2. Kedua Kali

1237 Words
2. Kedua kali Senyumnya manis di luar Namun, dua mata berbinar itu menampakkan luka teramat dalam --- Yuna bangun lebih pagi, kata ibunya dulu, anak perempuan tidak baik bangun kesiangan apalagi ketika matahari sudah menyingsing. Nanti rejekinya dipatok ayam, jodohnya jauh. Oleh karena itu, saat adzan subuh berkumandang, Yuna sudah menegakkan tubuh. Dia bergegas ke kamar mandi dan memulai aktivitas paginya. Menguap, Yuna menempelkan punggung tangan kirinya di depan mulut. Meski sudah mandi kantuknya masih terus merayap. Dia membuka pintu kosnya, keluar kamar mencari sarapan. Mungkin nasi uduk di sekitar kosnya, yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Tidak sampai sepuluh menit, Yuna tiba di depan sebuah rumah sederhana. Dia mengukir senyuman dengan langkah semakin mendekat pada teras rumah itu. "Selamat pagi, Nek," sapa Yuna ramah. Warung nasi uduk langganannya, di samping enak, harganya tidak membuat kantongnya cepat kering. Sang nenek yang mengenal Yuna, tanpa diminta mulai meracik pesanan. Sebelumnya, Nenek menyahut sapaan Yuna disertai senyuman yang menampilkan kulit keriputnya. Menyodorkan selembar uang lima ribu, dan ucapan terima kasih, Yuna mengambil kantong plastik berisi sarapan paginya dan segera pamit. Ada banyak yang mengantri di belakangnya, membuat dia segan untuk berlama-lama. Kembali ke kosnya, Yuna berjalan ringan dengan sedikit meregangkan tubuhnya. Pegal-pegal karena tubuhnya yang di paksa bekerja keras. Ditambah dengan kasur di kamarnya yang semakin tipis dan tidak ada empuk-empuknya sama sekali. Namun, karena kecerobohannya mungkin, dia menabrak seseorang. Seorang laki-laki dengan pakaian olahraga lengkap. Yuna mengaduh, bukan karena dia yang kesakitan, lebih karena sarapannya terlempar. Membuat isinya berhamburan di jalan dan tidak lagi layak untuk dimakan. "Kamu tidak apa?" tanya laki-laki itu, ketika melihat seseorang yang baru ditabraknya masih saja berjongkok di hadapannya. "Tidak apa-apa." Yuna memungut kantong nasi uduknya. Bukan untuk dimakan tapi akan ia pindahkan ke tempat sampah. Laki-laki itu mengernyit. "Kamu yakin?" "Tentu saja--" Mendongak, Yuna termenung menatap laki-laki di hadapannya. Seorang laki-laki yang kemarin ditemuinya di restoran. Oh, kebetulan apalagi ini? Tidak ingin berlama-lama, Yuna segera menunduk dan pergi, tanpa kata apapun. Memang apa yang akan Yuna katakan, mengobrol dan bertukar cerita begitu. Dia masih cukup waras untuk menyadari keadaannya. Di lain sisi, laki-laki yang baru Yuna tinggalkan tampak ternganga dengan kernyitan di kening. Tidak percaya dengan apa yang terjadi. Dia diabaikan. *** Kennan melenguh pelan. Masih dengan memejamkan mata, dirabanya meja kecil di dekatnya. Mencari ponselnya yang ia yakini di letakkan di meja itu tadi pagi. Setelah ditemukan, Kennan mengerjap, melirik layar yang menunjukkan pukul 10.15. Memijit pelipisnya, Kennan menegakkan tubuh. Sedikit lesu, meski dia sudah tertidur cukup lama. Rekor baru baginya, karena selama bertahun-tahun bekerja, baru kali ini dia menjadikan kantornya sebagai tempat yang nyaman untuk tidur. "Ken, kenapa di kunci?!" Teriakkan dari luar ruangan, membuat mata Kennan melebar. "Ken, ngapain sih. Lupa meeting siang ini?" Lagi, teriakkan itu membahana. Kennan mendengkus, dia tidak lupa. Hanya malas untuk menghadiri meeting itu. Dia terkenal profesional dalam bekerja, tapi kali ini, dia ingin menghilangkan image itu. Biarlah, sekali-kali menjadi pembangkang. "Ngapain ke sini?" tanya Kennan datar, ketika dia membuka pintu ruangannya dan menampilkan Jefry di balik pintunya. "Halah, pura-pura nggak denger lagi," cibir Jefry. Tanpa izin, dia nyelonong masuk ke ruangan Kennan, kemudian menghempaskan tubuh di sofa tempat Kennan tertidur tadi. Tak membalas cibiran Jefry, Kennan berjalan ke arah meja kerjanya. Duduk di kursi kebesarannya untuk mengecek pekerjaannya yang semakin menumpuk. "Wilona tunangan nanti malam, kamu datang tidak?" Kennan menghentikan gerakan tangannya mengambil bolpoin, sesaat dia biarkan tangannya menggantung begitu saja di udara. Sebelum kemudian mengepalkannya dan meletakkan di atas meja. Sejujurnya, dia enggan membahas hal yang Jefry tanyakan. "Ken," "Enggak, banyak kerjaan." Kennan menunduk. Mulai menyibukkan diri dengan memeriksa dokumen-dokumen di atas meja. Jefry menaikkan sebelah alisnya. "Kukira kamu tidak akan absen untuk sahabatmu itu." Tanpa mengalihkan fokusnya, Kennan menyahut singkat. "Bukan sahabat." Kali ini Jefry terkekeh. "Oh benar, dia bukan sahabatmu tapi saudari jauhmu. Yang kebetulan kamu kasihi sepenuh hatimu." Menggegam bolpoinnya kuat-kuat, Kennan memejamkan mata. Tidak mengelak, karena yang Jefry katakan benar adanya. "Kapan kamu akan memberiku cucu, Ken?" Kennan dan Jefry serempak menoleh ke arah pintu dengan tatapan terkejut. Di sana berdiri laki-laki setengah baya dengan tubuh tinggi tegap. Berkacak pinggang dengan seringai geli. Kennan mendesah pelan melihat Ayahnya yang bicara tanpa basa-basi. Apalagi membawa topik yang menjadi beban berat di bahunya. Pekerjaannya saja sudah lebih dari cukup membuatnya pusing, sekarang ditambah tekanan Ayahnya. "Oh ada Jef, bagaimana kabarmu Nak?" Doni Sabdayagra memasuki ruangan, berjalan ke arah Jefry yang menahan tawa sedari tadi. "Baik Om. Sangat baik," sahut Jefry ceria. Doni mengangguk, dialihkannya tatapan pada sang putra yang tidak mempedulikan kehadirannya. "Kamu sudah menikah?" tanyanya, kembali menatap Jefry. Jefry tersenyum samar. "Belum dong, Om. Masih ingin memacari banyak gadis," sahutnya menepuk d**a. Kennan yang mendengar ucapan Jefry serta merta melemparkan bolpoin di tangannya, tepat mengenai pelipis sahabatnya. Jefry mengaduh, lumayan sakit karena bolpoin berlapis perak yang Kennan lemparkan. Andai tidak ada Doni, Jefry akan mengumpat dan membalas Kennan. "Pantas kalian tidak laku-laku. Umur boleh dewasa, tingkah mirip bocah," decak Doni. Dia bangun dari duduknya, mengitari meja kerja Kennan dan berdiri di samping putranya. Siap memberi wejangan panjang lebar akan niatnya yang tidak pernah surut. "Kenapa Ayah tidak istirahat saja di rumah?" "Mana mungkin Ayah hanya diam di rumah, sedangkan putraku sampai tidak tidur karena pekerjaan." Kennan menahan senyum. Dia lembur semalaman, hanya agar bisa mengalihkan pikiran dan perasaannya. "Ayah sudah semakin menua, biar aku yang mengurus perusahaan ini." Doni terkekeh. "Nah itu kamu sadar. Aku sudah semakin menua. Jadi kapan kamu memberi Ayah cucu, hm?" Mengaduh dalam hati, Kennan mengutuk kebodohannya dalam bicara. Kenapa sampai bisa keceplosan. Dia membuka sendiri lahan permintaan untuk Ayahnya. "Lupakan tentang itu Ayah, aku masih senang bekerja," seloroh Kennan. Dia mendongak, melempar tatapan tajam pada Jefry yang terus saja terkikik mendengar pembicaraannya dengan Doni. Seperti kebiasaan. Jefry selalu puas untuk mengejek Kennan. "Anak durhaka, kamu tidak ingin menikah!" hardik Doni, salah paham akan ucapan asal Kennan. "Kamu bekerja keras untuk siapa? Jika bukan untuk keluargamu." Kennan menghela napas panjang dan perlahan. Dia bukan tidak ingin menikah, dia ingin. Hanya saja dengan satu wanita itu. Tapi, malam ini segalanya berakhir. Angannya sudah terhempas ke udara, tak lagi bersisa. "Aku ingin menggendong cucu, Nak," pelas Doni, wajahnya dia buat sememelas mungkin. Hanya satu cara itu yang ia bisa. Kennan itu keras kepala, jika dibalas dengan keras kepala juga, akan sama saja. Ya Tuhan, Kennan melirih dalam hati. Lebih dari apapun, jauh di dalam hatinya dia pun ingin memiliki anak. Usianya sudah semakin tua, tapi .... "Wilona saja akan menikah, kamu kapan?" Kennan menyerah. Dia bangkit berdiri, menghadap pada sang Ayah yang terduduk di tepi mejanya. Menghela napas, Kennan menatap Ayahnya dengan sorot teduh. "Ayah pasti lelah, kemarin baru tiba langsung ke kantor. Sekarang pun juga." Doni berdecak, "Kalau bukan Ibumu yang merengek untuk membujukmu menikah, mana mau aku melembut pada anak keras kepala sepertimu." Setelah mengatakan itu, Doni beranjak pergi, tanpa menoleh atau mengatakan hal lainnya. Misinya satu, membujuk Kennan. Tapi sama seperti dirinya saat muda, Kennan luar biasa keras kepala. Tidak bisa dikendalikan. "Sepertinya kamu butuh wanita secepatnya." Jefry membuka pembicaraan. Kennan melirik malas. "Untuk apa?" "Menjadi ibu pengganti untuk anakmu." "Gila! Aku tidak sebodoh itu," umpat Kennan dengan suara keras. "Mana mungkin aku mempercayakan calon anakku pada seorang wanita malam." Jefry menggelengkan kepala. "Tidak. Bukan pada wanita seperti itu, tapi wanita baik-baik yang mau bekerja sama." Kennan menaikkan sebelah alisnya. Termenung memikirkan usulan Jefry. Bisakah? Tapi, wanita mana yang mau dia manfaatkan. Hanya untuk mengandung anaknya tanpa ada komitmen untuk membangun rumah tangga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD