1. Temu Tanpa Cerita

1302 Words
1. Temu tanpa Cerita Setitik cahaya itu, menari mengikuti suara hati Menyentuh kalbu dalam lautan sepi --- Kennan menyandarkan punggung pada kursi kerjanya. Hari baru beranjak siang, namun dia sudah tak lagi punya gairah untuk bekerja. Semangatnya menghilang terbawa angin, terbang bersama debu jalanan melanglang metropolitan. Ayahnya baru saja mendatanginya. Memberi banyak permintaan yang tidak mungkin Kennan berikan dengan mudah. Salah satunya ... memberi cucu. Kennan berdecih. Cucu dari Hongkong, dia saja tidak mau menikah. Untuk apa menikah? Kalau hati saja, Kennan tak lagi yakin memiliki. Mungkin sudah mati, mungkin juga terbawa angin seperti semangatnya. Entahlah, dia terlalu malas untuk menjelaskan. Kalau bisa, dia ingin merelakan. Kalau mampu, dia ingin meninggalkan. Absurd. Sama seperti dirinya, tidak jauh berbeda. Sebelas dua belas antara waras dan tidak waras. Dia terkadang tertawa dalam kepedihan. Menangis dalam kebahagiaan. Tangisnya tidak mengeluarkan air mata, hanya beberapa perabot yang harus rela di jadikan sasaran atau dinding semen yang cukup mampu membuat jari-jari tangannya terluka. "Kennan?" Panggilan seseorang membuat Kennan memejamkan mata. Berpura-pura tidur, karena masih enggan bertemu orang itu. Suara pintu terbuka diikuti langkah kaki terdengar berirama mengusik rungu Kennan. Namun dia masih mendiamkannya, membiarkan orang itu semakin dekat ke arahnya. "Tidur? Ish ish ... bos malas sepertimu, mau jadi apa perusahaan ini." cibir Wilona. Wanita itu meletakkan tas tangannya di atas meja kerja Kennan. Lalu mengitari meja dan berhenti tepat di sebelah kursi yang sedang Kennan duduki. Menumpukan berat badannya pada meja di belakangnya, Wilona bersedekap dengan terus menatap sahabatnya tanpa jemu. Senyum semringah terpeta indah di bibirnya yang dipoles merah muda. "Rencana pernikahanku, di percepat." seru Wilona, karena yakin Kennan tidak benar-benar tertidur. Mendengar seruan Wilona, Kennan menegang di tempatnya. Semakin merapatkan kelopak matanya. Menahan mati-matian untuk tidak segera membukanya demi menutupi satu luka yang baru ia dapatkan. Dia masih bisa terluka. Hatinya, yang dia gadang-gadang telah mati. Nyatanya tak pernah redup dari sosok Wilona. Seiring waktu justru semakin melekat, bagaimanapun Kennan berusaha menghilangkannya. Belasan tahun memendam cinta, menjadi satu alasan bagi Kennan untuk tidak mudah beranjak. "Ken, kamu tidak senang. Padahal kamu adalah orang pertama yang kuberitahu kabar bahagia ini." Orang pertama yang ingin Wilona beritahu. "Ya Tuhan," Kennan melirih di dalam hati. Tidakkah wanita itu sedikit saja menyadari. Kennan tidak pernah menganggap Wilona nomor dua. Wanita itu selalu jadi yang pertama. Sama-sama pertama, namun dalam arti berbeda. Tentu saja. Memangnya apa yang Kennan harapkan. Wilona memilih laki-laki lain, yang otomatis menjadi nomor satu di hati wanita itu bukan? "Kamu menyebalkan, Ken. Aku benci." Demi seraut wajah merajuk Wilona, dan ucapan paling tidak ingin Kennan dengar, dia akhirnya mengalah. Perlahan, dia membuka mata dengan sebelumnya menarik dan mengembuskan napasnya panjang. "Kapan?" tanya Kennan. Ditatapnya Wilona yang kini tampak mengukir senyuman senang. "Besok malam pertunangannya. Dua bulan lagi pernikahannya," jawab Wilona antusias. Tanpa merasa sungkan atau bersalah. Wilona memang tidak tahu, dan Kennan memahami itu. Wilona tidak benar-benar ingin menyakiti hatinya, meski yang selama ini wanita itu lakukan adalah menancapkan belati di dadanya. Memaksakan senyumnya, Kennan kembali berucap. "Oh ya, cepat sekali." Masih dengan antusiasme tinggi, Wilona turun dari duduknya di pinggiran meja. Di rengkuhnya bahu Kennan erat. "Iya, aku yang memintanya agar dipercepat." Kennan menahan napas. Disentuhnya lengan Wilona yang melingkari lehernya. Dia harus bahagia, meski remuk keadaan hatinya. "Itu sangat bagus, Wil. Jadi, kamu bisa menambatkan hatimu dan tidak lagi menggangguku." Wilona memberengut. Melepaskan pelukannya dan berdiri berkacak pinggang. "Jadi, aku mengganggumu begitu?" Kennan tertawa sumbang. "Tentu saja, aku ada banyak pekerjaaan hari ini," ucapnya, sembari menarik tumpukkan dokumen di atas meja dan ia tunjukkan pada Wilona. Wilona menepuk sebelah bahu Kennan. "Iya, Mr. Sok sibuk. Tahulah. Urusi saja pekerjaanmu, hingga kamu tua dan lupa dengan hidupmu." "Kamu yang mengatakan padaku tadi. Kalau aku tidur terus. Mau jadi apa perusahaanku." "Tapi tidak dengan mengabaikanku," decih Wilona. Kennan menaikkan sebelah alisnya. "Aku tidak mengabaikanmu. Tidak pernah." tekannya jujur. Lebih berasal dari dalam hatinya. "Kamu pembohong ulung. Sudahlah," ucap Wilona meraih tasnya. "Kamu mau pulang?" Mengabaikan pertanyaan Kennan, Wilona beranjak pergi. Sedikit kesal, karena Kennan mengatakan jika dirinya mengganggu. Wilona tahu, Kennan memang sibuk. Tapi selama ini sesibuk apapun Kennan. Laki-laki itu tidak pernah mengatakan dirinya pengganggu. "Pastikan kamu datang ke pestaku besok malam," pesan Wilona. Sebelum benar-benar membuka pintu, ditolehkannya wajah untuk melihat Kennan. "Berdandan yang tampan," lanjutnya. Kennan mengembuskan napas, panjang dan berat. Mengurangi sesak yang nyatanya sejak tadi menghimpit dadanya. Yang bisa dia lakukan hanyalah seperti itu. Berpura-pura. Menyembunyikan rapat-rapat apa yang ada di dalam dadanya. Tidak pernah sekalipun ia buka perasaannya. Karena baginya cukup mencintai, tanpa balasan. Meski dia harus menanggung duka. *** "Yuna, antar pesanan ke meja nomor sembilan." Mengangguk mantap, Yuna mengambil pesanan yang diperintahkan. Di meja itu ada dua laki-laki berambut cepak dengan pakaian necis khas kantoran. Senyum Yuna terukir hangat, ketika menyela obrolan tamunya. Izin untuk meletakkan pesanan di meja. "Selamat menikmati." Senyum Yuna terukir manis. Lewat sudut matanya, dia melirik salah satu laki-laki yang sedang sibuk dengan tab-nya. Menahan napas, Yuna segera undur diri. Jantungnya berdegup cepat, hanya karena laki-laki yang ditatapnya mengalihkan perhatian dari tab dan berbalik memandangnya. "Ya Tuhan," Yuna mendesah, merasa tindakkannya barusan adalah sebuah kesalahan fatal. Dia baru saja terpesona akan ketampanan seseorang. Terperangkap hanya karena sebuah tatapan mata. Untuk kali pertama, jantungnya tak terkendali. Dia yang berusia 21 tahun dan menghabiskan sebagian hidupnya hanya untuk bekerja, tidaklah cukup mumpuni untuk membaca apa yang terjadi. "Kenapa?" Tersentak, Yuna mengurut dadanya. Ditolehkannya wajah menatap Nia, salah satu seniornya di restoran. "Kaget Kak," desah Yuna. Berusaha sedikit menenangkan degupan jantungnya yang masih memburu. Nia meringis, "Masa sih?" Yuna mengangguk malu. "Sori deh, abisnya mukamu merah banget." "Huh," Yuna mengerjap, ditepuk-tepuknya dua belah pipinya pelan. Memang sih, dia merasa jika wajahnya memanas. Sampai-sampai dia takut jika dirinya demam. "Kak Nia--" ucapan Yuna terpotong karena sebuah seruan seseorang di meja nomor sembilan. Nia mencolek bahu Yuna sembari mengedikkan dagunya. Meminta Yuna untuk segera beranjak dan kembali ke meja itu. Baru saja Yuna ingin menolak, Nia sudah lebih dulu pergi. Ada tamu lain yang juga memanggil. Yuna menghela napas berkali-kali. Dia merasa gugup tiba-tiba. "Apakah ada yang Anda inginkan?" tanya Yuna ramah. Dia menundukkan kepala, menatap rumbai penutup meja. Seolah apa yang di sana lebih indah dari pemandangan laki-laki tampan di hadapannya. "Aku ingin kamu." Melotot, Yuna segera menengadah. Dipandanginya dua laki-laki di depannya secara bergantian dengan raut bertanya. "Basi." "Hei, Ken. Diam saja kamu. Batu." cibir Jefry. Yuna bergeming, sebutan nama yang tak sengaja di dengarnya perlahan membuat dadanya berdesir. Ken, itulah nama laki-laki tampan yang memiliki raut wajah datar itu. "Ah, bisa tambah sausnya," ucap Jefry. Yuna mengangguk, tak lupa ia tambahi sebuah senyuman. "Mohon ditunggu," ucapnya, kemudian berlalu pergi. Dia harus profesional. Sekalipun dia begitu ingin sedikit lama untuk memandang. Sepeninggal Yuna, meja Kennan tampak gaduh dengan tawa Jefry yang membahana. Tidak ada yang sedang melucu, namun laki-laki itu justru tertawa begitu bahagia. Kennan memutar bola matanya malas. Tidak ingin berkomentar dengan tingkah aneh sahabatnya. "Kamu lihat mukanya, persis kayak lihat hantu," seloroh Jefry di tengah tawanya. "Sudah biasa." Kennan menyahut tidak peduli. Dia kembali membuka tab-nya, melihat e-mail yang menumpuk, kebanyakan bahasan kerja. Tidak yang lain. "Kali ini, harus dilihat. Wanita itu lucu banget. Mukanya antara terpesona sama ketakutan." Dan tepat ketika Jefry menyelesaikan ucapannya. Yuna datang dengan pesanan yang Jefry inginkan. Demi memastikan apa yang Jefry katakan, Kennan mendongak, menatap Yuna yang sedang mengukir senyum hangat. Kennan mengernyit, apa yang Jefry katakan tidak dia temukan. Wanita di hadapannya justru tampak semringah. Bukan karena terpesona apalagi mencari perhatian. "Gimana? Iya kan?" Jefry bertanya memastikan. Setelah Yuna pergi dari mejanya. Kennan berdecak. "Kalo nggak bisa baca raut muka. Jangan ceriwis lah." "Duh, payah," cibir Jefry sembari menggelengkan kepala. Mengedikkan bahu, Kennan tidak membalas cibiran Jefry. Dia mengambil sendok dan melahap makan siang menjelang sorenya. Meski tidak begitu berselera, dia tetap berusaha menjejalkan makanan itu ke dalam mulutnya. Karena mungkin, besok dia akan lebih tidak berselera.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD