BAB 5

1663 Words
Gala masih ingat dengan kejadian kala beberapa hari lalu, disaat ia menyelamatkan gadis kecil yang nyata-nyatanya adalah teman dari keponakaannya apalagi Gala kembali ingat penampilan mantan istrinya yang sekarang terlihat semakin matang itu. Dulu, saat Gala dan Awina bercerai di awal umur mereka yang masih awal muda sekali. Perceraian yang mereka putuskan memang menyakitkan satu sama lain namun mereka harus menerima bahwa keadaan yang hancur tak lagi bisa mereka pertahankan lagi. Menyesal sudah pasti, kenapa dulu ia tak bisa mempertahan Awina, mungkin bila pernikahan mereka dulu masih berjalan mereka sudah pasti memiliki anak yang lucu. Gala menatap layar ponselnya yang tertera nomer lama Awina, nomer ponsel yang mereka buat dengan spesial, nomer ponsel yang sampai sekarang masih ia pakai dan semoga Awina masih menyimpan nomer yang sama seperti dirinya hanya saja yang membedakan nomer bagian belakang, dengan tekat yang kuat Gala mencoba mendial nomer tersebut dengan panggilan telepon. Panggilan pertama menyambung senyum sumringah Jaksa tampan itu mengudara, siapa yang tak senang bila Awina masih menyimpan nomernya. “Hallo, Awina—kamu masih disana?” “Ha—hallloo..iya kenapa, Mas?” “Kamu masih simpan nomer ini?” tanya Gala. “Ma—Masih, ak—aku belum sempat ganti.” Alibi Awina dengan suara gemetar. “Belum sempat ganti apa emang enggak mau kamu ganti?” talak Gala dengan tepat. “Belum sempat—Mas kenapa telepon aku? Masih ada masalah yang belum jelas?” “Ada, soal anak perempuan tadi yang kamu sembunyiin.” “Kurang jelas apalagi sih Mas, aku udah bilangkan gadis yang aku sembunyiin dari kamu itu anak dari keponakaanku.” “Aku enggak percaya! Feellingku ada yang kamu tutup-tutupi.” Gala masih tak terima dengan Awina yang menutupi sesuatu pada dirinya. “Nggak ada, aku bilang—udahlah Mas, kalo mau ngomongin yang enggak penting lagi enggak usah telepon atau hubungi aku, ingat kita udah punya jalan masing-masing, selamat siang!” pamit Awina dengan menutup panggilan telepon sepihak. Panggilan terputus kala Gala ingin mengatakan kalimat selanjutnya, entah kenapa saat itu Juga Gala merasa bahwa ia masih bisa mengejar mantan istrinya itu, sungguh entah ini namanya bucin atau t***l atau bagiamana setelah empat tahun pisah dengan Awina cinta untuk mantan istrinya masih tertanam disana. Gala bisa pastikan itu, bahkan sondoran wanita-wanita dari ibunya saja ia tolak hanya karena ia masih tak bisa moveon dari mantan istrinya, pacarnya kala Gala masih menginjak bangku SMA dan kuliah. Awal perceraian antara dirinya juga Awina kala itu membuat Gala merasa terpuruk, ia menjadi manusia tergila menyiksa dirinya dengan tak diri, masih untung Gala tak menjadi gila dan masih bisa berpikir waras. Perjuangan Gala dulu mendapatkan Awina tak mudah dan saat kabar bahwa ia ketahuan selingkuh serta Awina meminta bercerai dengannya adalah salah satu berita paling terburuk untuknya. “Senyam-senyum, gila Pak?” “Gue ketemu sama Awina lagi.” aku Gala pada temannya. “Awina? Awina mantan lo bukan?” tanya Fadli memastikan. Gala mengangguk. “Iya, dia makin matang enggak lagi imut-imut Fad, apalagi dia sekarang jadi ibu angkat dari anaknya saudaranya, dan makin cantik.” Gala menceritakan tentang Awina yang sudah dirasa berubah. “Beneran ya lo nggak bisa moveon dari mantan istri lo?” Gala mengangguk dengan senyumanan konyol. “Gue rasa wanita secantik dia siapapun yang memiliki bila berpisah tak akan bisa lupa gitu apalagi gue bisa dapatin Awina penuh perjuangan dulu.” “Pepet aja lagi gue dukung, asal lo engga kacau kayak dulu.” “Apa dia masih bisa nerima gue lagi ya, Fad.” “Kalo lo berjuang lagi, lo niat buat miliki dia lagi, kerahin semua perjuangan dan usaha lo.” “Gue mau dia jadi milik gue lagi Fad—cuman kayaknya perjuangan gue kali ini bakal sulit banget.” “Yailahh—gitu mau dapetin Awina, semangat dong lo laki gue dukung lo.” kata Fadli menggebu-gebu. “Apalagi kata lo dia ada anak kan? Nah jangan cuman hati emaknya aja lo ambil, anaknya juga kan ntar kalo lo nikah sama Awina lagi itu anak kan juga bakal jadi anakmu.” “Iya, thanks bro!” “Iyee—usaha lo jangan sampai putus.” Gala mengangguk senenag. Kalo Tuhan sudah berkehendak, Gala harus bisa mencari celah dan menguatkan usahakan. Doanya selama ini tak sia-sia, permintaannya dikabulkan dengan baik, bahwa ia kembali dipertemukan kembali pada cinta lamanya. ∆∆∆ Awina membuka gudang yang selama ini ia kunci dengan rapat, beruntung putrinya sedang ada tambahan jam belajar dilantai dua jadi ia bisa dengan leluasa memasuki gudang yang selama satu tahun tak pernah ia buka lagi dan disana terdapat bingkai pernikahannya dengan Gala kala itu. Bohong bila Awina tak merasa sedih, setelah perceraiannya ia benar-benar stres apalagi saat itu ia tengah mengandung dan ia hampir saja kehilangan Rara dalam hidupnya. Saat putrinya lahir Awina menangis karena wajah putrinya plek-ketiplek dengan ayahnya—Gala, maka dari itu Awina sangat menjaga Rara saat itu hingga sekarang, menjaga dari keluarga Gala agar mereka tak tahu bahwa putrinya sangat mirip dengan sang Ayah. Sebuah bingkai poto dengan dengan ukuran besar, Awina memandang dengan hati perih, disana terdapat fotonya dengan Gala kala melakukan foto prewedding serta foto disaat resepsi mereka. “Kenapa kamu datang lagi, Mas?” “Padahal aku udah sembuh, aku sembuhkan rasa sakit hatiku, aku berjuang untuk tak ingat kamu lagi meski berujung gagal tapi sampai sekarang aku masih bisa berdiri dan bertahan.” “Kamu tahu kan Mas, enggak mudah buat lepasin kamu waktu itu tapi aku harus lepasin kamu—kamu ikat hatiku dengan apa hingga saat ini namanu masih terukir disini?” Awina mengusap air matanya dengan kasar ia benci menangis. “Kamu tahu Mas, aku berusaha, aku berjuang sendirian, tanpa kamu—aku lewatin semua ketepurukanku sendiri disaat aku hamil anak kamu.” Awina mengambil bingkai kecil dengan foto kala mereka selesai ijab berfoto memperlihatkan buku nikah mereka yang sampai sekarang masih ia simpan dengan baik. Awina tahu sebagai Ibu ia memang jahat tak memperkenalkan Rara dengan bapaknya, hanya saja ia masih belum siap memperkenalkan Rara dengan Gala bahwa laki-laki yang menolong dirinya siang kala itu adalah ayahnya sendiri. “Maafin Mama Allura, Mama yang belum siap kenalin kamu ke Papa, tapi Mama janji kalo sudah waktu pas dan pasti Mama akan kenalin kamu ke Papa.” lirih Awina. Mengenang kenangan bukanlah hal mudah apalagi menatap kepingan-kepingan kenangan dimasalalu, bila bisa Awina ingin semuanya lenyap tak tersisa tapi seperti tak bisa, karena ia tahu masalalunya adalah bagian dari hidupnya yang akan pernah sirna. ∆∆∆ “Mama, kerumah eyang uti yuuukk—“ rengek Rara yang ke-lima kalinya karena bosan karena sang Mama terlalu fokus dengan kerjaannya meski hari minggu. “Iya, sebentar ya Ra—Mama selesaiin ini dulu, sabar.” “Ya sampai kapan? Sabar mulu, Rara bosan ahh!” “Kamu kerjain pekerjaan rumah aja dulu, adakan daripada diselesaiin nanti malam.” “Ih—Mama, pekerjaan rumah Rara sampai udah habis mau, udah selesai semua.” “Baca buku aja dulu ya, Mama bentar lagi selesai kok ya.” “Mama, kenapa sih kalo Weekand masih kerja—kan udah kerja kalo enggak weekand, bukannya weekand itu waktu buat keluarga ya?” Rara memprotes Awina dengan kesal. “Andai, ada Papa di rumah aku bisa main dulu sama Papa saat Mama lagi kerja gini.” setelah itu Rara pergi dari sisi Awina. Awina terpaku dengan pernyataan Rara baruan, putrinya sekarang sudah bisa memprotes, tapi ia bisa apa—kerap kali putrinya membahas soal Papanya. Menangis sudah pasti, tapi kali ini Awina tertampar dengan kata-kata putrinya. “Rara—Raraa?!” panggil Awina. “Dengerin Mama dulu, jangan ngambek begini dong.” teriak Awina dengan suara purau. Ia tahu, sangat amat tahu bahwa posisinya sekarang ini, namun bagaimana lagi inilah jalan yang sudah ia ambil dengan segala resiko. Akhirnya awina menutup laptopnya segera ia menyusul putrinya yang mungkin ia sedang menangis di kamarnya. “Rara, Mama minta maaf—buka dulu pintunya, Nak. Jangan gini.” “Nggak, aku marah sama Mama!” “Mama tahu, Mama yang salah—ayo buka dulu, Mama mau ngomong.” Suara kunci berputar dan handel pintu dibukanya, menampilkan mata sembab putrinya, lantas Awina segera memeluk putrinya. Sakit melihat putrinya menangis sudah tentu dan itu karena ia menginginkan waktunya dan juga menginginkan Papanya berada disana dengannya, tapi keadaan yang tak mengijinkan. “Maafin Mama, ya Ra.” “Mama begini karena Mama mau bahagiain Rara, mau mencukupi Rara karena Mama cuman punya kamu, kita cuman berdua tanpa Papa kamu.” “Tapi Rara mau ketemu Papa, Ma—Mama selalu janji-janji terus tapi enggak pernah ditepati.” tangis Rara mengencang. “Iya, sayang. Maafin Mama ya, belum ketemu sama Papa—udah dong ra nangisnya, Mama sakit lihat anak kesayangan Mama nangis begini.” “Mau Papaa, mamaaaa!” jerit Rara dalam tangisnya. “Rara iri sama teman-teman Rara disekolah, mereka diantar jemput sama Papa mereka sedangkan Rara dijemput mamang gojek.” “Ya gimana keadaan Rara kan begini, belum ketemu sama Papanya.” Awina sudah kehabisan akal membujuk Rara. “Es krim aja mau?” “Mau Papa.” Rara menatap Mamanya dengan sorot mata kerinduan. “Rara, please dong nak, jangan gini.” “Mama, cariin aku Papa aja sekarang.” “Ngarang! Mana bisa kamu ini—udah sana siap-siap katanya mau ke rumah Eyang Uti.” “Hhhh—iya-iya, sebentar.” Awina menatap rara yang bersiap dengan keperluannya, menghela nafas kasar bahwa ini semua ini tak bisa baik-baik saja setelah ini putrinya akan tetap merongronngnya menginginkan seorang Ayah dalam hidupnya. Sebelum mereka datang ke rumah orangtua Awina, Rara meminta es krim yang tadi dijanjikan, seperti biasa Rara dengan es krim adalah teman baik memborong tiga rasa yang paling ia sukai, karena tahu perasaan putrinya sedang tak baik-baik saja Awina membiarkan putrinya membeli tiga varian rasa. “Setalah ini jangan sedih lagi, atau cari Papa kamu ya.” ledek Awina. “Nggak, Rara masih tetap minta Papa, Mama!” sungut Rara dengan bibir cemberut. “Kok gitu, udah dapat es krim tiga lagi masih mau Papa.” “Es krim cuman bisa ngademin mulut Rara, kalo Papa bisa meluk Rara dengan hangat.” talak Rara tanpa sadar. Awina termenung ditempatnya, putrinya sudah mengatakan hal seperti itu tanpa Awina duga, ia tahu sosok Ayah sangat penting untuk sebuah keluarga namun bila ada suatu masalah hal apa yang akan ia lakukan, bahkan dulu saja ia tak pernah menyangka dengan kejadian hidupnya itu. “Ayo, pulang kita ke rumah Uti.” Namun tanpa mereka sadari, sesosok lain sedang memperhatikan mereka dengan seksama, sorot mata yang tak kedip serta kemenungan sosok itu terpaku, karena ia masih menyesuaikan pengelihatannya bahwa ada sosok gadis kecil mencuri hatinya bahkan wajahnya amat sangat mirip dengannya. ∆∆∆
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD