Pasangan mengerikan.

1981 Words
Malam itu semua berjalan sangat normal untuk seorang Ainsley. Restoran cepat saji tempatmya bekerja terlihat sangat ramai dan dia sebagai pelayan terlihat sangat sibuk seperti biasa. Di sebelahnya, Zero tampak memperhatikan sepasang kekasih yang terlihat sangat harmonis dan bahagia. "Ya, satu pasangan lagi baru saja jadian di restoran tempat kita bekerja," Ainsley menatap lurus, pada pasangan yang tengah Zero bicarakan. Matanya terpaku pada sosok pria dengan paras tampan yang tampak tersenyum lembut saat baru saja menyelesaikan memasang sebuah cincin di jari manis sang wanita. "Sangat mengharukan," ujar Ainsley sangat pelan dengan mata menatap bangga pada sang wanita. "Apa?" tanya Zero sangat penasaran. "Jadi apa kau tersentuh dan berniat mencari pasangan, Ainsley-ku?" Ainsley mengendikkan bahunya tak tertarik. "Tidak, tak ada. Aku tak bicara apa-apa," "Ainsley, bukankah mereka pasangan yang serasi? Mereka bahkan membuatku iri," kali ini Harmony ikut bergabung dan tiba-tiba berdiri di samping Zero. "Zero, bukankah kau setuju?" tanyanya dengan manja. Zero tersenyum dan mendekatkan dirinya lebih dekat lagi pada Harmony. "Tentu saja aku sependapat denganmu. Kita, apakah kita-" "Ah, kalian benar-benar!" potong Ainsley jijik. "Cepat datang, dan bereskan meja. Mereka akan pulang," dia meletakkan nampan ke tangan Zero dengan ekspresi memerintah. "Ainsley-ku memang selalu kejam," ucap Zero dengan nada nakal. Itu mirip sebuah ejekan bahwa Ainsley tak akan membiarkan mereka pacaran. "Baiklah, aku akan datang," Harmony menghentakkan kakinya manja. "Kau sengaja bukan. Karena Ainsley, kau harus coba memiliki pacar. Agar kau tahu hal apa yang kami rasakan serta orang-orang yang terlihat bahagia di luar sana," dia merangkul Ainsley dan membujuk dengan manis. "Jadi, apa kau mau kukenalkan pada kakak sepupuku atau teman laki-lakiku?" Ainsley memajukan bibirnya tipis. "Yah, aku tak punya waktu untuk hal tak penting seperti itu. Target hidupku terlalu banyak yang belum tercapai. Aku harus hidup lebih baik baru aku akan mencari pria yang tepat," "Bukankah itu terlalu lama?" tanya Harmony kemudian. "Aku akan membeli rumah terlebih dahulu, hidup mapan, punya tabungan segudang dan akan hidup bahagia hingga aku tua," "Kau terdengar seakan mau mati," timpa Zero baru saja kembali. Pria itu meletakkan nampan dan berbagai piring kotor lalu mencucinya. Ainsley dan Harmony datang membantu. "Kalian mengejekku?" tanya Ainsley geram lalu tawa Zero dan Harmony terdengar. "Hei, kau sudah dua puluh lima tahun dan masih bekerja sebagai pekerja part time. Lalu usia berapa kau akan mencapai target hidupmu?" Harmony mengangguk setuju pada kata-kata Zero yang baru saja terlontar. Dia sedikit menahan tawanya yang membuat Ainsley kian kesal. "Ya,  itu benar. Carilah pasangan, lalu kita bisa kencan bersama." "Kalian bermimpi!" tukas Ainsley menolak. "Apakah kau masih tinggal di rumah tua itu?" tanya Zero tiba-tiba. Ainsley menghentikan aktivitasnya dan Harmony menyenggol pinggang Zero melalui siku tangannya. Membuat Zero menoleh dan mendapatkan satu pelototan tak sedap dari Harmony. "Aku juga ingin pindah," ujar Ainsley frustasi. "Saat ini uangku belum cukup untuk membeli rumah baru," "Bagaimana dengan tinggal di rumah sewaku?" tawar Harmony tulus. "Di sana, rumah tua itu terlalu menyeramkan untukmu. Aku hanya khawatir padamu. Sebagai sahabatmu, aku cukup was-was jika sesuatu terjadi padamu." Zero menganguk setuju. "Harmony benar. Lagi pula, rumah tua itu terlalu jauh dari dari tempat kerjamu. Ainsley, coba pikirkan. Kau tak perlu mendapatkan omelan bos lagi karena sering terlambat datang," Ainsley tersenyum tulus. Dia tahu maksud teman-temannya namun dia tak bisa meninggalkan rumah tua itu begitu saja. "Kalian tak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Lagi pula, aku memiliki anjing yang lucu dan imut yang harus kurawat," Tiba-tiba Zero bergidik ngeri. "Anjing yang berada di rumahmu itu yang kau maksud?" Aisley mengangguk. Harmony mengerutkan keningnya lalu menatap Zero syarat ingin tahu. "Anjing apa yang kalian bicarakan?" Zero menaikan dua pundaknya sesaat. "Anjing peliharaan yang hanya akan memakan daging kualitas terbaik. Dan Ainsley terlalu memanjakannya," "Benarkah?" kini Harmony menatap Ainsley seakan menuntut keyakinan. "Dia anjing yang lucu. Lagi pula dia sangat penurut." puji Ainsley tak keberatan. "Ya, dan kau akan selalu miskin karena merawatnya," timpa Zero sarkastik. "Aku yakin, kau bahkn menghabiskan separoh dari uang gajimu untuk membiayai anjingmu bukan?" Harmony menatap khawatir. "Apakah anjingmu semanja itu? Cobalah untuk memberikan makanan anjing. Itu jauh lebih murah dari daging yang harus kau beli," "Tak apa, aku juga memakan sebagian dagingnya. Anjingku tak menyukai daging mentah jadi aku harus memasaknya." "Itu terdengar seperti anjing yang aneh," "Ya, benar-benar aneh." tambah Zero mantap. "Dari mana kau menemukan anjingnya?" tanya Harmony penasaran. "Apakah kau membelinya?" "Anjing itu sudah berada di sana sejak dulu," jawab Zero tak membiarkan Ainsley menjawab. Ainsley mengangguk. "Tapi bukankah anjing kecil itu sangat lucu dan menggemaskan? Harmony datanglah berkunjung agar kau tahu," Harmony menganguk setuju meski Zero melarangnya. "Aku yakin kau akan menyukai anjingku," Zero menggelengkan kepalanya. "Jangan pergi." Larangnya dengan menyilangkan keduanya tangannya membentuk huruf 'X'. Harmony menganga sesaat lalu tertawa pada cara Zero melarangnya. "Oh, aku melihatnya." Terang Ainsley menekan kening Zero dengan jari telunjuknya. "Tak akan terjadi apa pun pada kekasihmu meski dia menginap di rumahku. Kau pikir, anjingku sangat menyeramkan?" Zero terkikik. "Ya, siapa yang tahu dia akan berubah menjadi monster yang akan menerkam?" Ainsley mengerlingkan matanya. "Jika itu terjadi, maka aku adalah orang pertama yang akan diterkam." "Hahahahahaha, dan aku akan menantikan saat itu datang." Ainsley langsung melayangkan kakinya untuk menginjak sepatu Zero. "Kau sangat tak masuk akal." Zero hanya mendesis kesakitan. Mereka bertiga bekerja dengan sangat giat hingga restoran cepat saji itu tutup. Keluar bersama dari dalam restoran mereka bertiga menghela napas lega. Harmony yang berada dalam rangkulan Zero menatap Ainsley yang tampak sedikit risau saat menatap jam murah di pergelangan tangannya. "Ini sudah sangat larut. Kau yakin akan pulang sendiri?" Ainsley mengangguk dan mulai berjalan. "Itu tak masalah bagiku. Aku harus segera pulang karena kereta malam terakhir akan lewat." Zero menarik jaket Hoodie yang Ainsley pakai. "Hei, ini sudah lewat tengah malam. Kereta malam terakhir haruslah sudah lewat lima menit lalu. Sudahlah, menginap saja di rumah Harmony." Harmony mengangguk setuju. "Zero benar. Ainsley, menginap saja di rumahku. Ini sudah sangat larut." Ainsley tetap menggeleng. "Tidak, tidak, tidak. Aku harus pulang atau anjingku akan mati kelaparan." Berlari, Ainsley masuk dalam bus terakhir menuju kereta bawah tanah. Zero dan Harmony hanya menghela napas saat tak dapat mengubah keputusan sahabatnya. Mereka hanya bisa melihat bayangan Ainsley dari kaca bus sebelum bus itu melaju jauh.  Melewati jalanan kota yang mulai sepi karena malam yang dingin hingga akhirnya berhenti di stasiun kereta kota bawah. Ainsley berlari dengan sekuat tenaga, menabrak beberapa orang lalu berakhir mengejar kereta yang baru saja akan berangkat hingga akhirnya berhasil masuk ke dalam kereta. Helaan napas lega berpacu dengan detak jantungnya yang berdetak cepat menghadirkan peluh yang mulai mengalir di pelipis wajahnya. "Hah, hampir, hampir saja aku tertinggal." Ainsley bergerak mencari tempat duduk dan melemparkan bokongnya pada kursi panjang di sisinya dengan napas yang masih tersengal. Matanya menatap sekitarnya dan dia baru saja mendapati bahwa kereta yang dia tumpangi sangat kosong dan lenggang  kecuali beberapa pasang orang yang tengah duduk berjauhan dengannya. "Kosong?" Ucapnya cukup keras tanpa sadar. Dia melihat jam pergelangan tangannya dan menyadari bahwa sebenarnya kereta bawah tanah yang biasa dia tumpangi telah lewat seperti kata Zero. Sedikit panik namun mencoba untuk tenang, dia melihat lagi orang-orang berpasangan yang duduk jauh darinya dan hanya dengan melihat semua orang bisa menyimpulkan bahwa orang-orang yang berpasangan di kereta kali ini adalah sepasangan kekasih. "Aneh," gumamnya pelan tanpa sadar.  Dia melihat lagi sepasang kekasih yang duduk berseberangan dengannya lalu pada bangku pojok kanan yang cukup jauh juga pojok sebelah kiri. "Kenapa mereka tak ada yang bicara? Dan tatapan mereka sangat kosong juga aneh." Karena sangat penasaran, Ainsley berdiri dan melihat banyaknya bangku kosong lalu pada sepasang kekasih yang sedikit jauh darinya. Cukup jelas terlihat, mereka sedang berpelukan pada awalnya, saling berciuman namun tak lama kemudian, Ainsley melihat tubuh wanita dalam pelukan pria itu menegang, tak bisa mengeluarkan suara dengan mata terbelalak seakan kesakitan. Ainsley mengucek matanya sekali, dia melihat lagi dengan jelas dan mundur selangkah saat melihat sang pria menggigit leher kekasihnya hingga darah itu terlihat jelas di matanya. "A-apa yang terjadi?" Ainsley terduduk kembali di tempat duduknya dengan keringat dingin yang mulai keluar. Sedikit rasa takut menghampirinya hingga dia mulai berjaga waspada. "Apakah ada syuting film horor di kereta ini? Apakah ada kamera tersembunyi? Atau kah mereka tengah memainkan satu permainan menyeramkan? Tapi penglihatanku terlalu nyata. Pria itu, tidak, wanita itu pasti sudah mati sekarang." Jelas, dia melihat pria itu menggigit leher kekasihnya atau lebih tepatnya menghisap darah kekasihnya. Hal-hal itu tampak tak meyakinkan karena dia merasa itu sangat tidak mungkin. Tapi bagaimana dengan darah yang telah dia lihat?  "Vampire," ujarnya dalam hati. "Tidak, itu tidak mungkin, mereka hanya mitos. Tapi, tadi ... apa?" "Nona," Ainsley berjengkit kaget saat tiba-tiba sepasang sepatu hitam telah berdiri di hadapannya. Perlahan dia mengangkat matanya secara hati-hati dengan rasa takut yang merayapi. "Y-ya," jawabnya kaku. "Nona ...," Panggilan yang sama hingga Ainsley memberanikan diri menatap pria yang mengajaknya bicara. Tampan adalah kata utama yang tersampaikan dari otaknya, namun ada bekas darah yang masih terlihat sangat merah di dagu pria tersebut. Mata Ainsley terbelalak sangat lebar hingga dia hampir saja berteriak sebelum seorang wanita datang dan memeluk pria di hadapannya. "Sayang, kau mengenalnya?" Ainsley menutup mulutnya dengan mata menatap wanita yang baru saja datang. Jelas, mereka berdua adalah sepasang kekasih yang baru saja dia lihat beberapa saat lalu. Dan saat ini, wanita cantik itu tampak sangat pucat dan memiliki empat lubang di kulit lehernya yang halus dengan warna kebiruan di sekitar luka tersebut. "Lapar, lapar, lapar ...," Ainsley dengan sigap mundur saat pria di hadapannya tiba-tiba mengulurkan tangan ke arahnya. Entah kenapa dia yakin akan ada hal buruk jika saja dia tak menghindar. "Sayang, dia bukan. Tapi aku disini," tahan wanita yang tak lain adalah kekasihnya. "Ka-kalian, apa?" Tanya Ainsley takut. Dia segera menjauh dan terus mundur tapi matanya mendapati semua mata pasangan yang ada dalam kereta menatapnya sangat lekat seolah dia adalah makanan yang pantas diperebutkan. "Sial!" Rutuk Ainsley merasakan tak kenyamanan dan kesialan selama hidupnya. Dia segera berjalan dengan cepat menuju pintu kereta yang masih tertutup karena kereta masih melaju. Sebisa mungkin, dia mencari sesuatu di tas ranselnya dan satu-satunya hal yang dia dapati adalah sebungkus daging segar untuk anjing ke sayangannya di rumah. "Lapar ... lapar ... lapar ...." Ainsley menelan air ludahnya dan memepetkan tubuhnya pada besi pintu kereta saat tahu pria yang telah berdiri di depannya beberapa saat lalu kini berjalan layaknya zombie menuju ke arahnya. Lalu, pasangan-pasangan lain pun ikut berdiri dengan mata menatapnya penuh minat. "Kapan kereta ini akan berhenti? Tidak, aku bisa mati di sini karena mereka ...," Ainsley tak melanjutkan kata-katanya selain memegang daging di ranselnya dengan lebih erat. Tak ada ruang untuknya agar bisa menjauh atau menghindar. Namun saat semua pasangan itu kian dekat, kereta tampak berhenti dan pintu akan segera terbuka. Menghela napas lega, Ainsley membalikkan badannya untuk keluar meski itu bukan tujuannya. Baru saja, dia melangkah, ransel di punggungnya tertarik dan dia menoleh. Mendapati tangan seorang pria dengan kuku runcing yang dapat mengoyakkan ranselnya tengah menahan ranselnya dengan kekuatan luar biasa. "Lepas!" Teriak Ainsley kalut. Namun terlambat, saat dia tahu bahwa pria itu benar-benar menarik ranselnya hingga robek dan bungkusan daging segar di ranselnya terlempar. Ainsley mundur dan berhasil keluar dari dalam kereta namun pemandangan di dalam kereta membuat matanya tak berkedip. Daging segar untuk anjingnya, kini menjadi rebutan semua pasangan di kereta. Dengan jelas, dia melihat mereka memakan daging mentah tersebut dengan sangat lahap dan saling melukai satu sama lain untuk mendapatkan bagian. "A-apa ini?" Ainsley terpaku dan saat daging segar itu telah habis, semua mata di dalam kereta menghujam padanya. Dengan kecepatan kedipan mata, dia melihat semua orang di dalam kereta telah mengulurkan tangan untuk meraih tubuhnya. "Ahkkk...!" Ainsley tak dapat menahan teriakannya namun tepat saat tangan-tangan menyeramkan itu terulur untuk meraihnya, pintu kereta itu tertutup dan kereta kembali melaju. Bukankah semua terlalu nyata untuk sebuah adegan syuting film horor? Bukankah semua pemandangan di depan matanya tampak terlalu natural jika saja itu adegan buatan. Mereka memakan daging, juga menghisap darah. Mereka tampak memiliki mata kosong namun memiliki kecepatan luar biasa. Mereka, sebenarnya mereka apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD