Pria aneh berambut merah.

1904 Words
Ainsley tersadar setelah teriakannya yang keras saat suara bising di keramaian kota sudah menjadi hal yang normal untuknya. Dia menatap sekitarnya dengan tubuh gemetar ketakutan. Seluruh tubuhnya bahkan telah mengeluarkan keringat dingin dan satu-satunya hal bukti bahwa kejadian beberapa saat lalu yang dia alami bukankah mimpi adalah tas ransel di punggungnya yang telah tiada. Terhuyung, dia terduduk lemas di tanah dan membiarkan semua orang yang lewat menatapnya dengan aneh. Dia tak peduli karena mungkin saja dia hampir mati. Satu-satunya hal yang bisa dia percayai adalah jam di pergelangan tangannya berputar ke belakang di mana waktu menunjukkan saat dia baru saja berpisah dengan Zero dan Harmony. Dia gugup, menatap sekitarnya dan dia semakin merasa aneh saat dia menyadari dia berada di halte bus tempat terakhir dia bertemu dengan Zero dan Harmony. Bukan di tempat kereta bawah tanah tapi di halte bus yang beberapa waktu lalu tampak sangat sepi. "Ini, apa yang terjadi?" Kebingungan, di berdiri dan berjalan tertatih saat merasakan seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga. Dia duduk di bangku halte dan termenung untuk waktu yang lama. Serangkaian kejadian yang telah dia alami terulang dan dia berkali kali tak percaya bahwa di kembali pada waktu dan tempat di mana semua kejadian itu haruslah tak terjadi. "Vampire penghisap darah, tapi juga memakan daging mentah?" Ainsley menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak, tidak, itu tidak mungkin. Ini bukan negeri dongeng, mereka hanya mitos. Ya, mereka hanya mitos." Namun kuku-kuku runcing yang merobek tas ranselnya kembali terbayang. "Apakah mereka benar-benar hanya syuting adegan sebuah film. Tapi kenapa terasa begitu nyata. Tidak, itu juga mustahil. Aku bahkan bisa berada di tempat awal semula. Artinya kejadian beberapa saat lalu hanyalah ilusi. Ya benar, mungkin seperti itu tapi bagaimana tas ranselku? Dan daging untuk Dong Dong ...," Itu semua terlalu nyata untuk di katakan sebuah ilusi, tapi bagaimana menjelaskan semua kejadian ini? Ainsley semakin ketakutan dan dia berlari, berjalan menuju keramaian. Mendekati telepon umum dan menatap kiri lalu kanan. Dia hanya harus memastikan tempatnya berdiri adalah tempat yang benar agar semua hal buruk tak terjadi lagi padanya. "Halo," sapa suara di seberang sana saat telepon sudah tersambung. Ainsley seakan tersadar meski masih ketakutan. "Harmony, ini aku, Ainsley. Apakah kau baik-baik saja? Ada di mana kau sekarang? Apakah kau membawa kunci restoran bersamamu? Apakah kau dan Zero juga-" "Ainsley, hei Ainsley, ada apa? Apakah sesuatu terjadi sehari ini? Jedakan pertanyaanmu karena aku akan menjawabnya satu-satu." Ainsley menghela napas panjang dan melepaskannya perlahan. "Kunci restoran," "Bukankah itu bersamamu? Kau tahu, aku libur hari ini, jadi jelas saja bahwa aku tak membawanya." Ainsley mematung. Detak jantungnya mulai tak beraturan. "Libur? Kau libur?" Tanyanya seakan tak percaya dan ingin memastikan. "Hmn, aku dan Zero libur hari ini. Hari ini bukankah jadwalmu masuk bersama Zidan, Haira dan Hyemi?" "O-oh, ta-tapi kita baru berpisah beberapa waktu lalu." "Kita? Ainsley apakah kau mengigau? Aku tak pernah bertemu denganmu sehari ini. Aku pergi liburan dengan Zero hari ini. Apakah telah terjadi sesuatu?" Ainsley kian bingung. Dia mencoba mempercayai pendengarannya dan dia sadar bahwa sesuatu yang aneh telah terjadi padanya hari ini. Karena itu, dia tak berniat menjelaskan melainkan menutupi semuanya. "Ti-tidak. Aku baik-baik saja. Kalau begitu aku akan menutup sambungan teleponnya. Maaf telah mengganggumu di tengah malam." Ainsley menutup telepon itu tanpa menunggu jawaban Harmony. Dia keluar dari ruangan telepon umum dan kembali duduk di bangku halte. Tangannya saling bertautan satu sama lain dengan kerutan kening yang dalam. Seluruh pikirannya tersedot dalam kebingungan seperti dia berada dalam labirin lebar dengan pola yang rumit. "Sebenarnya apa yang telah terjadi?" Gumamnya tak mengerti. "Kenapa Harmony lupa tidak, dia berkilah seakan hari ini kami tak bertemu. Ataukah Harmony benar, bahwa aku mengigau atau berhalusinasi? Tapi kejadian beberapa saat lalu sangat nyata. Aku bahkan masih ketakutan karenanya." Semakin dia menggali, semakin dia tak menemui jalan keluar. Dia memutuskan berdiri lalu pergi setelah memesan sebuah panggilan Taxi dan mobil itu saat kini tengah terparkir di depannya. "Tak apa, malam ini, aku harus segera kembali," Memilih pulang dengan sebuah Taxi, Ainsley berharap tak memiliki kejadian aneh lagi malam ini. Namun siapa yang menyangka bahwa mobil Taxi tersebut harus rusak di tengah jalan dan dia harus berjalan kaki sejauh lima ratus meter dari rumah tuanya. Menggerutu kesal karena telah membayar lebih mahal untuk malam ini, Ainsley berjalan dengan teguh tanpa berani menoleh ke kanan maupun kiri. "Kenapa malam ini langkahku terasa berat sekali?" Menapaki jalan utama yang cukup lebar dengan bangunan-bangunan tinggi di setiap sisinya, Ainsley bahkan merasa jalanan sepi malam ini lebih menyeramkan terlebih lorong-lorong gelap setiap sisi pemisah bangunan itu tampak tak biasa. Dia berjalan dengan tergesa namun kemudian langkahnya tertahan saat sebuah suara desahan keluar dari sebuah lorong yang memiliki sedikit cahaya. Rasa ingin tahunya yang tinggi, membawa Ainsley lupa pada tujuannya untuk pulang lebih cepat dan akhirnya dia mengendap untuk mengintip hal di lorong tersebut. Terlihat seorang wanita tengah terbaring di atas bangku taman yang sengaja di bawa ke lorong dengan pakaian yang tersingkap ke atas dan rambut berjuntai hampir mencapai tanah. Di atasnya, seorang pria tampak dengan paras tegap tengah berada di tengah-tengah wanita tersebut dan menundukkan wajahnya pada belahan d**a hingga desahan wanita tersebut kembali terdengar. "Ahk, sial!" Rutuk Ainsley dalam hati. Kenapa dia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi hingga harus melihat adegan menjijikkan seperti ini? Dia bahkan tak pernah memiliki kekasih namun hanya dengan melihat kemesraan dua sahabatnya, Harmony dan Zero sudah cukup membuatnya muntah karena gerah. Tapi kali ini, dia harus melihat dua orang asing tengah bercinta di tempat umum tanpa rasa malu. Oh dunia, apakah sekacau ini? "Ahh, sayang ... tunggu, itu ...." Ainsley memejamkan matanya dan mentulikan pendengarannya. Dia tak tahan lagi mendengar desahan menjijikkan terlebih saat mendengar pakaian yang sengaja di robek lalu desahan wanita itu kian keras. Dia tak perlu melihat lagi karena sudah pasti mereka melakukan hal yang tak seharusnya namun selanjutnya dia merasa desahan wanita tersebut sangat aneh dan kian mengecil dengan suara tak biasa. "Kkkhh, arrgghh, kkkkhhh ...." Dan suara itu tak lagi terdengar. Ainsley kembali memalingkan wajahnya untuk mengintip hal yang terjadi namun matanya kembali terbelalak saat melihat pria tegap itu dengan sengaja mencengkram leher kekasihnya hingga suara teriakan tertahan redam karena tangan pria itu kian kuat menekan. Tubuh wanita itu memberontak dengan mata terbelalak lebar dan tangan yang berusaha melepaskan cengkraman di lehernya namun beberapa menit kemudian tangan yang berusaha itu lemas dan jatuh. Suara teriakan tertahan beberapa saat lalu pun tak terdengar lagi selain hanya tubuh yang terkulai lemas dengan pakaian yang tak lengkap di mana kulit putih nan halus itu tampak sangat jelas. Ainsley menutup mulutnya kuat agar tak berteriak dan menurunkan tubuhnya dengan sangat hati-hati agar tak menimbulkan suara. Matanya terus menatap ke dalam dan dia dapat melihat dengan jelas saat kuku-kuku panjang pria itu menekan bagian d**a wanita yang tak lagi bernyawa hingga suara aneh terdengar dan darah terciprat ke berbagai arah. Sebuah benda berwarna merah dengan balutan darah yang masih menetes terangkat dengan sangat jelas lalu berakhir masuk dalam mulut pria tersebut. Mata Ainsley kian terbelalak saat tahu pria itu memakan jantung kekasihnya. Tubuhnya bergetar ketakutan namun suara patahan tulang kembali terdengar. Kali ini dia melihat bagaimana pria itu mencabik dan memisahkan beberapa anggota tubuh wanita di depannya dan memakannya seolah itu bukan masalah besar. "Di-dia," Ainsley mundur secara pelan dan sangat ketakutan hingga tak menyadari bahwa air matanya telah menetes. Dia berbalik dan ingin segera pergi tanpa menimbulkan suara namun kakinya yang tak seirama telah menginjak sebuah kaleng minuman kosong hingga menciptakan suara cukup nyaring. Tak bergerak untuk beberapa saat dan memilih menoleh ke belakang, dia melihat pria yang tengah menikmati makan malamnya telah berdiri dan menoleh ke arahnya. Tanpa sengaja, mata mereka bertemu dan hal yang bisa dia lakukan adalah berlari sekuat tenaga untuk menjauh dari tempat tersebut. Menangis saat menyadari nyawanya kembali dalam bahaya, Ainsley bahkan lebih menyesali rasa ingin tahunya yang berujung kesialan dalam hidupnya. Larinya yang tak seberapa itu sangat mudah dijangkau saat dia juga mendengar langkah kaki memburu di belakangnya dan akhirnya dia berhenti saat tiba-tiba wajahnya menubruk sesuatu benda yang cukup keras hingga tubuhnya jatuh ke belakang. Desisan kesakitan terdengar pelan namun Ainsley lebih menyesali saat matanya mendongak dah mendapati pria dengan wajah hampir tertutupi darah itu telah berdiri di depannya. "A-aku, a-aku, tu-tuan, ti-ti-ti-" Ainsley bahkan tak bisa berbicara dengan jelas dan hanya bisa mundur ke belakang dengan air mata yang tak bisa berhenti menetes. Seluruh tubuhnya bergetar hebat dengan rasa takut luar biasa yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Jelas, dia melihat mata kuning keemasan pria itu bersinar di tengah malam layaknya lampu pion yang menyilaukan. Dengan kuku-kuku runcing yang tajam dan darah yang masih menetes di setiap ujung kukunya cukup membuatnya sadar bahwa setelah ini dia akan berakhir sama dengan wanita di lorong sana yang kehilangan nyawanya. Terus mundur, dia bahkan hampir kehilangan seluruh napasnya saat tangan pria itu terulur dan dia hanya bisa berteriak sekencang mungkin dengan harapan akan ada orang yang datang menolongnya. Namun semua terasa sia-sia saat dia merasa rahangnya hampir saja remuk saat sentuhan dingin dengan aroma anyir yang kuat itu mencengkram rahangnya kuat. Selanjutnya, dia bahkan hampir tak bisa bersuara selain hanya merasakan kegelapan yang datang secara pelan merenggut seluruh nyalinya. Pada akhirnya dia berakhir tak sadarkan diri. *** Keesokan harinya, entah bagaimana Ainsley terbangun di bangku depan rumahnya dengan pakaian lengkap seakan tak terjadi apa-apa. Dong Dong, anjing peliharaannya duduk di bawah bangku menjaganya dengan sangat patuh dan terlihat sangat malas. Memegang kepalanya yang sakit dan rahangnya yang nyeri, Ainsley mencoba duduk dan mendapati sebuah buket bunga bersanding di dekatnya. "Bunga? Milik siapa?" Gumamnya mengambil buket tersebut dan menarik ujung kertas pengirimnya. "Selamat pagi, Ratuku. -Avram Leon Damaresh.-" Kening Ainsley mengerut saat membaca pesan dari secarik kertas yang dia tarik. Dia melihat buket bunga di tangannya lagi. "Mawar merah, pink dan putih. Yah, kurasa ini bukan milikku." Tanpa banyak kata, dia melemparkan buket bunga tersebut seakan itu bukanlah hal yang penting. Ainsley memasuki rumah tuanya dan segera membersihkan diri sebelum akhirnya kembali berangkat bekerja di pagi hari. Dong Dong menatap kepergiannya dengan malas lalu tampak berjalan dan mengigit buket bunga yang Ainsley buang lalu meletakkan kembali di atas bangku. Menaiki sebuah bus dan duduk dengan nyaman dengan pakaian Hoodie-nya, Ainsley tampak melupakan semua kejadian yang pernah dia alami. Dia baru saja turun dari bus dan berjalan menuju restoran cepat saji tempat dia bekerja sebelum akhirnya berhenti saat sebuah mobil mewah berhenti tepat di sampingnya. Sepasang sepatu hitam mengkilat turun saat pintu mobil itu terbuka dan sosok dengan balutan jas rapi lengkap dengan kacamata hitam terlihat patuh membukakan pintu mobil di bangku belakang. "Tuan, silahkan turun." Sepatu hitam mahal lain tampak terlihat saat sosok tinggi dengan balutan jas mahal turun dari dalam mobil. Dua mata tajam dengan alis hitam yang rapi lalu hidung kecil menjulang di bingkai dengan bibir tipis yang mengatup rapat menjelaskan ketampanan pria tersebut saat rahang kokoh itu juga menampilkan kulit yang halus. Di tengah sinar matahari pagi, rambut merah pendek pria itu membuat pemiliknya tampak jelas lebih menawan dengan tatapan teduh yang menenangkan. Meski begitu, di mata Ainsley itu tak berarti apa-apa karena dia merasa semua pemandangan di depan matanya menghalangi jalannya hingga dia harus menyingkir untuk kembali melanjutkan langkahnya. "Kau, yang di sana, menikahlah denganku." Suara itu terdengar merdu meski mengalirkan nada dingin di musim semi. Ainsley berbalik ingin tahu siapa pemilik suara tersebut namun dia menyadari bahwa suara merdu tersebut berasal dari pria tampan berambut merah yang saat ini berjalan ke arahnya. "Ainsley Caitlin Olaf, aku melamarmu. Menikahlah denganku dan hiduplah bersamaku mulai saat ini."

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD