BAB 2

1136 Words
Manggala Pramono Hirmawan, duda tampan, pekerjaan sukses, pengusaha, tentunya juga pekerjaan yang mencereng Jaksa pengadilan, apalagi yang kurang dari hidup Manggala Pramono Hirmawan hanya satu kekurangannya yaitu masih menjadi jomblo asik semenjak beberapa tahun lalu, tepatnya semenjak mantan istrinya meminta cerai padanya dengan berlinang air mata. Manggala yang saat itu bingung dengan permintaan istrinya, awalnya Gala memang menolak keinginan mantan istrinya untuk tidak bercerai dengan alasan yang tak masuk akal namun setiap hari tiap Gala pulang ia melihat wajah  cantik mantan istrinya terlihat lesu dan tentunya membuat Gala risau. Kala itu ia melupakan semua rasa lelahnya untuk berbicara dengan istrinya terkait permintaan cerainya padahal pernikahannya baru saja memasuki tahun kedua, tapi yang Gala lihat adalah wajah tak bahagia mantan istrinya. Kala itu.. Gala memang sengaja pulang lebih awal dari biasanya, ia membawa pekerjaannya pulang demi untuk istrinya yang sedang merajuk berkali-kali meminta pisah dengannya, sampai di carport rumahnya Gala segera melonjat dari mobil jeepnya untuk segera bertemu dengan istrinya. Ia sudah tak tahan di diamkan oleh istrinya dan istrinya seringkali menghindarinya dalam bentuk sentuhan fisik apapun, apalagi tidurpun istrinya meminta pisah. “Awinaa..” panggil Gala saat usai melepas sepatunya “Ada apa?” “Ayo kita bicara.” ajak Gala dengan suara tegas Awina mengangguk dan kemudian mengikuti Gala ke arah ruang santai. Dengan cara ini ia bisa tahu apa motif Awina yang menginginkan perceraian darinya. “Aku ingin tahu motif apa yang membuatmu ingin bercerai denganku?” tanya Gala tegas. Awina tampak menarik nafasnya, detik ini waktunya ia untuk mengungkapkan segalanya, rasa sakit yang ia tahan bertahun-tahun saat ia dan Gala belum menjalin ikatan yang sah dalam agama. “Ayusita. Masalah ini semua, berasal dari sikapnya yang tak bisa lagi aku toleransi.” “Ayusita? Ada apa kamu bawa-bawa dia, Awina?” tanya Gala tak mengerti kenapa Awina membawa nama Ayusita dalam pembicaraan mereka. “Dia yang sedari dulu yang membuat kekacauan dalam hibungan kita berulang kali kita putus nyambung ya karena dia—teman wanitamu yang kamu nilai baik hati dan tidak jahat. Ternyata ia memiliki motif lain untuk memisahkanku denganmu, aku kira setelah kita menikah dia akan berhenti dan berubah tapi tidak Mas, teman baikmu itu iblis berbentuk manusia paling jahat.” Awina mencurahkan semuanya. “batas akhirku adalah saat kamu dinas diluar kota dengan timmu kala itu, aku telepon diponselmu dua kali dia yang menjawab teleponku Mas Gala! Kamu enggak tahukan?” tembak Awina dengan derai air mata “Kenapa kamu enggak pernah bilang Awina, kamu tahukan pernikahan kita dibangun dengan dasar saling terbuka dan percaya, tapi demi Allah Awina aku sama sekali enggak ada niatan buat khianatin pernikahan kita apalagi menjalain hubungan dengan Ayu,” “Tapi semua udah terlambat, aku udah enggak bisa lagi buat kita bareng, sekarang kamu udah bebas mas mau deket sama siapa aja, mau sekamar sama siapa aja, aku melepaskanmu mas..” derai Awina saat itu dan membuat hati Gala tersasat perih Awinanya, istrinya yang paling ia cintai memilih untuk menyerah dan mengakhiri pernikahan mereka. Sampai disini ia bisa membahagiakan dan hidup bersama Awina. “Mari kita bertemu di pengadilan, Mas Gala.” kata terakhir Awina membuat Gala semakin terluka hingga ia tak tahu bahwa laki-laki setegas Gala juga bisa meneteskan air mata ∆∆∆   “Dengan ini, keputusan yang dibuat oleh pengadilan negeri Agama menyatakan bahwa Bapak Manggala Hermawan Pramono dan Ibu Awina Zanna Permadi dinyatakan bukan lagi suami dan istri...” hakim mengettuk palu dengan suara tegas Disinilah akhir segalanya yang dilalui Gala dan juga Awina penuh lika-liku perpisahan yang ditentang dan di tolak namun Awina tetap kekeuh berpisah, Gala yang tampak semakin hancur—rencana-rencana indah yang sudha ia susun kini benar-benar hancur. “Terima kasih Mas Gala sudah menemaniku dua tahun ini selama pernikahan, semoga setelah ini hidupmu lebih baik daripada saat denganku, selamat tinggal dan terima kasih.” ujar Awina saat selesai keluar dari ruang sidang. “Awina—“ panggil Gala “Ya?” “Boleh aku peluk sebentar?” Awina mengangguk tanda setuju, Awina menghampiri Gala kembali dengan menjulurkan tangannya melewati sela tubuh Gala, Awina menahan tangis mati-matian, menghirup harum wangi Gala untuk dirinya begitupun dengan Gala yang tak juga menyia-yiakan kesempatan memeluk Awina dengan erat. Awina melepaskan pelukannya saat ia merasa cukup, ya cukup sampai disini, cukup dengan perasaan ini, dan rasa cukup yang lainnya. “Jaga dirimu baik-baik, aku sudah tidak lagi bersamamu untuk mengingatkan tentang kesehatan dan makan teraturmu.” lirih Gala. Awina lagi-lagi menggangguk. “Aku pamit.” Awina masih mengangguk . “Mas Gala—“ panggil Awina dengan suara tercekat. “Nanti, bila Tuhan masih berkehendak dengan kita, masih menjadi manusia yang ia jodohkan entah kapan dan dimana, bila tuhan menjodohkan kita dimasa depan lagi itulah kesempatan kita untuk bertemu dengan sosok Awina dan Manggala yang baru,” ujar Awina dengan menatap mata Gala lekat “Pasti, aku akan berdoa untuk itu Awina.” “Aku pamit Mas Gala.” Dari beribu kata bahasa Indonesia yang paling benci adalah pamit yang mengartikan perpisahan. Sampai kapanpun Gala membenci kalimat pamit itu dalam kamus Bahasa Indonesia, dan sekarang perpisahan itu mengubah 100% bahagia menjadi 0,00% kesakitan. ∆∆∆ Gala masih tetap seperti dulu bedanya ia menjadi sesosok laki-laki penuh dengan aura dingin semenjak kehilangan istri yang paling ia cintai Gala menjadi sosok yang dingin dan tegas. Apalagi Gala semakin larut dalam bekerjanya, tak memikirkan perempuan-perempuan yang mendatanginya karena undangan sang Mama. Gala tak bisa menerima wanita-wanita yang datang itu karena di hatinya masih tetap tertulis nama Awina Zanna disana, selalu dan kapanpun itu. “Kerja mulu bos, nggak capek?” tanya Fadli teman kerja Gala. “Memangnya mau ngapain lagi kalo enggak bukan kerja? Istri udah enggak punya selain menyibukkan diri dengan kerja ngapain?” “Cari hiburanlah  Gal, mau sampai kapan lo jadi sadboy terus? Bahkan mantan lo aja kayaknya juga udah move on eh—lo’nya masih disini aja.” Fadli tak pernah bosan dengan ceramahnya yang tak pernah berubah itu. “Cari penggantilah Gal, nggak capek lo simpan beban lo begini mulu, sekali-kali nikmatin dulu lah hidup.” lagi, Fadli memulai ceramahnya yang untungnya hanya angin lalu untuk Gala, maksudnya masuk kuping kanan keluar kuping kiri selalu seperti itu. “Sudah? Kalo udah pintu keluar sebelah kanan ya Pak Fadli yang terhormat.” balas Gala sekenanya. Gemas dengan respon Gala yang selalu sama ketika ia minta untuk berhenti menjadi anggota sadboy. “Baik-baik lo Bro, itu batang juga bisa karatan!” “Mau gue sunat lagi lo!” geram Gala akhirnya. “Ampunn..bang jago!” teriak Fadli yang akhirnya berlalu dari ruangannya. Temannya itu—tidak hanya Fadli semua temannya memintanya untuk merubah kehidupannya yang kelam, tapi bagi Gala—pelangi hidupnya  telah pergi maka sinar kehidupannya juga ikutan pergi, “Awina Mas kangen..” lirih Gala saat ia menatap wajah ayu yang masih setia menghiasi layar ponsel milik Gala. ∆∆∆
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD