Part 2

1276 Words
15 Juli 2018 akhirnya menjadi hari yang bersejarah bagi hidupku. Dimana aku menikah dengan seseorang yang bahkan tak kuketahui riwayat pendidikannya. Tapi ini pernikahan, bukan Curiculum Vitae. Masih dengan ganjalan ingin berontak, ingin protes tentang banyak hal, ingin sekali melarikan diri. Tapi bagaimana dengan Kakek di alam sana? Bukankah beliau akan kesusahan jika janji dengan sahabatnya tak terlaksana? Kenop pintu terbuka saat aku sedang frustasi-frustasinya di dalam ruang rias. Adikku datang membawa sekotak roti untukku. Memang aku yang pesan tadi. Ini rahasia, aku suka lapar jika sedang stres berat. "Mbak, tegang amat," tegurnya duduk setelah mengerahkan roti untukku. Menghela napas panjang. "Tegang apanya, dongkol iya! Bayangin lah, Dik. Tiba-tiba serombongan orang datang, meminang dengan dasar perjanjian, kamu belum mengenal dia dengan baik, tiba-tiba saja dalam waktu dua bulan kamu menikah. Dik, bahkan kita ini nggak banyak waktu untuk saling mengenal setidaknya tentang riwayat pendidikan." "Istighfar dulu, Mbak. Nanti jatuhnya mengumpat. Toh apa kata Ayah coba?" Terkadang, Zahira, Adikku ini lebih bisa berpikir tenang daripada aku. "Astaghfirullah, kata Ayah, hidup ini lebih banyak berisi tentang sesuatu yang tidak terduga baik yang bisa kita terima atau terlalu mengejutkan kita. Tetapi itulah kehebatan Allah dalam mengatur hidup hamba-Nya. Bagaimanapun, Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk kita meski terkesan mengejutkan," ucapku mengingat petuah Ayah setiap malam, menjelang lelapku dan Zahira. "Ya begitulah, jadi mau tidak mau tetap terjadi. Untuk itu lebih baik simpan tenaga itu daripada hanya mengeluh." Sekali lagi kuucap istighfar. "Kalau saja Zahira yang dijodohkan dengan Mas Rama, sudah pasti Zahira lompat kegirangan, Mbak." Aku langsung menoleh ke arah Zahira, mengangkat kedua alisku. "Kan famous, kapten Timnas U-23, tinggi, manis..." Langsung kupotong. "Masalahnya dia dingin, Dik. Fitting baju aja kaya lagi di dalam kulkas, dingin!" Keluhku mengingat beberapa Minggu yang lalu. Saat kami bertemu untuk melakukan fitting baju. Cukup lama sekitar 2 jam, tapi tak sampai 20 kata yang keluar dari mulut kami. Benar-benar irit bicara. Itupun dia langsung kembali ke Banjarmasin karena esok harinya ada laga home melawan Mitra Kukar. "Masa' iya?" Zahira bernada tak percaya. Aku mengangguk kencang. "Dingin banget, Dik. Bisa hipotermia kalau Mbak tinggal satu rumah sama dia," keluhku lagi dan lagi. Klekk... Suara pintu kamar mandi di sebelah ruang rias terbuka. Pertama, aku tidak terlalu peduli. Kedua, aku mulai sadar jika Rama sejak lima belas menit yang lalu berada di dalam kamar mandi. Dan itu sudah yang ketiga kalinya dia balik ke kamar mandi. Maklum di ruang riasnya tidak ada kamar mandi, jadi dia numpang. Ketiga, berarti Rama mendengar percakapanku dengan Zahira. "Upsss," Zahira menutup mulutnya. "Nggak ikut-ikutan," katanya ngacir keluar ruangan. Sementara itu, Rama berdiri di depan pintu kamar mandi seolah tak mendengar apapun sambil merapikan kemejanya yang hampir-hampir terlihat kusut lagi. Dia hanya memandangku sekilas lalu pergi. Penata riasku menahan tawa. "Mbak ini dijodohkan ceritanya? Kalau saya sebarkan bisa viral dalam satu menit loh ini." "Semua orang mungkin sudah tahu, Mbak." Memang sejak kemarin banyak akun-akun bola atau akun penggosip pemain bola membicarakan mengenai pernikahan kami. Terkesan mendadak katanya. Mereka saja bilang mendadak apalagi aku yang menjalaninya. Satu dua mengatakan itu karena aku yang ngebet minta dinikahin, mengatakan kalau aku memang dijodohkan, parahnya ada yang bilang aku hamil duluan. Oh Allah, aku bahkan belum sekalipun menyentuh ujung jari Rama Anan Pranata. Bagaimana caranya aku bisa hamil? "Yang kemarin kan simpang siur, Mbak. Kalau saya katakan yang sebenarnya itu sudah menjadi kepastian berita." "Ujung-ujungnya juga gosip, Mbak. Nanti pasti ada berita yang dilebih-lebihkan. Nikah sama pemain bola kaya nikah sama anak presiden. Nggak cuma kena gosip, kena isu politik juga lama-lama," keluhku sedikit kesal. Penata riasku menahan tawa lagi. Tibalah saatnya aku dibawa masuk ke dalam ruang utama yang telah dipenuhi ratusan tamu undangan. Ratusan lainnya dari keluarga Rama, ratusan lainnya dari keluargaku, rekan kerja Ayah, rekan kerja Ibu, temanku? Maaf, hanya dua sahabat yang datang ke pernikahanku.  Lainnya, undangan sangat terbatas, selain kapasitas gedung pun banyaknya keluarga dan rekan Rama menjadi pertimbangan. Dibalut kebaya putih yang menjuntai, kerudung yang tetap menutup d**a, riasan tipis, bibir dengan warna yang smooth, sampai mahkota mungil di kepalaku, semua membuatku menjadi ratu dalam semalam. Kulihat Rama duduk dengan setelan jas hitam di depan Ayah dan penghulu. Dia sama sekali tidak terlihat tegang, santai dan cuek saja menyaksikan aku datang. Mungkin, jika kami menikah karena saling mencintai, Rama pasti berdiri menyambutku dengan senyuman. Ayah tersenyum padaku, matanya berkaca-kaca, kemudian tanpa kata menjabat tangan Rama dengan mantap. "Rama Anan Pranata bin Pramono, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kedua saya, Aisyah Lailatul Nissa dengan mas kawin..." Air mataku menetas dan blank, aku tidak mendengar apapun kecuali dengung menyakitkan di telingaku. "Saya terima..." Kembali lagi hanya dengung yang berlalu di telingaku. Tak ada yang bisa kudengar dengan jelas. "Sah!" Hanya itu yang aku dengar kemudian setelah telingaku bangkit dari ketulian sesaat. Semua orang tersenyum bahagia, termasuk nenek dari Rama, Ibunda Rama, Ibuku, Adikku, Kakakku dan semua tamu undangan yang hadir. Saat melihat Kak Fatim, aku sempat membatin kenapa bukan dia yang dijodohkan dengan Rama. Setelah itu aku jawab sendiri karena dia 5 tahun lebih tua dari Rama tapi dia belum juga menikah. Sudah ada calonnya kata Ayah, hanya saja menunggu sang calon menyelesaikan tugasnya di perbatasan. Baiklah, sekarang tidak ada gunanya lagi memberontak atau berusaha melepaskan.  Allah sudah menakdirkan semacam ini, jadi aku hanya bisa menjalaninya. Gelar sebagai Nyonya Rama Anan Pranata telah aku terima dengan sah secara agama maupun negara. Rama menghadap padaku, menatapku dalam dan cukup lama. Hanya saja aku tak berani membalas tatapan itu, terlalu malu. Sebelumnya aku tidak pernah berani menatap mata laki-laki dalam waktu yang cukup lama. Kami saling bertukar cincin dengan arahan dari Ibunda Rama. Dia memasangkan cincin pada jari manisku, akupun sebaliknya. Rasanya biasa saja ketika kita bertukar cincin. Toh, cincin itu tiada makna tentang cinta, hanya simbol biasa yang intinya menyatukan kita. Lantas kita hanya kembali saling memandang sekilas, aku juga lebih memilih menunduk daripada memandang Rama yang sebelumnya memang tak pernah kupandang sedekat ini. "Ayo," bisik Ayah padaku dan Rama. Tiba-tiba saja Rama menyentuh bahuku. Aku sempat kaget dan mundur beberapa centimeter. Ini pertama kalinya laki-laki menyentuhku dengan sengaja. Mengundang gelak tawa para tamu undangan. "Jangan geser," bisik Rama mendekat padaku. Tangan kuatnya menahan bahuku sekaligus tubuhku agar tidak mundur lagi, sementara wajahnya mendekat ke arah keningku. Dan tanpa hitungan waktu, Rama mengecup keningku sekian detik. Aku cukup kaget tapi tangan Rama menahan tubuhku jadi seolah-olah aku diam saja di tempat. Padahal jantungku berdegup kencang sampai tidak bisa dikendalikan. Bahkan aku ingin berlari sebelum bibir itu benar-benar sampai di keningku. "Sekarang cium tangan suamimu, Nissa," perintah Ayah begitu lembut padaku. Kupandang Rama sekilas. Meraih tangannya pun masih takut-takut sampai butuh waktu satu menit untuk mengangkat tangan itu. Setengah menit kemudian untuk menciumnya sebagai simbol bahwa aku akan selalu menghormati, tunduk patuh pada suamiku. Acara kembali berlanjut pada resepsi pernikahan. Beberapa orang datang, termasuk dua pemain timnas U-23 yang menyempatkan hadir, Aseptian David dan Ricky Yujin. Selain itu, dikarena jadwal TC Timnas yang padat menjelang Asian Games, maka resepsi hanya dilakukan di Solo. Di kediaman Rama tak dilakukan, tidak heran jika pemain timnas datang kemari.  "Selamat, Boy. Aku yang baru saja putus dan masih sendiri," keluh Aseptian David di telinga Rama. Terdengar jelas olehku. "Selamat ya, Mbak, eh, Dik," bergeser padaku. Hanya mengangguk dan tersenyum tanpa menjabat tangannya. Aku terbiasa menjaga jarak dengan laki-laki. "Selamat, Capt," ucap Ricky Yujin yang memang datang bersama dengan Aseptian David. "Btw gue kapan ya?" Sambil bergumam dan berlalu. Yang lainnya mungkin tak sempat datang karena jadwal klub mereka tengah padat-padatnya. Sementara Aseptian David dan Ricky Yujin baru saja menyelesaikan laga bersama klub masing-masing dan pulang sebelum kembali memulai TC Timnas. Sesekali kulirik Rama yang kini sudah sah menyentuhku.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD