Bab 1. Pengkhianatan
Seorang wanita muda berjalan menuju apartemen mewah dan dirinya terlihat bahagia karena akan memberikan kejutan kepada sang kekasih.
"Aku harap, dia suka dengan apa yang aku bawa untuknya," ucap wanita cantik dan mungil yang saat ini berjalan melewati lorong apartemen menuju salah satu unit dimana pria yang dia cintai berada sambil menenteng paper bag di tangannya.
Saat tiba di depan unit apartemen, wanita yang bernama Alena Yukito menekan pin apartemen. Pin tersebut merupakan tanggal jadian dirinya dan kekasih hatinya.
Pintu terbuka dan saat dirinya hendak melangkahkan kaki, suara dua orang yang sedang berada dipuncak kejayaan yang hakiki terdengar di telinganya.
"Lagi, Sayang. Aku sudah berada di ambang kenikmatan."
Kata-kata itu keluar dari mulut wanita yang membuat Alena terpaku. Suara yang tidak asing di telinganya. Dan, suara itu selalu membuat dia tertawa jika dia ada masalah dengan kekasihnya.
"Mungkinkah, dia?"
Pertanyaan dalam hati menambah kesan horor di hati Alena. Dirinya memberanikan diri untuk melangkahkan kaki lebih dalam lagi. Alena ingin tahu, apakah yang ada dipikirannya saat ini benar atau malah salah.
Dan, semakin dia mendekati pintu, foto dirinya dan kekasih yang bernama Aldo jatuh. Alena menutup mulutnya, melihat foto dirinya dan Aldo jatuh. Alena mengabaikan foto tersebut. Dia ingin melihat siapa di dalam kamar tersebut. Dengan tangan gemetar, Alena membuka pintu kamar. Pintu terbuka lebar dan terlihatlah semuanya.
Seperti, disambar petir, kekasih yang dia cintai, kekasih yang akan menikahi dirinya minggu ini harus berbagi keringat dengan wanita yang tidak lain sahabat baiknya sendiri yaitu, Luna.
"Luna, Aldo. Kalian!" Alena membuka suara memanggil keduanya.
Aldo yang sudah berada dipuncak kejayaan dan mengerang tidak menyadari namanya dipanggil. Akan tetapi, sesaat dirinya terpaku karena melihat wanita di bawahnya hanya diam dan dia baru menyadari Luna memandang ke arah pintu kamar.
Luna yang ingin mengerang terkejut saat pintu terbuka, namanya disebut dan yang membuat dia semakin terkejut saat dirinya menatap wanita yang membuka pintu tersebut dan wanita itu berdiri di depan pintu.
Terlihat, wajahnya Luna gugup saat mengetahui siapa dia. Luna saat ini berada di apartemen milik kekasih sahabatnya itu dan dia juga berada di ranjang pengantin milik sahabatnya itu.
"Al, aku bisa jelaskan. Sumpah demi Tuhan, ini tidak seperti yang kamu pikirkan," ucap Luna gugup dan berusaha untuk menjelaskan apa yang terjadi ke Alena.
Aldo tersadar jika kekasihnya ada di apartemen. Dirinya berbalik dan menatap Alena yang menahan air matanya di pelupuk mata.
"Sudah cukup. Aku tidak ingin mendengar penjelasan apapun. Aku tidak sudi melihat kalian berdua. Aku membenci kalian. Kalian berdua sudah menghancurkan semuanya. Pengkhianatan kalian tidak akan aku maafkan!" pekik Alena yang segera merobek kartu undangan pernikahan dan membuangnya.
Alena membawa kartu undangan ke apartemen Aldo, tujuannya untuk memperlihatkan kepada Aldo kalau undangan mereka sudah siap dan akan mereka sebar untuk hari bahagia mereka nantinya. Tapi, malang tidak dapat ditolak, rencana itu harus hancur begitu saja, karena kejadian hari ini.
Aldo mengejar Alena akan tetapi Alena sudah lebih dahulu lari meninggalkan apartemen tersebut. Dirinya jijik melihat Aldo berbagi keringat dengan Luna. Teman yang dianggap saudari itu sudah berani berkhianat dan menghancurkan masa depannya.
"Bodoh, kenapa aku percaya dengan dia. Padahal aku sudah ... Ah, sial! Aku harus bagaimana, apa yang akan aku lakukan," ucap Alena yang menangis sembari berlari.
Alena meminta izin dari atasannya untuk menemui kekasihnya karena ingin menyerahkan surat undangan pernikahan mereka hingga dia harus melewatkan kedatangan bos barunya. Beruntung, dirinya diberi izin dan sialnya dia harus mendapatkan kejutan yang luar biasa dari Aldo dan Luna.
Alena menangis sesenggukan, dia tidak peduli dipandang oleh orang. Saat di depan lift, Alena segera masuk dan pintu tertutup di sanalah Alena kembali menangis sejadinya.
"Sakit sekali, Tuhan. Kenapa mereka melakukan ini padaku. Apa salahku, pada mereka berdua. Apa, Tuhan? Kenapa pengkhianatan ini begitu menyakitkan buatku!" tangis Alena pecah dan saat pintu lift terbuka Alena segera keluar.
Alena menghapus air matanya dan dia bergegas ke parkiran. Lebih baik pulang daripada kembali ke kantor. Akan tetapi, ponselnya berdering. Alena merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya.
"Kenapa ditelpon, harusnya jangan. Aku mau pulang!" rengek Alena karena ditelpon HRD.
Alena frustasi karena di saat dia sedih malah ada telpon masuk dari kantor. Alena mau tidak mau segera menjawab panggilan tersebut. Suara parau karena menangis pun tidak dia hiraukan.
"Iya, halo Pak dengan Alena di sini?" tanya Alena.
Alena mendengar apa yang dikatakan HRD. Bahunya merosot mendengar perintah dari si penelpon.
"Pak, apakah saya tidak bisa minta izin untuk pulang. Saya kurang enak badan, tolong pengertiannya," jawab Alena memohon untuk pulang.
Akan tetapi, jawaban dari si penelpon diluar kemampuan Alena.
"Baik, saya ke sana," jawab Alena lemas.
Alena mengakhiri panggilan telpon dan segera pergi meninggalkan semua luka. Mata bengkak, air mata yang masih mengalir dia abaikan bahkan akan mengering nantinya.
Sesampainya, dia di kantor Cakraningrat Diamond, Alena turun. Dirinya berlari karena tidak ingin diomelin oleh si penelpon. Alena masuk ke perusahaan dan segera menuju lift.
"Lagi nangis?" tanya salah satu rekan kerja Alena.
Alena menoleh dan menggelengkan kepala. "Pak bos sudah datang, tapi sekretarisnya keluyuran. Jangan karena mau nikah dan resign kamu seenaknya saja," jawab rekan kerjanya.
Alena tidak peduli, dia segera masuk ke dalam lift. Sorot pandangan rekan kerja ke dirinya sangat tajam. Akan tetapi, Alena tetap masuk ke dalam lift dan dia tidak membalas perkataan dari rekan kerjanya yang julid dan mengabaikannya. Alena segera masuk ke dalam lift dan menekan tombol menuju lantai dimana ruangannya berada.
Selama kerja di kantor tersebut, dirinya sering dikatakan, perawan tua dan sebagai oleh rekan kerja dan sekarang dia akan menikah, malah dikatakan kok bisa menikah, memangnya ada yang mau dengannya. Tapi, jika mereka tahu kalau dia gagal nikah, apa yang akan dikatakan oleh mereka kepadanya nanti? Satu kata yang bisa dia ucapkan saat itu terjadi. Pasrah, itulah yang harus Alena lakukan.
Pintu lift terbuka, Alena melangkahkan kaki menuju ruangan CEO yang baru tiba di kantor. Sebenarnya, CEO datangnya pagi ke perusahaan, tapi karena ada urusan jadi CEO datang terlambat. Itu yang disampaikan oleh HRD saat dirinya di parkiran apartemen.
"Semoga dia tidak tahu aku menangis. Jika tahu maka aku akan dihina lagi. Tapi, aku yakin anak Pak Abraham, tidak kasar dan arogan serta julid," monolog Alena.
Pintu diketuk dan saat ada sahutan dari dalam, Alena masuk dan terlihat asisten dari CEO baru dan HRD sudah ada di ruangan.
"Maaf, Tuan, saya terlambat." Alena menundukkan kepala saat dirinya masuk ke ruangan dan tidak lupa Alena meminta maaf kepada semua orang di ruangan tersebut.
"Kalian boleh pergi," ucap sang CEO dengan suara dingin.
Alena mendengar CEO meminta mereka pergi hanya terpaku. Baru tiba, tapi sudah diminta pergi. Dua orang yang sudah sedari tadi di ruangan CEO keluar. Alena yang melihat keduanya pergi juga ikut bergerak pergi dari ruangan tersebut. Akan tetapi, namanya dipanggil oleh sang CEO.
"Siapa yang meminta kamu pergi?" tanya sang CEO yang bernama Rafli Damian Axelle.
CEO muda yang usianya di atas Alena dan bisa dikatakan Alena akan dipanggil kakak oleh sang CEO bertanya ke dirinya kenapa dia pergi. Alena segera menghentikan langkah kaki. Alena melirik HRD yang tersenyum mengejek ke arahnya sedangkan asisten CEO tidak meliriknya sama sekali.
Alena berbalik dan melangkahkan kaki menuju meja sang CEO. Alena masih menunduk, dia tidak ingin menatap sang CEO yang sibuk mengetik sesuatu.
"Kamu sekretaris, Tuan Abraham?" tanya Rafly ke Alena.
"Iya, Tuan dan nanti saya akan jadi sekretaris Anda juga," jawab Alena.
"Saya di depan, bukan di bawah. Kamu kira saya ada di bawah kamu? Pandangan wajahnya jika orang mengajakmu berbicara," ucap Rafli dengan tegas.
Alena langsung mengangkat kepalanya ke atas. Keduanya saling memandang satu sama lain.
Rafli terus menatap ke arah Alena, alisnya naik ke atas saat dirinya melihat Alena yang menurutnya sangat berbeda. Rafli mengutarakan apa yang ingin dia katakan ke Alena.
"Kamu tidak butuhkan lagi menjadi sekretaris saya. Pergi kamu dari sini," jawab Rafli dengan suara dingin.
Alena melotot saat mendengar jika dia tidak dibutuhkan menjadi sekretaris dirinya. Itu artinya dia dipecat.
"Ta-tapi, Tuan Abraham meminta saya untuk jadi sekretaris An .... " Alena berhenti berbicara karena tangan dari Rafli mengarah ke dirinya.
"Pergilah, saya butuh pria di sini. Beresin barangmu dan temui HRD. Karena, saya baik kamu akan bekerja di bagian lain. Temui HRD sana, dia akan memberitahukan bagian devisi yang sesuai dengan keahlian kamu, sudah sana pergi," usir Rafli dengan mengibaskan tangannya ke arah Alena.
Alena mengepalkan tangannya, dia benar-benar seperti pepatah lama. Habis jatuh, tertimpa tangga. Sudah dikhianati oleh kekasih dan sahabatnya, sekarang dirinya harus dipecat sebagai sekretaris. Paket lengkap.
Tanpa banyak bicara, Alena keluar dari ruangan tersebut, dia mempunyai harga diri dan tidak mau direndahkan. Jika dia tidak dibutuhkan lagi, buat apa dia masih bekerja di sini, masa bodoh dia mau ditempatkan dimana. Lebih baik resign dan cari pekerjaan lain.
Saat di luar, Alena terkejut dengan kedatangan seseorang.
"Ale, kamu kenapa? Matamu bengkak sekali dan apakah kamu habis nangis? Apa dia yang melakukannya padamu?" tanya orang itu ke Alena.