BAB 3

1095 Words
Mendapatkan tugas untuk mengantarkan Nadia putri dari kakaknya adalah hal yang paling Gala hindari, sebenarnya Nadia adalah anak yang manis hanya saja cerewatnya mengalahkan sang oma dan juga Ibunya, sedangkan Gala paling tidak bisa lagi di hadapkan dengan perempuan yang bawel layaknya Nadia si cantik centil itu. Berhubung ayah dari si Nadia ini sedang di opnam di rumah sakit, jadi Galalah yang di tumbalkan Dalila selaku sang Ibu Gala, dan sekarang Gala harus tahan dengan semua kecerewatan Nadia pagi ini. Meski pekerjaannya sedang tak begitu sibuk mendengarkan kecerewatan Nadia sekali juga tak membuat waktunya terbuang percuma. Semenjak Gala dan Awina resmi bercerai, Gala adalah manusia terakhir yang tak mengetahui bahwa Awina hamil saat berpisah dengannya, ini permintaan terakhir Awina saat itu, biarkan Gala tak mengetahui tentang kehamilannya karena bila Gala tahu bahwa ia sedang hamil buah hati mereka Awina yakin Gala tak akan mau berpisah dan bercerai darinya maka dari itu sebelum semua kacau awina lebih dulu bergerak memberitahu dan mengultimatum semua orang ia beritahu kecuali Gala selaku ayah dari biologis anaknya hingga saat ini tahun berganti tahun Manggala Pramono Hirmawan tak pernah tahu bahwa ia memiliki putri yang cantik. “Om—om kalo Nadia besar nanti, Nadia mau jadi Dokter yang cantik ah—“ celetuk Nadia setelah beberapa menit terdiam. “Kenapa Nadia mau jadi Dokter?” “Ya karena Nadia ingin mengobati semua orang, termasuk mengobati Mama dan Papa Nadia nanti, Nadia mau jadi manusia yang berguna.” imbuh Nadia dengan suara cemprengnya. “Pintar, tapi Om pengennya Nadia kecil terus.” balas Gala yang membuat Nadia bingung dan menatapnya ingin tahu. “Memangnya kenapa Om? Nadia kan harus tumbuh besar dan pintar biar bisa jadi dokter.” “Iya—karena jadi dewasa itu tidak enak, menyusahkan.” jawab lirih Gala. “Kenapa Om?” Nadia menunggu apa yang Gala katakan “Karena Om enggak mau kehilangan Nadia yang cerewet dan mungil ini,” alibi Gala tak ingin bocah kecil itu mendengar perkataan yang belum begitu ia mengerti. “Om nanti anterin Nadia masuk ke kelas ya, aku tuh sebel banget sama temenku namanya Razak, udah cungkring sukanya bikin onar terus.” pinta Nadia yang maksudnya tak ingin di ganggu oleh Razak teman rivalnya. “Kenapa nggak turun sendiri biasanya, Nadia pemberani.” “OMM..please-please ya..nanti Nadia beliin es krim, ya.” “Ck—ya udah Om anterin, biar nanti Om yang marahin Rujak-rujak itu karena udah berani gangguin keponakaan cantik Om.” Nadia tersenyum senang dan memberikan ibu jarinya. “Makasih Om Gala yang ganteng.” puji Nadia dan membuat Gala menggeleng gemas Sekolah sudah sangat banyak siswa-siswi yang masih berada di luar ruangan kelas dan banyak para orangtua yang mengantarkan putra dan putri mereka untuk menuju ke ruangan kelas masing-masing. Gala pernah membayangkan mengatarkan anaknya bersama Awina, seandainya keadaan saat itu msih berbai hati dengannya ungkin sekarang ia dan Awina sudah memiliki Anak dan seumuran dengan Nadia keponakaannya ini. Tapi harapan hanya sebuah harapan, semakin di ekspetasikan semakin sakit bila terus membayangkan bahwasanya ekspetasi itu sudah tak pernah lagi bisa ia capai, Gala hanya bisa berdoa bahwa ia ingin di suatu saat nanti Tuhan masih berbaik hati dengannya dan mempertemukannya dengan Awina, wanita yang sampai sekarang masih menjadi penghuni tetap hatinya. Ugh! Mellow-mellow deh.. “Om-Om udah sampai sini aja, aku udah berani kekelas sendiri kok.” Nadia menghentikan gerak laju mereka. “Beneran? Katanya nantu takut di gangguin sama si rujak-rujak itu?” Gala menanyakan keberanian Nadia. “Razak kelasnya ada di ujung, jadi enggak apa-apa Om berangkat aja ke Kantor.” gadis mungil itu mengusir Omnya. “Ya sudah, belajar yang baik ya, jangan nakal! Nanti Om jemput lagi jam sebelas, Mamamu belum bisa jemput Nadia, Oke!” “Siap Om!” Nadia membentuk tanda hormat dan Gala tak lupa mencium kepala keponakaan cantiknya itu. ∆∆∆ Gala dan pekerjaan adalah teman akrab yang tak bisa di pisahkan, begitupun juga dengan keluarga dua hal itu adalah proritas Gala saat ini, mengabaikan banyak hal-hal yang menurutnya tak penting misalnya rencana sang bundanya yang memintanya untuk kembali menikah mengingat umurnya juga sudah pantas untuk kembali menikah kembali. Tapi Gala tetaplah Gala si keras kepala yang tak pernah mau meloloskan keinginan sang Ibu, karena Gala masih tak ingin menggeser keberadaan Awina di hatinya. Bahkan Ibunya pernah meminta untuk menikah dengan Ayusita teman akrabnya, Ibunya tak pernah tahu bahwa yang menyebabkan kehancuran rumah tangganya dengan Awina adalah Ayusita itu sendiri. Semenjak kejadian Ayusita yang lancang menganggu keharmonisan rumah tangga Gala dan Awina, Gala seperti menarik diri dari Ayusita dan beberapa teman laki-lakinya yang dari semenjak mereka duduk di bangku Sekolah menengah hingga bekerja bersama malah menujukkan peringai yang menyebalkan. “Yu, mau deket bucinan lo nggak nih?” Celetuk Ramlan. “Masih aja lo jodoh-jodohin mereka, mereka tuh udah kaya minyak sama Air bro, nggak nyantol!” Fadli membalas ucapan Ramlan. “Ck, ya karena si Gala nggak mu moveon jad—“ “Ramlan gue sumpel nih ntar lo pake kain lap!” gertak Ayu dan membuat Ramlan tak berani membahas hubungan Ayusita dan juga Gala. “Santai Gal,” Fadli menenangkan Gala yang sudah ingin menerkam Ramlan dan berakhir dengan helaan nafas oleh Gala. Rapat harian yang selesai beberapa menit lalu sembari keluar dari ruangan rapat Gala melihat jam tangan yang melekat kokoh di tangan kirinya, mengecek jam agar ia tak terlambat menjemput Nadia pulang karena sekarang waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Gala lantas menuju ke ruangannya namun saat ia ingin membuka handel pintu ruangannya ada tangan putih dan berkuku lentik menahan lengannya. Gala tahu, ini adalah tangan dari Ayu sebagaimana Gala menghindari perempuan ini tetap saja perempuan ini tetap ngeyel ingin menciptakan pembicaraan yang bagi Gala sudah tidak ada yang mereka bicarakan. Gala mengernyitkan dahinya tanda ‘Ada apa’ pada Ayu yang masih saja menahan tangannya. “Gala, aku mau ngomong.” lirih Ayu yang selalu ia katakan tiap kali menemukan kesempatan untuk mereka bertemu tapi dasarnya Gala yang keras kepala dan egois ia lebih banyak mengacuhkan Ayu. “Soal kerjaan? Apa yang enggak ngerti? Kalo masalah lain aku enggak ada waktu.” tegas Gala yang langsung pada intinya malas berbasa-basi. “Soal dulu, aku minta maaf Gal.” “Aku udah maafin dan ini sudah kata maafmu yang 30 kali.” Sarkas Gala. “Gal, aku—aku menyesal.” “Menyesal memang datangnya di akhir Yu, kalo di depan namanya pembukaan undang-undang, selamat siang. Aku tinggal dulu mau jemput Nadia.” Pamit Gala yang tak jadi masuk ke ruangannya namun ia melanjutkan untuk pergi sedangkan Ayu bengong dengan raut wajah kesal. ∆∆∆
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD