Bab 2

1317 Words
Bab 2 Perkiraan Ganiya meleset. Nyatanya berita tentangnya tidak kunjung surut. Walaupun sudah satu minggu berlalu, malah semakin ramai gara-gara klarifikasi Retha—selebgram yang sedang diselingkuhi sang kekasih. Perempuan itu memang tidak menyeret namanya, tapi dengan mengatakan bahwa hubungan kandas karena perselingkuhan menjadikan dia sasaran empuk hujatan penggemar Retha. Bahkan seminggu ini, dia sudah mengunci kolom komentar media sosialnya. Tidak cukup sampai di situ, banyak proyek kerjaan yang akhirnya diputuskan sepihak karena nama baiknya sudah tercemar. "Retha, kurang ajar!" umpat Ganiya untuk kesekian kali. Sampai-sampai mata wanita itu menatap tajam layar ponsel, seolah dengan melakukan itu berita buruk tentang dirinya bisa lenyap begitu saja. Membanting punggung pada tempat tidur, Ganiya berguling tidak tentu arah layaknya cacing kepanasan. Seharusnya dia menuruti saran Kayla agar tidak membuka media sosial sementara waktu, tapi rasa penasaran membuatnya nekat membuka berbagai portal berita demi mencari perkembangan terbaru tentang kontroversi ini dan bisa ditebak, kini perempuan itu stres sendiri. "Ganiya! Ayo makan!" Berdecap kesal, perempuan itu lantas bangkit dan berjalan ogah-ogahan menuju pintu seraya merapikan rambutnya. Ketika pintu terbuka dia bisa melihat sang mama yang menatapnya tajam. Wanita berkerudung biru itu bahkan sudah berkacak pinggang, bersiap memarahinya. "Ditunda dulu marahnya, Ma. Katanya mau makan." Ganiya menutup pintu lalu berjalan terlebih dulu. Dia sadar perbuatannya tidak sopan, tapi memaksakan diri mendengar omelan sang mama sungguh tidak baik untuk kesehatan mentalnya. Apalagi kini dia sedang diselimuti rasa kesal berlebih. "Kamu itu, ya! Kerjaannya rebahan terus, mumpung lagi pulang ke rumah seharusnya bantu mama kek, belajar masak, ikut rawat kebun. Contoh Gaitsa, dong!" Ganiya memejamkan mata. Menarik napas berkali-kali dia berusaha untuk sabar, bagaimanapun perempuan di belakang adalah ibunya. Lagipula kenapa juga harus bawa nama Gaitsa terus? Dia—Ganiya, bukan Gaitsa! "Duduk sini, Niya." Ganiya menunduk, lalu duduk di samping sang papa. Laki-laki yang selalu menghargai keputusannya. Ya, meskipun dulu laki-laki itu bersikap seperti mamanya yang suka membandingkan dia dan Gaitsa, tapi sejak beberapa tahun terakhir papanya tidak pernah lagi melakukan itu. Sepertinya efek dia yang memutuskan untuk keluar rumah, membuat papanya merasa bersalah. "Makan yang banyak!" "Ngga ah, entar gendut." Ganiya mengambil nasi setengah centong serta sayur dan juga ayam goreng. "Gendut apanya? Kamu kurus gitu." "Ya mana mau Ganiya gendut, Pa. Dia pasti takut kalau di foto hasilnya ngga bagus." Memasukkan satu suapan dalam mulut, Ganiya lagi-lagi berusaha tidak acuh pada ucapan mamanya. "Setelah makan ada hal penting yang mau kami sampaikan sama kamu." Ganiya mendongak, menatap wanita paruh baya di depannya. "Ada apa?" "Selesaikan dulu makanmu!" "Iya, iya." Ganiya cemberut, sebelum kembali makan tatapannya tidak sengaja tertuju pada perempuan yang berada di samping mamanya, Gaitsa. Seperti biasa suasana hatinya langsung berubah buruk, efek sejak kecil selalu dibandingkan membuat dia merasa kesal dengan adiknya sendiri. Ganiya menatap satu per satu orang-orang yang berada di ruang tengah, dari raut wajah keluarganya dia bisa merasa jika pembicaraan kali ini mengarah pada hal yang serius. Lantas tatapannya tertuju pada sang papa yang beberapa kali dia dapati menghela napas panjang. Tidak tahan dengan situasi seperti ini, akhirnya Ganiya bersuara, "Ada apa sih?" Jujur saja dalam hati Ganiya sudah menebak topik apa yang akan diangkat, tapi dia berharap semoga pikirannya salah. "Ada laki-laki yang melamar Gaitsa." Ganiya diam. Matanya masih menatap lurus sang papa yang bertukar pandang dengan mamanya dan Gaitsa. Dia sama sekali tidak terkejut dengan berita yang baru saja didengarnya, karena adiknya memang beberapa kali mendapat lamaran. "Dan kali ini Gaitsa tertarik pada laki-laki itu. Mereka sudah melakukan perkenalan selama beberapa waktu." "Terus apa hubungannya denganku? Kalau Gaitsa mau menikah, ya silakan saja. Dan aku masih tetap, belum mau menikah saat ini." "Ganiya kamu jangan egois! Eyang nggak akan ngasih izin Gaitsa melangkahi kamu." "Mama, udah. Kalau Mbak Niya ngga mau aku bisa menolak lamaran itu." Ganiya berusaha tidak berdecak mendengar pembelaan adiknya. Mau menolak katanya? 'Dasar pembohong!' Dia saja bisa melihat kesedihan di wajah Gaitsa, lalu sekarang sok-sokan mau menolak? "Mau ke mana kamu?" tanya Hesti pada anak sulungnya yang tiba-tiba berdiri. "Cari suami!" Tanpa menunggu jawaban keluarganya, Ganiya bergegas keluar rumah. Sebenarnya ketika pulang kemarin dia berharap orang-orang di rumah itu menanyakan keadaannya, apakah dia baik-baik saja? Apakah dia bisa mengatasi masalahnya? Apakah dia butuh bantuan? Oh, nyatanya harapan itu tidak terwujud sama sekali, yang ada dia tambah pusing karena dibebani masalah lagi. Pernikahan. "Ganiya!" Menghentikan langkah, perempuan yang baru saja dipanggil namanya itu memutar tumit lalu menatap sedih laki-laki di depannya. "Maafkan Mama, ya." Ganiya mengalihkan pandangan. "Aku belum mau menikah, Pa!" "Nanti Papa bakal bujuk Eyang agar Gaitsa bisa menikah dulu. Kamu jangan marah, oke?" Aji menarik anak sulungnya dalam pelukan. "Maafkan Mama. Kamu tau sendiri 'kan kalau dulu Gaitsa sakit-sakitan, karena itu Mama selalu merasa bersalah padanya." "Tapi ini ngga adil, Pa! Mama selalu saja mengutamakan Gaitsa." "Maafkan Papa yang belum bisa mengarahkan Mama." Membalas pelukan sang papa, Ganiya mengangguk sebagai jawaban. Ya, walaupun dia masih merasa sakit hati atas semua yang dilakukan Hesti padanya. "Kamu mau ke mana?" tanya Aji setelah sang putri melepaskan pelukan mereka. "Cari angin." “Ngapain dicari di sini juga ada." Ganiya mencebik, kesal. "Ya udah, aku keluar dulu." "Hati-hati. Papa doakan ketemu jodohmu." "Pa!" protes Ganiya. "Lah? Kenapa? Bukankah kamu sendiri yang bilang mau cari suami. Hati-hati ucapan itu adalah doa." "Papa nyebelin!" Berbalik, Ganiya memilih segera pergi. Bisa tambah pusing dia lama-lama di sini. Taman adalah satu-satunya pilihan Ganiya untuk menenangkan diri. Tempat yang masih berada di kompleks perumahannya, memang terbilang memiliki ruang yang luas. Ada lapangan basket dan juga playground. Jangan lupakan juga rumput hijau yang tertata apik serta berbagai macam bunga. Warga di sini memang termasuk kompak dalam hal penataan ruang publik. Mengingat saat ini masih siang bolong di mana cuaca sedang lumayan panas, Ganiya memilih tempat duduk yang menghadap lapangan. Suasana sepi sangat cocok dengan dirinya, yang memang perlu ruang berpikir tentang bagaimana menyelesaikan masalah saat ini. Lagi-lagi ketenangannya terganggu ketika dari arah belakang dia mendengar percakapan dari orang yang dikenalnya. Apalagi ini? Bisakah dia menikmati suasana tenang sekali saja? "Eh, ada Mbak temannya Tayo." Jika saja laki-laki yang berdiri di samping kursinya bukan anak kecil, bisa dipastikan Ganiya akan menjewer telinganya. Astaga, dasar tidak sopan! "Barga, ngga boleh bilang gitu!" Pandangan Ganiya beralih pada laki-laki dewasa yang baru saja menegur bocah itu, dan seketika saja kekesalannya kembali berada di ubun-ubun. Memangnya tidak ada tempat lain yang bisa mereka datangi? Kenapa harus ke taman ini sih? Bikin kesal saja! "Kan, kata Mas Abi, nama Mbak ini Gani. Sama kayak teman Tayo 'kan?" "Iya, tapi tetap nggak boleh manggil gitu. Lihat muka mbaknya udah kesel gitu." "Gue ngga kesel, ya!" "Ngga boleh bentak, Abang!" Ganiya berdecak ketika kini giliran seorang bocah perempuan yang membuatnya dongkol. Dasar kakak beradik sama-sama menyebalkan! "Sudah kalian main bola sana, Abang tunggu sini." Bara memberikan bola pada Barga, bermaksud mencegah pertengkaran yang mungkin saja terjadi. Sangat tidak lucu jika nantinya seorang perempuan dewasa bertengkar dengan anak kecil. "Mbak Gani, jangan dekat sama Abang!" Ganiya melongo, matanya mengerjap-ngerjap seolah tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Jadi dia diancam? Oleh seorang bocah? Oh, ini sungguh menyebalkan. Lagipula siapa juga yang mau dekat-dekat dengan laki-laki macam Bara? "Maafkan mereka, ya. Biasa itu ulah Abi." Tatapan permusuhan antara Ganiya dan Binar berakhir, karena perempuan yang terkenal sebagai selebgram itu menoleh ke samping. "Gue kesel!" "Aku tau, makanya aku minta maaf." Ganiya langsung menatap ke arah lapangan sewaktu Bara meminta maaf seraya tersenyum tipis. Perempuan itu takut jika jiwa merah jambunya keluar lagi. Tidak! Dia tidak mau menyukai Bara lagi! 'Bikin sakit hati!' Eh, tapi pernyataan Kayla mendadak muncul di otak Ganiya. Tentang Bara yang bisa menolongnya keluar dari masalah ini. Menggeleng pelan, perempuan itu membuang gagasan tidak masuk akal yang seenaknya mengganggu kerja otaknya. Baru sekian detik pikiran itu lenyap, kini seakan ada yang membisiki Ganiya jika tidak ada salahnya meminta bantuan Bara. Lalu tanpa disadari, sebuah pertanyaan muncul dari mulutnya. Sebuah pertanyaan yang membuat dia ingin menenggelamkan diri ke dalam tanah saat kesadarannya kembali. "Bar, nikah, yuk!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD