BAB 4

1462 Words
“Rara—Rara—kamu enggak apa-apakan?” panik suara wanita lain “Mama—Rara enggak sakit.” balas Rara dengan polos “Ayo bangun—maaf  ya Mas—terim—Mas Gala!” “Awinaa..” ∆∆∆ Setelah kejadian bola nyasar tadi, Awina membawa Rara dalam pelukannya dan menyembunyikan wajah Rara dari pengelihatan Gala, ia tak ingin Gala melihat wajah anak mereka yang nyata-nyata Rara lebih mirip dengan Gala. Awina belum siap bahwa ia harus memperlihatkan Rara pada Gala dan juga Gala tahu bahwa Rara ini adalah anak mereka—buah hati mereka yang mereka tunggu selama pernikahan mereka dulu. Rara memberontak dalam dekapan sang Mamanya, namun Awina tetap menahan Rara agar tak melihat sosok laki-laki yang tadi menolongnya—Awina belum ingin memberitahu pada Rara bahwa di depannya ini—yang tadi menolongnya itu adalah ayah kandungnya—ayah yang selama ini Rara cari. Katakan Awina egois—memang, apapun itu yang menyangkut Rara dan juga Ayahnya Awina ingin menutup akses, padahal selama ini Awina selalu berdoa agar ia tak lagi di pertemukan dengan laki-laki di depannya itu—laki-laki yang masih awina simpan namanya di hatinya itu. “Mamaaaa! Lepas—Rara enggak bisa nafas!” Rara masih tetap berontak namun sekuat mungkin Awina menahan gerakan Rara. “Terima kasih, sudah menolong dia—saya permisi.” pamit Awina masih mendekap tubuh Rara untuk ia bawa menjauh. Namun bukan Gala namanya bila diam saja, bertemu Awina dengan gadis kecil seumuran Nadia, ia terlanjur ingin tahu siapa anak perempuan yang tadi ia tolong. “Awinaa—stop! Awina!” panggil Gala. Dengan langkah cepat Awina tetap membawa Rara dengan dekapannya tak mengijinkan Rara melihat di sekitarnya. Namun saat Awina ingin menutup pintu mobilnya sebuah tangan kekar menahan pintu mobilnya membuat Awina menghela nafasnya, ini tidak akan mudah lagi bahkan Awina tahu setelah ini hidupnya akan kembali rumit, kenapa dunia harus sesempit ini. “Tolong lepaskan tangan kamu dari mobil saya.” sarkas Awina “Mama—siapa sih Om itu—bukan Om jahat kok—“ “Rara diam, tutup wajahmu sekarang!” bentak Awina kesal Perasaan Awina sekarang campur aduk, ngeyelnya Rara dan juga laki-laki yang masih menahan pintu mobilnya ini sama saja, sama-sama suka ngeyel dan membantah. Akhirnya Awina membuka pintu mobilnya dan keluar dari mobil menemui laki-laki yang pernah menjadi suaminya itu. “Jadi?” “Jadi apa? Aneh kamu Mas, aku enggak ngerti.” “Siapa Rara?” “Keponakaanku, ada masalah?” “Keponakaan ya—kenapa manggil Mama?” Gala mencari tahu “Mamanya meninggal, jadi aku yang asuh.” alibi Awina dengan mantap. “Tapi kenapa kamu menyembunyikan dia dariku, kalo pun itu hanya anak angkatmu?” Gala masih tak ingin berhenti mengulik. “Memang kenapa itu hakku untuk memperlihatkan padamu atau tidak!” “Oh—Aku bisa membuktikan sendiri,” kekeuh Gala yang memutari mobil Awina “Astagaa!” erang Awina ‘aku yakin setelah ini enggak mudah lagi’ batin Awina “Mas Galaaa!” ∆∆∆ Gala tetap kekeuh dengan keinginannya untuk mengetahui anak perempuan yang sedari tadi di sembunyikan Awina padanya, Gala merasakan hal jangal bahwa yang di katakan Awina padanya itu hanya kebohongan. Gala sudah siap akan membuka hendle pintu penumpang mobil Awina suara teriakan memanggil namanya membuat Gala mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil tersebut, Gala teringat bahwa ia menionggalkan keponakaannya tadiu hanya untuk mengejar Awina yang menyembunyikan wajah gadis mungil yang ia tolong tadi. “Omm Galaaa—kenapa malah ninggalin Nadia sih?! Yang di jemputkan Nadia kenapa Om malah kejar orang lain?” protes Nadia kesal. “Ayo omm pulang, Nadia mau ketemu Papa—Om Galaaaa—“ teriak Nadia yang sudah jengkel dengan omnya yang tak segera beranjak dari tempatnya. “Iya sebentar, om mau bilang sama Tante itu dulu, Nadia tunggu disini dulu, Oke—sebentar.” Gala akhirnya menyauti teriakan Nadia yang menyuruhnya segera beranjak itu Gala menghampiri Awina yang masih berdiri di depan mobilnya, kali ini Gala gagal mengungkap rahasia Awina tapi suatu saat nanti Gala tak ingin lengah lagi. “Aku enggak akan berhenti disini, aku akan cari tahu tentang kamu dan anak perempuan tadi Awina.” bisik dalam Gala yang kemudian beranjak dari sisi Awina. ∆∆∆ Di sepanjang perjalanan Awina memang menutup bibirnya dan begitu juga dengan Rara yang tak juga mengatakan pertanyaan tentang laki-laki yang menolongnya tadi hingga wajahnya harus di tutupi dengan blezer sang Mama. Awina masih dalam rasa shock karena ia kembali di pertemukan dengan masalalunya, Awina kira pertemuannya antara Gala tak akan kembali terjadi tapi naasnya jalan Tuhan memang di luar pikirnya. Awina seperti lupa bahwa mereka berdua masih sama-sama menginjakkan kaki di bumi yang sama, tanah yang sama, negara yang sama, dan udara yang sama. “Rara, maafin Mama soal tadi, Mama cuman enggak mau kamu di kenali sama orang masa lalu Mama,” Awina menjelaskan prihal ia harus menyembunyikan wajah Rara. “Kenapa harus di sembunyiin Ma, toh omnya tadi baik nolongin Rara dari senggolan bola.” Rara tak ingin kalah. “Bukan begitu Nak, Mama janji—kalo waktunya sudah tepat Mama akan kasih tau semua.” “Apa ini soal Papa Rara?”Awina menatap Rara dengan air wajah yang kaget. “Kenapa Rara ngomong gitu—kita udah pernah berkompromi ya Rara.” “I know, Ma. Tapi Rara masih tetep mau ketemu Papa.” Kekeuh Rara. “Nanti, enggak sekarang—sekarang kamu diam setelah ini Mama antarkan ke rumah Titta Reni.” tegas Awina telak sedangkan Rara diam. ∆∆∆ Sepanjang Awina kembali bekerja, siang itu tak bisa kembali fokus yang terpikirkan adalah keberadaan Gala dihadapannya tadi. Sudah baik-baik dirinya dan Rara hidup bahagia, aman, sentosa entah kenapa Tuhan kembali mempertemukan dirinya. “Wi, kenapa? Dari tadi aku lihat kamu megangin kepala mulu, kepalamu enggak kemana-mana.” Rudi—rekan dekan kubikel Awina menegur Awina. “Enggak, pusing aja—daritadi aku ngitung ini enggak balance.” “Yang fokus makanya, cowok mulu sih yang lo pikirin.” ledek Rudi lagi. “Mending lo diem deh, makin pusing aku ntar.” Menjadi pegawai dalam pekerjaan desain interior memang harus membutuhkan fokus dan ketelitian dalam bekerja jangan sampai ia salah dalam merangkai sebuah bangunan. Apalagi pertemuannya dengan Gala tadi juga membuat kefokusan Awina terganggu. Siapa sih yang ingin bertemu dengan orang dimasalalu kita, tidak ada yang mau. Cukup sekali saja, tapi semangkir apapun bila Tuhan sudah berkehendak untuk bertemu pasti akan bertemu seperti siang tadi. Vanessa menyenggol lengan Awina saat keduanya sama-sama sibuk, ponselnya berdering namun tanpa suara, sangking Awina fokus dengan pekerjaannya ada panggilan masukpun ia tak tahu. “Siapa Ya, Van—nomernya asing.” Vanessa mengangkat bahunya tanda tak tahu. “Angkat aja coba, speaker aja kalo lo takut.” “Gue angkat dulu coba, kalo aneh-aneh gue blok langsung.” “Oke, gih sana kayaknya daritadi dia telepon lo.” Awina mengangguk lekas mengambil ponselnya dan berlari ke arah pantry kantor. Awina membuka pintu pantry dengan tergesa, panggilan itu sudah tiga kali menghubungi Awina dipastikan panggilan itu pasti saat penting dan sangat membutuhkan Awina dengan cepat, rasa takut menyerbu Awina takut-takut bila ada apa-apa dengan putrinya. “Halloo..” “Awinaa..” ∆∆∆ Siapa yang tidak kaget mendapat panggilan dari orang yang paling Awina hindari, Awina kira Gala tak lagi ingat nomer ponselnya ternyata mantan suaminya itu masih saja menyimpan nomer ponselnya yang kala mereka masih bersama nomer ponselnya dibuat sama, sungguh ironis bukan. Awina masih menatap layar yang menampilkan display panggilan telepon itu, entah ia tak tahu harus melakukan apa. Ditelepon secara mendadak oleh manusia yang tak ingin ia temui dan memiliki urusan lagi. “Hallo, Awina—kamu masih disana?” “Ha—hallloo..iya kenapa, Mas?” “Kamu masih simpan nomer ini?” tanya Gala. “Ma—Masih, ak—aku belum sempat ganti.” Alibi Awina dengan suara gemetar. “Belum sempat ganti apa emang enggak mau kamu ganti?” talak Gala dengan tepat. “Belum sempat—Mas kenapa telepon aku? Masih ada masalah yang belum jelas?” “Ada, soal anak perempuan tadi yang kamu sembunyiin.” “Kurang jelas apalagi sih Mas, aku udah bilangkan gadis yang aku sembunyiin dari kamu itu anak dari keponakaanku.” “Aku enggak percaya! Feellingku ada yang kamu tutup-tutupi.” Gala masih tak terima dengan Awina yang menutupi sesuatu pada dirinya. “Nggak ada, aku bilang—udahlah Mas, kalo mau ngomongin yang enggak penting lagi enggak usah telepon atau hubungi aku, ingat kita udah punya jalan masing-masing, selamat siang!” pamit Awina dengan menutup panggilan telepon sepihak. Awina meremas rambutnya serta mengusap wajahnya kasar, bisa-bisanya ia tak mengganti nomer teleponnya ini, tapi bila ia mengganti semua nomer ponselnya, ia juga akan kerepotan mengganti segala urusannya. “Kenapa jadi rumit begini sih—hhh” ∆∆∆
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD