Part 3

1126 Words
Malam semakin larut dan langit Solo semakin indah, satu bulan dan ribuan bintang. Sudah pukul 19.20 ketika aku memutuskan segera kembali ke rumah bersama dengan Rama. Tunggu, aku sudah mendapat teguran untuk memanggilnya Mas Rama oleh Zahira, iya, Adikku itu. Jika boleh kuhitung berapa kalimat yang sudah kami lontarkan ketika kami hanya berdua, tidak lebih dari 20 kalimat dalam satu hari ini. Memang Mas Rama ini dingin sekali atau memang dia tidak nyaman menikah denganku. Jujur aku juga tidak nyaman, tetapi semua telah menjadi takdir. "Pak, berhenti di resto terdekat ya?" pinta Mas Rama pada Pak Tarjo, sopir Ayah sejak tiga tahun terakhir. "Nggeh, Mas," jawab Pak Tarjo sambil menunduk. "Emmm, Mas nggak mau makan di rumah saja?" tanyaku sejujurnya menawarkan jasaku sebagai istri. Maksudnya, membuatkan masakan untuknya. Mas Rama menoleh padaku. "Enggak," jawabnya sesingkat itu setelah melihatku. Aku hanya tersenyum dan sedikit kecewa. Sudah baik-baik menawarkan jasa meski aku samarkan tapi dia menolak dengan singkat. Astaghfirullah, mungkin Mas Rama juga sama canggungnya jadi dia hanya bisa menjawab dengan itu. Mencoba husnudzon saja dengan suami. Kami memang belum makan lagi sejak acara di siang menjelaskan sore tadi. Yang kami makan pun hanya satu suap ketika sesi foto. Wajar jika malam ini kami kelaparan. Mas Rama keluar dari mobil lebih dulu sedetik setelah mobil kami berhenti di depan resto. Dia tak menungguku apalagi membukakan pintu seperti pasangan romantis lainnya. Dia justru berjalan dan duduk lebih dulu. Aku menghela napas untuk kemudian menyusul Mas Rama yang sudah memesan. "Aku pesankan sama, ada alergi?" tanya Mas Rama bahkan saat aku belum sempat duduk di depannya. Menggeleng. Dia bahkan tidak mengatakan padaku apa menu yang dia pesan. Entahlah, seperti ada yang menyayat dadaku tapi tidak bisa kumengerti mengapa bisa begitu. Dengan sikap Mas Rama semacam ini, terkesan dingin dan tidak peduli. Ada sesuatu yang terkesan menyakitkan tapi aku sendiri juga tidak ada perasaan apapun lantas mengapa kebingungan. Intinya semacam itu, tidak bisa kujelaskan. Saat kami menunggu pesananpun, Mas Rama terlalu sibuk dengan ponselnya. Sesekali dia tertawa kecil tanpa alasan, maksudku mungkin saja yang di dalam ponsel membuatnya tertawa. Sementara aku, hanya bisa membuka tutup menu dan sesekali menatap Mas Rama. Banyak yang mengirim pesan selamat padaku, tapi kupikir untuk tidak membalasnya sekarang. Takut Mas Rama mengajakku bicara sewaktu-waktu tetapi aku justru tengah fokus pada ponselku. Namun kenyataanya, sampai pesanan datang, Mas Rama tidak sekalipun mengajakku bicara. Memulai makanpun tanpa bersuara. "Besok masuk?" tanya Mas Rama di tengah santap malam ini. Aku mengangkat kepalaku. "Enggak, Mas. Baru juga mulai libur. Em, iya 3 hari lagi aku berangkat KKN." "Iya, itu kita bicarakan saja di rumah," balasnya lalu kembali menikmati makan malamnya, meskipun sangat terlambat untuk di bilang makan malam. Mengangguk dan tersenyum saja. Dua puluh menit cukup untuk makan di salah satu resto sekitar jalan Veteran, Solo. Kini kami tengah dalam perjalanan pulang, tinggal berapa meter saja. Sampai di rumah pun Mas Rama tak mengatakan sesuatu, hanya masuk ke dalam kamar, bersih-bersih lalu duduk bermain ponselnya lagi. Ingin sekali rasanya bertanya apa yang sedang dia mainkan, tapi tidak berani. Takut dianya marah. "KKN di mana?" tanya Mas Rama ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi. Tak langsung menjawab, aku mengambil posisi duduk dulu di sampingnya. "Di Karanganyar, Mas. Tawangmangu," jawabku sambil terus tersenyum walaupun sedikit kecewa karena Mas Rama tetap fokus pada ponselnya. Dijodohkan, tanpa perasaan apapun, tanpa mengenal lebih dalam tapi bagaimanapun harus tetap menghormati Mas Rama sebagaimana mestinya. Takut dosa kalau mau berbuat semena-mena. "Berapa bulan?" "Empat puluh hari," jawabku. Dia memandangku sekilas tapi aku justru langsung menunduk. "Itu sampai Asian Games sudah mulai berarti, ya?" Mengangguk. "Ya sudah, fokus saja sama KKNnya," ucapnya, tiba-tiba berdiri dan melepas baju. Mataku terbelalak sempurna, jantungku berdegup semakin kencang. Dan tanganku sedetik kemudian refleks menutup kedua mataku. "Cuma buka baju doang, sudah halal juga kalau mau dilihat," katanya membuatku malu. Mas Rama langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Hanya dengan celana pendek dan tanpa baju. Solo memang sedang panas-panasnya, malam pun terasa gerah. Tapi kan AC kamarku masih berfungsi, mengapa harus tidur dalam keadaan begini? "Tidur, Nissa. Besok aku mau jalan-jalan sebelum kembali ke Banjarmasin," serunya sambil menenggelamkan wajah ke dalam bantal. Hanya mengangguk lalu berbaring di sampingnya, dengan jarak sekitar setengah meter dan dengan kerudung yang masih melekat sempurna. Aku masih malu mau melepaskan mahkotaku. Toh suamiku juga tidak meminta apapun, dia hanya memintaku tidur. Sejujurnya gerah sekali, tapi apa boleh dikata, keberanianku tak cukup kuat. Pukul 23.01 WIB saat Mas Rama tengah pulas-pulasnya. Aku justru masih terjaga memandangi wajah lelah suamiku. Rasanya seperti mimpi, kemarin masih tersenyum bebas dengan teman-teman, sekarang justru sudah punya kewajiban mengurus suami. Karena tak kunjung bisa tidur, kuputuskan memainkan ponselku. Jam-jam segini memang waktu yang tepat untuk membaca berita terkini seputar sepakbola baik di line today maupun laman sepakbola lainnya. Oh tunggu, ** sekarang lebih ramai dari laman-laman khusus sepakbola. Satu dua akun sepakbola di ** menceritakan tentang persiapan Timnas U-23 menjelang Asian Games, beberapa tentang Timnas U-19 yang akhirnya gagal melaju ke final, beberapa lagi tentang bursa transfer putaran kedua. Yang lebih menarik dari itu, siaran langsung Mas Rama di ** masih terpampang. Kupandang sekilas Mas Rama yang masih terlelap sesaat sebelum kubuka siaran langsungnya. Menit pertama, menggambarkan persiapan pernikahan kami, mulai dari gedung hingga gaun pengantinku. Menit berikutnya sekilas memperlihatkan aku yang sudah rapi dengan riasan make up sederhana. Menit selanjutnya, Mas Rama yang tengah tersenyum dan mengatakan, "Mohon doanya". Aku yakin sekali bukan dia yang memegang ponsel tapi orang lain. Dalam video itu, seseorang menyapa Mas Rama dan mengatakan, "Calon istrimu cantik". Tapi tak nampak batang hidung yang berbicara, yang nampak masih wajah Mas Rama. Masih dalam siaran langsung, Mas Rama mengangkat kepalanya. Iya, dia baru saja menunduk merapikan dasinya. "Iya, makasih. Cantik banget kok," diiringi tawanya. Tanpa sadar aku tersenyum. Rasanya menyenangkan dipuji seorang laki-laki, terlebih suami sendiri. "Cie, cantik nih," goda yang memegang ponsel. "Emang hari ini udah lihat?" "Udah tadi. Gila grogi gue sampai harus bolak-balik kamar mandi," bisik Mas Rama tapi tetap masuk juga itu suara ke dalam siaran langsung. Sekali lagi aku tersenyum. "Hahaha cemen lo, bos! Alah paling lihat Nissa yang cantik itu juga ilang groginya." Lagi-lagi si pemegang kamera. "Malah tambah parah," sahut Mas Rama cepat. Aku kembali melihat Mas Rama di sampingku. Tersenyum singkat. Entah kenapa aku merasa tengah dilambungkan tinggi. Kemudian siaran langsung berganti latar di dekat meja ijab qabul. Di sana cukup lama sampai Mas Rama datang, Ayah datang, hingga giliranku yang datang. "Main ponselnya besok lagi," kata Mas Rama merebut ponselku dan di letakkan di atas kepalanya. Dia sudah membuka matanya. Mungkin terganggu suara yang volumenya memang cukup keras. "Maaf, Mas," ucapku merasa bersalah. "Tidurlah!" Hanya itu yang dia ucapkan dan kembali terlelap. Berselang setengah jam, dengan hanya memandangi Mas Rama yang terlelap, aku mengikuti jejaknya, pergi ke alam mimpi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD