Menemukan Manusia Normal

1038 Words
Dalam perjalanan menuju kampus. Amanda duduk dengan seorang wanita yang sedang asik mendengar musik menggunakan penyuara jemalanya agar lebih fokus. Amanda ingin menyapanya, tapi sepertinya dia sibuk. Amanda mengalihkan pandangan ke arah depan kanan, sedikit menyerong dari posisinya. Ia melihat seorang pria yang sedang membaca sesuatu, saat membuka lembaran berikutnya ia menjatuhkan kertas dan pria itu segera mengambilnya. Pandangan mereka bertemu, pria itu menatap Amanda sejenak lalu mengalihkan tatapan. Meski pun sebentar, bayangan mereka masih membekas dalam ingatan Amanda sebab ada yang berbeda pada pria itu. Amanda mencoba melihat pria lain di bus yang duduk di bagian belakang, tetap tidak menemukan keanehan itu pada mereka. Amanda melihat sebuah simbol berwarna hijau terang di keningnya seperti cahaya menyala. Tanda apa itu? tanyanya dalam hati. Amanda mencari cara lain agar ia bisa melihat kembali wajah pria tersebut. Rasa penasarannya mencuat. Amanda mengambil penanya dalam tas lalu memutar-mutarnya kemudian berpura-pura menjatuhkan benda tersebut ke dekat posisi kursi pria itu. Suara penanya terdengar dan mengalihkan beberapa orang di sekitarnya. Amanda tersenyum, berdiri dan segera mengambilnya. Pria tadi menoleh dan Amanda melihat keningnya, cahaya hijau itu sangat mencolok. Amanda jadi terpaku memandang ke arahnya hingga membuat pria itu salah tingkah. Ciitt. Bus tersebut mengerem tiba-tiba dan membuat Amanda terdorong ke depan. Spontan pria itu memegang tangannya agar Amanda tidak jatuh. Perempuan itu pun segera melepaskannya dan meminta maaf. “Maaf,” ucapnya lalu kembali ke kursinya. Pria itu melirik ke arah Amanda berulang kali membuat perempuan yang masih bingung dengan tanda di keningnya bergumam. Apa memang dia mentato keningnya ya? Pria itu mengerutkan alis lalu menarik tatapannya dan menjawab panggilan dari temannya. Amanda menyipitkan mata, kejadian aneh itu menyita waktunya beberapa saat. Amanda menggeleng lalu mengabaikannya, menganggap hal tadi hanya ilusinya saja. Amanda memilih untuk membaca buku sambil mendengar musik di sepanjang perjalanan menuju kampus. Di halaman universitas menuju gedung belajar. Puluhan mata memandang ke arah Amanda. Wanita itu memperhatikan balik kepada mereka, membalas hinaan yang tersirat tanpa suara. Mereka adalah teman seangkatannya yang telah ditinggalkan Amanda karena merasa tidak nyaman. Kampus lagi ramai-ramainya karena banyak mahasiswa baru. Senior sibuk menawarkan organisasinya agar mau bergabung. Amanda tidak tertarik mengikuti apa pun, dia hanya berjalan saja ke arah ruangan perpustakaan. Jam belajarnya akan dimulai sekitar pukul 9, sekarang masih pukul 7 lewat 15 menit. Amanda yang telah meninggalkan semester pertamanya akan belajar bersama mahasiswa baru tahun ini. Harapannya adalah semoga mereka bisa lebih menerimanya tanpa perundungan. Amanda menaiki anak tangga setelah melalui pemeriksaan kartu perpustakaan. Dia melihat seorang perempuan terjatuh karena disenggol pria, tapi pria itu tidak merasa bersalah dan terus saja menuruni anak tangga lalu meninggalkannya. Amanda membantunya berdiri. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya. "Ya, tidak masalah, pria itu menyebalkan! Sudah menabrakku, tapi tidak minta maaf, main lari saja!" erangnya menunjuk ke depan. Amanda tersenyum lalu tatapan mereka tak sengaja saling bertemu. Amanda langsung menunduk. "Maaf, aku harus ke atas." Amanda langsung pergi. Wanita itu memanggilnya. "Terima kasih banyak!" "Sama-sama," sahutnya berhenti lalu melirik tersenyum. Amanda melangkah terus lalu tiba di lantai 2, mencari posisi duduk yang enak agar tidak membuat masalah dengan mahasiswa lain. Ada kursi kosong mengarah ke jendela. Dia memilih posisi itu agar matanya tidak menjadi perhatian orang lain. Bila hanya melihat ke bagian luar, tidak ada yang memperhatikan. Amanda masih terlalu minder dengan keadaannya, bisa jadi semua ketakutannya hanya berasal dari pemikirannya. Dia mengingat ucapan Rea yang mengatakan bahwa semua manusia punya kekurangan yang tidak terlihat dan terlihat jelas. Amanda membuka laptopnya lalu mencari sesuatu dari internet. Seseorang duduk di sampingnya. "Maaf, boleh aku duduk di sini?" "Silahkan." Amanda tak mungkin melarang pria itu duduk, perpus ini bukan miliknya. "Pagi yang cerah, semua orang sibuk mencari kelompok ekstra di sana." Pria itu mencoba berkomunikasi. Amanda diam saja. "Kenalkan namaku Stuart Collin!" pria itu ingin berjabatan sebagai bentuk perkenalan awalnya. Amanda menoleh, dia sedikit kaget tapi akhirnya tersenyum lebar. Melihat senyuman itu, Amanda yakin dia bukan termasuk anak yang gemar merundung kekurangan. "Amanda Qwerin," balasnya. "Wah, nama yang cantik, seperti orangnya." Amanda tersenyum. "Terima kasih untuk kebohongannya." Stuart tersenyum. "Aku tidak bohong." "Bagus lah kalau kau tidak memperhatikan sisi jelekku." "Hmm, dalam pertemanan tak boleh memandang fisik." "Tapi aku bukan temanmu." "Kalau gitu mulai sekarang kita berteman," sahut Stuart. Amanda terkejut, dia menawarkan pertemanan lebih dulu. Batin Amanda sangat bersyukur. Benar kata Rea bahwa badai akan berlalu. Mereka memulai pertemanan dengan bicara santai, Stuart mengatakan hal yang mirip dengan keadaannya yaitu, masuk ke jurusan yang tak diinginkannya. Amanda jadi merasa senasib sepenanggungan. Mereka bisa akrab dalam waktu singkat. "Aku harus masuk, ada kelas pagi ini," kata Amanda. "Sama, aku juga." "Kau masuk kelas mana?" tanya Amanda. "Ensambel," jawab Stuart. "Dengan Gerald Smith?" tanya Amanda lagi. "Ya, pak Gerald." "Wah, ternyata kita sekelas." "Serius? Kalau gitu kita harus cepat," sahut Stuart mengajaknya pergi. "Ya, aku dengar dia sedikit keras." "Hmm, aku pernah dengar kabar itu juga." Stuart menuruni anak tangga bersamaan dengan Amanda. Lima menit kemudian setelah berusaha jalan cepat, mereka tiba tepat waktu dan segera masuk sebelum dosennya menyusul. Stuart melihat dua kursi kosong di belakang. Dia mengajak Amanda mengikutinya. "Hai, Stuart!" sapa seseorang. "Hai, Jhon!" Stuart balas begitu saja se-normalnya teman sekelas. Amanda deg-degan menghadapi kelas barunya. Mereka belum melihat keanehan dari dirinya, Amanda berharap kelas ini lebih baik dari sebelumnya. Dosen masuk lalu mereka segera bersiap untuk menerima pelajaran. Stuart tersenyum pada Amanda lalu fokus untuk menerima ilmu yang diberikan. 1 jam lewat 40 menit, kelas berakhir. Semua mahasiswa bubar, tapi Amanda masih berada di kursinya. Stuart yang sudah berdiri dari posisinya langsung mengajak Amanda keluar. “Aku di sini aja.” “Kenapa?” tanya Stuart. “Aku-“ Amanda malu mengatakan bahwa dirinya takut berjalan di keramaian. Stuart tersenyum. “Hadapi duniamu, kalau kau tidak berani, apa gunanya aku sebagai temanmu di sini?” kata Stuart Amanda tersenyum, tak malu sedikitpun bagi Stuart untuk berteman dengannya. Amanda pun menghela napas yang sedari tadi di tahannya dalam tubuh. “Baiklah!” Amanda mengambil tasnya lalu pergi bersama Stuart. Mereka jalan bersama. Stuart terus disapa oleh teman-temannya. Kelihatannya dia sangat terkenal. “Jadi kau berasal dari tahun ini atau?” tanya Stuart. “Aku mahasiswa tahun lalu, berhenti karena kondisi lingkungan yang tidak baik," jawab Amanda. “Kau korban perundungan mereka?” tanya Stuart. “Mmh.” Amanda mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD