wanita itu begitu menghargai dirinya. Meski dirinya hanya suami sebatas kawin kontrak. Mengurungkan langkahnya, Kennan kembali menarik lengan Yuna. Mendekap tubuh wanita itu dalam rengkuhannya. Dia memejamkan mata sembari menghujani puncak kepala Yuna dengan kecupan bertubi-tubi. Hangat tubuh Yuna menjalari tubuhnya. Membuat langkahnya berat untuk pergi. Ya Tuhan, Kennan tidak pernah merasa seperti ini. Setidaknya, sebelum Yuna dia hadirkan dalam kehidupannya. Melepas dekapannya. Kennan menatap lekat manik mata Yuna yang menampilkan tanya tak terucap. Dia tersenyum tipis, kemudian mengecup kening Yuna penuh perasaan. Menyalurkan hangat dan juga kelembutan. "Tunggu rumah, aku pergi dulu." Dan Kennan berlalu pergi. Di iringi tatapan Yuna dengan senyum penuh bahagia. Jangan lupakan degupan jantungnya yang memburu. Bahkan hangat kecupan Kennan di keningnya masih terasa lekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD