Kembali ke Ibu Kota

1644 Words
Hari yang di janjikan telah tiba, saatnya aku berpamitan pada para penduduk Desa Nimiyan. Hanya di temani oleh Hathor, aku bertekad untuk sekali lagi pergi ke Ibu Kota Irishe, kali ini bukan untuk berdagang. Tidak mudah menemukan cara untuk bernegosiasi, atau tepatnya bertemu dengan Raja. Tapi aku hanya berharap pada satu kebetulan itu, jika saja aku dapat menemukannya kembali, maka aku mungkin bisa bertemu dengan raja, orang itu... Dia adalah perantara yang akan menghubungkan kami. “Kepala Desa, Apa itu tidak gatal?” “Apa? Oh... Maksudmu ini?” jawabku sambil meraba kumis palsu yang menempel di bawah hidungku. “Tidak juga, apa kau ingin mencobanya?” sambungku. “Tidak, tapi ini sungguh mengejutkan, anda bahkan mampu membuat kumis yang tampak asli seperti itu. Anda benar-benar tampak seperti orang yang sangat berbeda. Terlebih dengan benda yang anda sebut kaca mata itu,” kata Hathor. Ya, bukan hanya dirinya yang terkejut dengan benda-benda yang kugunakan untuk menyamarkan penampilanku ini. Bahkan seluruh penduduk juga sempat terkejut dan melihatku sebagai orang lain. Tapi hal ini juga mengejutkanku, aku menemukan fakta bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya penyamaran kecuali sihir untuk mengubah diri. Benda-benda seperti kumis palsu, janggut palsu, rambut palsu, bahkan kacamata sama sekali belum pernah di temukan. Lalu saat orang mulai mengalami buram pada matanya, baik itu mengalami plus atau minus, bagaimana mereka akan mengatasinya? Ah... Aku mulai memikirkan, mungkin kacamata akan menjadi sebuah bisnis yang bagus juga nantinya. “Kepala Desa, jika kau mulai menggunakan sihir perubahan dirimu itu sekarang. Bukankah setelah kau sampai di Ibu Kota, sihirmu itu akan segera hilang karena kehabisan Mana?” “Apa yang kau bicarakan, aku tidak akan berubah kembali ke diriku yang sebenarnya. Setidaknya tidak sampai aku melepas benda di wajahku. Itu artinya aku bebas menggunakannya selama yang aku mau, tanpa menggunakan Mana pula.” “Bagaimana mungkin sihir semacam itu ada?” “Hathor, sejak awal kau sudah salah paham. Apa yang aku gunakan ini bukanlah sihir, tapi ilmu pengetahuan, dan kemajuan peradaban,” jawabku sambil tersenyum. “Kau harus ingat ini, karena aku sudah menyamarkan penampilanku, maka aku juga harus merubah namaku agar penyamarannya semakin sempurna. Mulai saat ini kau harus membiasakan diri untuk memanggilku Bronk. Kita adalah seorang pengembara yang datang untuk singgah sementara di Ibu Kota.” “Kepala Desa, ah! Maksud saya Bronk. Penyamaran anda mungkin sudah sempurna untuk mengelabui mereka, tapi bagaimana dengan saya? Saya tidak memakai apapun sebagai bentuk penyamaran, jika mereka mengenali saya, mungkin semuanya akan kacau,” kata Hathor. Tidak! Tidak! Tidak! Justru kau tidak perlu menambahkan apapun lagi bukan?! Hathor yang saat ini berjalan di sampingku benar-benar Hathor yang berbeda, sejak dia menjadi penduduk Desa Nimiyan, dia sudah jauh berubah, terutama penampilannya. Hathor yang baru aku temui itu seperti seorang Troll tua yang menyeramkan. Rambutnya panjang menutupi wajah, dengan mata merah yang melotot. Kumis fan janggutnya begitu lebat hingga mulutnya samar-samar terlihat. Dengan badan sebesar dan sekekar itu, aku bahkan sempat berpikir bahwa orang ini sebenarnya adalah seorang Viking. Tapi Hathor yang sekarang, dia memotong rapi rambutnya, bahkan kumis dan janggutnya sekarang terlihat klimis, matanya terlihat lebih cerah, dan berkat sabun ciptaanku itu, aku berhasil mengubah orang gua ini menjadi lebih berwibawa. Dia seperti seorang ksatria kerajaan atau seorang bangsawan. “Semuanya tidak akan kacau, aku memilihmu ikut menemaniku bukan karena tidak memiliki alasan, aku sudah memperhitungkan semuanya, dan kau adalah orang yang paling sempurna.” “Te-terima kasih, Bronk!” “Sekarang serahkan tombakmu!” ujarku sambil mengulurkan tanganku di hadapannya. Wajah Hathor nampak bingung, dia memegang erat-erat tombak yang pernah aku berikan padanya, dia terlihat enggan melepaskan benda itu. Aku mengerti perasaan sayangnya pada tombak itu, dia selalu berlatih dengannya, jika dia istirahat dia akan mengelap dan juga mengikir agar benda itu tetap tajam saat di gunakan. Padahal itu hanyalah sebuah tombak yang ku buat di saat masa-masa terhimpit. Jika di bandingkan dengan senjata lain, mungkin itu hanya senjata biasa. Tapi Hathor memperlakukannya sangat baik dan mengistimewakan benda itu. Aku berjanji saat aku sudah kuat nanti, aku akan memberikan senjata terbaik yang bahkan orang di dunia ini tidak akan mampu membuatnya, aku bersumpah demi nama Crafter. Peerles Crafter... Pengrajin yang tak terkalahkan. Hathor akhirnya mau memberikan tombaknya, lalu aku memasukkan benda itu ke dalam Inventory ku, dan benda itu lenyap secara ajaib. “Tombakku?!!” seru Hathor yang tampak sedih melihat benda itu lenyap. Aku baru sadar, kemampuan Inventory ku ini hanya segelintir orang di desa yang mengetahuinya. Aku belum pernah memperlihatkannya pada Hathor, aku harus bertanggung jawab untuk membuatnya tenang setelah hampir membuatnya menangis. Ah... Dia benar-benar menyayangi benda itu. Tapi aku senang mengetahuinya. “Tombakmu baik-baik saja, aku menyimpannya ke dalam sebuah tas sihir yang mampu menyimpan banyak barang. Aku bahkan menyimpan banyak kentang goreng di Tas Sihir itu, Lho.” “Kalau begitu bagaimana dengan satu bungkus untuk menemani kita selama perjalanan?” dengan sangat bersemangat Hathor mengatakannya. Orang ini terlalu cepat mengubah suasana hatinya, tapi ya sudahlah. Satu bungkus kentang goreng untuk menemani perjalanan panjang ini, kurasa itu sama sekali tidak buruk. *** Akhirnya, Gerbang Besar ini lagi. Gerbang yang terakhir kali aku tinggalkan dengan berlari terbirit-b***t, akhirnya aku kembali menghadap kepadanya. “Hmm... Wajah yang asing, pengunjung baru yang datang ke kota, kah? Bawa mereka berdua kemari!” Suara yang tidak asing itu, kalau tidak salah itu adalah Tuan Vest, ksatria yang bertugas untuk menjaga gerbang. Padahal terakhir kali bertemu dia pernah bilang kalau akan di pindah tugaskan, kenapa orang itu masih saja mabuk dan bermalas-malasan di tempat ini? “Sebutkan nama kalian, dari mana kalian berasal, dan ada alasan apa kalian kemari,” sambil mengangkat kakinya ke atas meja orang yang sok memegang kuasa itu mengatakannya. “Nama saya Bronk, dan ini adalah sodaraku Hathor, kami berdua adalah seorang pengembara, dan kami ke Ibu Kota mampir untuk mengisi persediaan dan singgah sementara.” “Perkenalkan Tuan, saya yang bernama Hathor,” imbuh Hathor dengan sangat meyakinkan. Sejujurnya dia terlihat sangat realistis saat sedang berakting. “Jadi kalian berdua adalah seorang pengembara, ya. Baru pertama kali datang ke Kota Irishe, kah?” “Iya, Tuan. Ini kali pertama kami mendatangi kota ini.” “Apa yang ada di balik jubah kalian? Apa kalian membawa senjata di baliknya? Tolong periksa ke dua orang ini!” Dengan perintah Tuan Vest penjaga lainnya bergerak dan mulai menggeledah kami. Pandangan Tuan Vest mengarah pada Hathor, sudah pasti kan ya. Sebagai orang yang masih dalam ras manusia, Hathor memiliki tubuh yang tidak wajar, dia begitu tinggi dan besar, bagaimana orang bisa mengabaikan orang seperti dia. “Kau yakin hanya seorang Pengembara? Tubuhmu sangat berotot dan kau juga tinggi, bahkan jika kau bilang dirimu adalah seorang ksatria maka orang lain akan percaya,” ujar Tuan Vest pada Hathor. “Itu karena saya bekerja sebagai seorang tukang, pekerjaan berat setiap harinya membuat tubuh saya terlatih tanpa sadar, bahkan saya cukup terkejut dapat tumbuh seperti ini. Jika saya harus menjadi Ksatria, saya ragu saya akan cocok dengan pekerjaan itu. Selain memegang balok kayu, saya tidak pernah memegang benda lain baik itu pedang atau pun perisai, haha...” Orang ini, bagaimana dia bisa berlagak se natural itu? Bahkan dia sama sekali tidak menunjukkan adanya getaran keraguan pada suaranya. Aku takjub! Sungguh! “Lalu, saudaramu ini, kenapa dia terlihat lebih kecil dan kurus? Apa dia bukan seorang tukang sama sepertimu?” “Tidak, sama seperti adik saya, saya juga seorang tukang, bahkan keluarga kami di kenal sebagai keluarga tukang turun-temurun. Hanya saja, karena aku tidak memiliki tubuh yang terlalu kuat, aku mengurus di bagian menggambar bangunan dan menghitung bahan.” “Apa itu sebabnya kau menggunakan benda aneh di matamu?” “Ah! Maksud anda ini? Ini adalah kacamata, benda ini membantu saya saat bekerja, itu semua agar saya dapat melihat tulisan dengan lebih jelas. Dibandingkan dengan balok kayu, berurusan dengan kertas dan juga tinta adalah pekerjaan saya.” Tuan Vest ini memiliki terlalu banyak pertanyaan, mungkin dia mengetes kami untuk tau apakah kami orang yang mencurigakan atau tidak. Tapi aku yakin semuanya akan lancar, bahkan aku sendiri tertipu dengan akting Hathor yang sangat sempurna. “Yang kau pegang itu... Apa kau tidak keberatan memperlihatkan isi kantongmu itu? Aku khawatir kau menyimpan benda tajam atau semacamnya di dalam benda itu,” dengan tatapan curiga, Tuan Vest mengatakannya. Kena kau, jika aku tidak tau kebiasaanmu saat mabuk, dan jika aku tidak kemari bersama Tuan Bern beberapa minggu lalu, mungkin aku tidak akan pernah menyiapkan benda ini. “Sebuah bambu? Tapi seperti kau menyimpan air di dalamnya,” ujar Tuan Vest. Orang itu kemudian mengendus bau bambu yang ia pegang. Di dalamnya aku sudah menyimpan sebuah Wine yang paling lezat, bahkan itu lebih lezat daripada yang pernah ia rasakan seumur hidupnya. Aku berani menjaminnya, karena benda itu... Aku sendiri yang membuatnya. Tentu saja dengan sangat sempurna. “Baunya sangat harum, bahkan aku tau... Bau semacam ini, bukankah ini adalah sebuah bir?!” “Ah! Benar, itu bir dari kampung halaman kami. Jika anda berkenan, anda bisa mencicipinya. Jangan khawatir apakah benda itu beracun atau tidak. Kami tidak ada niat meracuni orang, setelah anda meminumnya, mungkin anda bisa mengerti orang seperti apa kami sebenarnya,” ujarku. “Baunya sangat meyakinkan, bahkan aku ragu jika ini adalah racun, tidak mungkin akan sewangi ini.” Pria yang sangat suka mabuk itu meminumnya, sudah pasti dia tidak akan melepaskan sebongkah bambu berisi Wine itu. Dan akhirnya... Dia akan membiarkan kami pergi, tapi... “Bir ini adalah bir ternikmat yang pernah kurasakan seumur hidupku. Aku akan membiarkan kalian masuk, tapi apakah kalian bersedia meninggalkan bir ini bersamaku?” Dengan wajahnya yang memohon layaknya orang bod0h, sesuai dengan apa yang aku perkirakan, dia akan membiarkan kami pergi, tapi sebagai gantinya Wine itu sebagai biaya masuknya. Akhirnya... Kesempatan kami untuk menginjakkan kaki lagi di Kota Irishe sudah berada di tangan kami, selanjutnya hanya akan menjadi beberapa langkah saja, sampai kami berhasil memasukinya. Dan bertemu lagi dengan orang itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD