bc

Kekuatan Cinta

book_age16+
621
FOLLOW
2.5K
READ
possessive
goodgirl
student
drama
campus
city
highschool
first love
school
affair
like
intro-logo
Blurb

“Kinanti?” Pak Rama menghampirinya. “Kamukah ini?”

“Bapak masih ingat Kinan?” suara Kinanti bergetar. Sementara, debar-debar aneh mengganggu ruang jiwanya.

Kalau dia menanyakan kabar istri dan anak Pak Rama, akan membuat hati Kinanti sakit. Walaubagaimanapun, Kinanti belum bisa melupakannya. Dia masih mengaguminya. Ternyata, waktu yang cukup lama, selama hampir lima tahun, dia belum bisa berhenti mencintainya.

“Gimana kuliahmu?”

“Kinan sekarang masuk semester akhir, Pak. Kinan kuliah di…”

“Sastra Indonesia Unpad,” potong Pak Rama cepat sekali. “Dan kamu selalu dapat IP tertinggi di kelasmu. Juga Bapak dengar, di sana kamu sering ikut lomba baca puisi, dan selalu menang. Alumni terbaik seperti kamu, selalu menjadi perbincangan di sekolah.”

Ah, Pak Rama selalu saja memujinya dan membuatnya tersanjung. Dia memang tidak pernah berubah. Masih tetap ganteng, baik dan ramah. Yang berubah, dia sudah menikah dan punya anak, tentunya. Begitu yang terpikir oleh Kinanti.

“Kin, Bapak kangen sekali sama kamu,” Pak Rama menatapnya. Ah, tatapan yang sama seperti dulu. Tatapan penuh arti namun sulit dimengerti Kinanti. Tatapan matanya yang teduh bagaikan telaga. Alangkah damainya bila aku bersuamikan dia! Kinanti berkhayal dalam hati. Tapi segera ditepis khayalannya itu. Ingat Kinanti, dia sudah beristri dan punya anak.

Setelah tidak kuasa menolak tatapannya, Kinanti menundukkan kepala.

“Selama hampir lima tahun, Bapak… sangat ingin ketemu kamu, Kin,” dia bicara setengah berbisik.

“Tolong Pak! Jangan beri Kinan harapan!” ucap Kinanti bergetar. “Kinan tidak mau kecewa lagi.”

“Kinan…” kata Pak Rama pelan sekali, hampir tidak terdengar. “Kamu tahu, selama lima tahun Bapak mencari kamu.”

Dua tetes air mata jatuh di kedua belah pipi Kinanti. Apa arti semua ini? Setelah Kinanti menganggap Pak Rama tidak mencintainya, sekarang dia bilang, selama ini mencari Kinanti. Untuk apa? Cepat-cepat Kinanti meninggalkan Pak Rama. Sungguh, pertemuan ini membuat perasaannya tidak karuan. Walaubagaimanapun, dia tidak ingin asa dalam hatinya tumbuh lagi. Walau tidak bisa kupungkiri, dia sulit melupakan lelaki itu.

chap-preview
Free preview
Tatkala Nada-Nada Cinta Mengalun
Tatkala Nada-Nada Cinta Mengalun   PUISI-nya Emha Ainun Nadjib,  yang berjudul ‘Bahasa Kambing Hitam’, dibacakan Kinanti pada pagi ini.  Keheningan berubah menjadi riuh dengan tepuk tangan, usai dia membaca puisi karya penyair hebat dan berbakat itu. Dia pun  bernapas lega. Rasa puas menjalari dinding hatinya. Bibirnya yang bagus mengulas senyum pada semua teman di dalam kelas yang dirasakannya... mereka semua tampak terpukau. Termasuk, guru Bahasa Indonesia yang tengah menatap Kinanti dengan takjub. Sempat diliriknya cara guru muda itu menatap. Gurunya yang tampan dan baru berusia sekitar dua puluh lima tahun. Mungkin. Bisa juga lebih. Kinanti pun tak begitu tahu pasti. Hanya menghitung kasar, usia mahasiswa yang sudah lulus kuliah dan telah menyandang gelar sarjana, tentunya kisaran segitu. Pak Rama yang semula duduk di kursi guru menghadap meja, tubuhnya berubah beranjak. Lalu melangkah menghampiri Kinanti. Dia berdecak kagum sembari menatap Kinanti terus. Nyaris tak berkedip. Kinanti hanya bisa melirik ke arahnya sedikit lalu segera memalingkan wajahnya, menatap lurus ke depan. Ke hadapan semua temannya yang seperti terhipnotis dengan penampilan Kinanti pagi ini. Pak Rama baru saja mau mengucapkan kalimat pujian tapi tubuh Kinanti segera bergerak menuju ke bangkunya. Rupanya, Pak Rama masih penasaran. Dia melangkahkan kedua kakinya menuju bangku tempat duduk Kinanti. Sungguh, Kinanti merasa tak enak hati tapi juga ada yang meletup-letup di dalam dadanya. Tanpa dapat ditahan tapi dia tak mau menunjukkannya. Dia pun berusaha bersikap tenang. “Kamu hebat!” ucap Pak Rama seraya mengacungkan ibu jari kanannya. Senyumnya terulas. “Makasih, Pak!” kata Kinanti sambil tersenyum bangga. Lalu, cepat-cepat memalingkan muka ke samping, pura-pura sibuk mencari sesuatu di tas sekolahnya, sampai Pak Rama berlalu dari bangkunya. “Baper…” Frida menyikut lengan Kinanti. “Siapa yang baper?” mata Kinanti mendelik. Meski tak bisa dipungkiri akan harapannya selama ini. Dadanya berdebar-debar. Hatinya berdesir. “Ya, kamu lah... siapa lagi?” “Hah?” “Nggak mau ngaku?” “Katamu baper?” “Iyyaaaaaaaa!” Frida gemas banget. “Baper apaan? Kalau baper bawa puisi ya haruuuus laaaaah!” “Baper sama guru kita itu,” bisik Frida. Kepala Kinanti menggeleng cepat. “Salting ya kamu tiap ketemu Pak Rama,” goda Frida. “Oh, tidaaaakkkk…” Kinanti mengangkat kedua bahunya. “Hatimu mengakuinya.” “Dieeeemm!” ucap Kinanti pelan sembari menginjak kaki Firda yang bersepatu dengan kaki kiri Kinanti yang juga bersepatu. Firda meringis karena injakan kaki Kinanti lumayan keras. *** “Kinanti!” panggil Pak Rama ketika Kinanti melewati ruang guru saat istirahat. Frida tinggalkan ditinggal Kinanti di kelas karena belum selesai mengerjakan tugas Matematika. Dan Kinanti pun malas menemaninya. Suka dimintain mengerjakan tugas. Kiannti bukannya pelit pada teman sendiri. Namun, dia ingin Frida tak suka bergantung pada orang lain. Terutama untuk mata pelajaran menakutkan seperti Matematika.  Kinanti menghentikan langkah waktu Pak Rama menghampirinya yang berdiri tidak jauh dari pintu perpustakaan. Tubuhnya tegak dan pandangan sejurus ke depan. “Ada apa, Pak?” tanya Kinanti sedikit gemetar. Selalu begitu setiap kali bertemu guru yang satu ini.   Getar yang  begitu indah dan baru pertama  dirasakannya. Dan sekeranjang harapan untuk menjadi belahan hatinya. Kinanti melirik di tangan kiri Pak Rama yang memegang buku.  “Nih, buat kamu,” Pak Rama menyerahkan buku kumpulan puisi Emha Ainun Nadjib.  Rasa bahagia membaluri hatinya. Dia nyaris tak mampu berkata-kata. Jika saja tak punya rasa malu, dia ingin seklai berjingkrak-jingkrak saking girangnya. Atau kalau perlu, mengecup pipi sang guru yang satu ini. Namun akal sehatnya tentu saja masih berjalan. Wajar kalau dirinya begitu bahagia. Dia pun beruntung tak sedang bersama Frida.  Kinanti merasa diistimewakan. Tidak semua murid bisa mendapat perhatian seperti ini.   Kinanti merasakannya. Apakah Pak Rama punya perasaan khusus padaku? Pikirnya kemudian dengan hati berbunga-bunga. Ingin bibirnya bergerak lalu menyenandungkan lagu-lagu cinta. Namun, lagi-lagi, dia sadar. Dia tengah berada di mana. Bisa-bisa, jika ada orang lain yang melihatnya, nanti dia dianggap gila. Dia pun tersenyum geli dalam hatinya. “Terima kasih, Pak Guru!” ucap Kinanti serius. “Sama-sama, Kin. Kamu... suka buku itu?” “Tentu, Pak. Kinan suka banget. Pasti akan sering Kinan baca. Eh... Kinan deklamasikan maksudnya, hehe.” Pak Rama tersenyum dan senyumnya itu dirasakan begitu manis di mata Kinanti. Sejak saat itu, bayangan Pak Rama seringkali berkelebat dalam benaknya. Pak Rama mulai hadir dalam mimpi malamnya. Rasa kagumnya yang berlebihan, membuatnya terus memikirkannya. Dia rajin datang ke sekolah. Semangat belajarnya kian meningkat. Berjuta doa memanjatkan pada Tuhan akan harapannya yang mungkin terlalu manis. Di kelas sebelas, perasaan Kinanti  belum berubah. Dia tetap mengagumi Pak Rama. Malah, dia tidak diam-diam lagi menyimpan hati pada gurunya itu. Setiap kali Pak Rama menatapnya, Kinanti rasa tatapan Pak Rama mengandung arti. Tatapan mata yang teduh yang serasa menembus jantungnya. Juga senyum manis yang menumbuhkan debar-debar di dadanya. “Kalau aku perhatiin, memang sikap Pak Rama sama kamu beda banget, Kin. Cara menatap kamu, lain dengan natap aku atau yang lain,” ucap Frida, sahabatnya. “Ah, masaaaa…” pipi Kinanti terasa dijalari rasa hangat. Dadanya pun bergetar. Seperti alunan nada yang merdu. Terasa sangat merdu. Indah sekali dirasakannya. Nada-nada indah dalam hatinya terus mengalun. Kinanti ingin menjadi belahan jiwa lelaki itu. Hingga suatu hari.… “Pak Rama ternyata… udah, mmm… tunangan, Kin,” kata Frida, hati-hati sekali. Tapi itu cukup membuat hati Kinanti menjerit. Rupanya, sudah tiga tahun, guru terkasih itu tunangan dengan seseorang. Dan cewek yang beruntung itu sekarang lagi study di Australia. Lalu, apa arti tatapan lembutnya selama ini? Apa arti senyum manisnya yang kerap diberikannya padanya? Juga sikapnya yang baik, semua perhatiannya yang selalu membuatku bahagia dan telah membuat hari-hari Kinanti di sekolah penuh warna. Harapan gadis itu rontok seketika. “Jelas aku kalah saingan sama itu cewek, Frida! Dia kuliah di luar negeri. Sedangkan aku? SMA juga belum tamat,” kata Kinanti tersendat. Tiba-tiba, dua tetes air mata keluar dari kedua sudut matanya. Dia terisak.  Rasa kecewa membaluri hatinya. Dia menangisi cinta pertamanya yang kandas. Dunia dirasanya nyaris runtuh kalau saja Frida tak sering menghiburnya. *** “TUH… Pak Ade menuju kelas kita!” Nayla menunjuk dengan jarinya. Pak Ade, seorang TU setengah baya menuju ke arah kelas dua IPA satu. Mau memberikan surat untuk Andang.             “Berhenti tuh!” semua mata mengarah ke pintu kelas. Ada sekitar sepuluh meter dari tempat mereka berdiri. Seseorang keluar kelas. Jaelani, sang ketua kelas. Bicara babibu lagak orang super sibuk, hanya sebentar lalu masuk lagi. Firda tak tahan menahan geli di hatinya sejak tadi. Lalu meledak tawanya. Hingga memegang perut saking tak bisa menahan rasa lucu yang berlebihan. Membayangkan Andang yang mendapat surat kaleng. Surat palsu yang ditulis dan dikirim dari enam sahabat. Sepucuk surat cinta.                         Sepucuk surat yang wangi             Warnanya pun merah… jambu             Bagai bingkisan pertama             Tak sabar kubuka                         Nayla dan Firda  mengalunkan penggalan lagu indah itu dengan diselingi ngikik.             “Firda, kamu jangan ketawa terus!” Kinanti mengingatkan. “Terutama kalo udah di dalam kelas.”             “Heeh, nanti teman-teman di kelas curiga!”             “Terlebih si Andang!” `           ”Kalo ketahuan… kita yang ngerjain... alamat kita berenam gak akan mendapat kepercayaan dari teman-teman di kelas!”             “Sip… hentikan tawa!” Nayla memberi komando lagi. Semua berhenti.             “Siap graaaakkk!” Kinanti setengah teriak. Firda masih ngikik. Kinanti melotot.             “Oke, oke… aku nurut deh!” Firda masih memegang perutnya.             Melangkah dengan tenang menuju pintu kelas. Di pintu kelas, Kinanti melempar senyum pada semuanya. Tatapannya langsung tertuju pada Andang yang sedang membaca surat. Nayla mencubitnya dari belakang.             Tak lama, seorang guru piket masuk dan memberikan tugas sebelum waktu istirahat tiba. Rosa dan Pretty membahas lagi. Soal surat. Terdengar lagi tawanya sehingga Jaelani melirik ke arahnya. Ia berbisik pada Dendi teman sebangkunya. Dendi mengangguk seolah mengiyakan sesuatu.             Waktu istirahat di kantin sekolah, Jaelani menghampiri enam sahabat yang sedang asik menikmati bala-bala goreng dan cabe rawit. Yang pertama dihampiri Rosa dan Firda.             “Kalian tau hari ini idola kalian lagi hepi?” tanya Jaelani.             “Idola? Siapa?” mata Rosa membulat.             “Siapa lagi kalo bukan Andang…” jelas Jaelani menahan senyum.             “Hah? Idola? Gak laaah. Amit-amit jabang bayi!”             “Naudzubillahiminzalik…”             “Gak boleh gitu sama cowok!” Jaelani coba mengingatkan.             “Terus ngapain kamu nyusul kami kemari?” tatapan Rosa menantang.             “Gini Ros… Fir… semua, ya?” Jaelani menatap satu persatu enam sahabat. Dia selalu berusaha bersikap bijak agar dituruti sebagai ketua kelas yang baik dan tidak berat sebelah.             “Yaaaa…. Ada yang bisa kami bantu?” Kinanti dengan tegas mulai bicara.             “Oke, Rin. Kayaknya cuma otak kamu yang paling jejeg...” Jaelani mengulum senyum . “Maaf becanda…”             “Langsung saja, Jae…” kata Kinanti tak sabar dan agar cowok itu segera pergi.             “Andang dapet surat cinta dari cewek bernama Nur anak Aliyah dan besok mengajaknya ketemuan,” Jaelani memaparkan.             “Si Andang mau?” Nayla nanya.             “Pasti mau,”  Jaelani mengangguk.             “Ya pasti mau dong, bagi dia… itu sebuah anugerah Ilahi!” Neni senyum dikulum.             “Bagus dong, berarti Andang laku tuh!” celetuk Pretty.             “Diem! Aku lagi bicara sama Kinanti, ketua geng kalian!” Jaelani melirik tak suka pada Pretty.             “Oke, Bos!” seru Nayla. “Percepat bicaranya!”             “Abis kalian banyak motong omonganku sih!” Jelani kembali menatap Kinanti. “Nah, gitu, Rin…”             “Terus masalah dengan kami apa, Jae?” tanya Kinanti berusaha bersikap tenang tak seperti sahabatnya yang masih cengengesan. . “Bukankah itu bagus buat Andang kalo emang dia hepi?”             “Dia emang hepi banget, Rin… tapiiii aku curiga lho…” Jaelani menatap Rosa, Firda dan kemudian Neni. “Surat itu bukan dari Nur yang sebenarnya.”             “Maksudmu?’ Nayla menatap Jaelani.             “Kalian… atau salah satu kalian yang nulis surat itu seolah-olah dari Nur, benar?” Jaelani mengakhiri ucapannya dengan nada agak tinggi. Seperti menghakimi. Nayla, Firda dan yang lainnya saling bertatapan. Serta-merta kepala mereka menggeleng.             “Bukan, bukan kami,” Nayla yang  mewakili.             “Alah, dimana ada maling ngaku!” cibir Jelani. “Aku gak senang tauuuu… cara kalian ngerjain orang!”             “Ko kamu main nuduh sembarangan sih?” Pretty teriak.             “Gak usah teriak, aku gak b***k!” Jaelani setengah melotot.             “Kamu sih maen nuduh sembarangan!” sentak Firda.             “Selama ini geng kalian yang suka bikin rusuh di sekolah!” suara Jaelani meninggi.             “Udah ah males ngobrol sama Jaelani!” Rosa mendengus kesal. Lalu melanjutkan acara makan gehu plus cabe rawit.             Setelah Jaelani berlalu dari hadapan mereka, kembali Rosa memulai dengan cekikikan.             “Dasar tiang listrik!” seru Rosa maksudnya pada Jaelani yang tubuhnya tinggi dan kurus.             “Sok bijak!”             “Padahal dia jadi ketua kelas… kita yang dukung, ya?”             “Gak ah, aku gak milih dia!”             “Aku juga!”             “Heh… pokonya dari kita-kita ada juga kan yang milih dia, ko gak pada mau ngaku sih?” Nayla mendelik.             “Lupain soal itu, kita makan cireng colek saos pedas, oke?” Kinanti kembali mencomot cireng yang masih panas di piring besar.             “Tapi ngomong-ngomong… gimana kalo Jaelani lapor sama guru BP?” Firda agak khawatir.             “Hem… gak masalah… paling Pretty yang dihukum,” Neni melirik ke arah Pretty.             “Lho… ko aku sih?” Pretty melotot.             “Kan kamu yang nulis!”             “Heyyy… kamu juga yang beli kertas suratnya!” Pretty tak mau kalah.             “Ah, ko saling nyalahin sih?” Nayla melirik tak suka pada Neni dan Pretty.             “Sudah, sudah gak perlu saling nyalahin… kita harus solid dong,” Firda coba menengahi.             “Kalo sampe kita di ruang BP tersudutkan… kita tinggal limpahkan saja kesalahan ke…”             “Ke siapa?” Nayla melirik Pretty. Pretty pun langsung melirik Kinanti yang anteng menggigit cireng panas lalu dicocolkan pada saos pedas.             “Nah... dia pencetus ide!” Pretty menunjuk Kinanti.             “Ko aku sih?” dahi Kinanti mengernyit. “Aku kan cuma nyaranin membuat surat kaleng saja. Sementara yang bersikeras ngerjain Andang... awalnya kan ide kalian.”             “Kan kamu jago ngomong, Rin… tar kalo didesak sama Pak Hermawan, sang guru BP yang terhormat, kamu bisa jelasin dengan bahasamu yang penuh dengan argument,” jelas Pretty.             “Kamu aneh ya, belom apa-apa… udah bayangin hal buruk, mau dipangil guru BP, mau diapain kek… coba tenang saja,” Kinanti menatap Pretty.             “Abiisss...” Pretty melirik Neni sedikit kesal. Yang dilirik balas meliriknya dengan kesal juga.             “Makanya… gak usahlah punya ide-ide gila segala pada teman,” Kinanti terus mendehem.             “Hemmm…” Nayla mendehem.             “Eheeeeeemmmm…” Rosa ikut mendehem.             “Aheeeeeeeemmm…” Firda latah.             “Sidang ditutup!” Kinanti berdiri setelah menepuk meja sebanyak tiga kali. Semua terdiam. *** Kinanti memandangi sekelilingnya. Masih seperti dulu.   Rasanya, baru kemarin meninggalkan sekolah ini. Padahal, kini dia sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir. Hampir lima tahun dia tidak datang kemari. Dan karena suatu urusan, dia berada di sini. Diduganya, Pak Rama sudah pindah ke kampung halamannya di Yogya. Tapi takdir mempertemukan mereka lagi. “Kinanti?”  Pak Rama menghampirinya. “Kamukah ini?” “Bapak masih ingat Kinan?” suara Kinanti bergetar. Sementara, debar-debar aneh mengganggu ruang jiwanya.  Kalau dia menanyakan kabar istri dan anak Pak Rama, akan membuat hati Kinanti  sakit. Walaubagaimanapun,  Kinanti belum bisa melupakannya. Dia masih mengaguminya. Ternyata, waktu yang cukup lama, selama hampir lima tahun, dia belum bisa berhenti mencintainya.  “Gimana kuliahmu?” “Kinan sekarang masuk semester akhir, Pak. Kinan kuliah di…” “Sastra Indonesia Unpad,” potong Pak Rama cepat sekali. “Dan kamu selalu dapat IP tertinggi di kelasmu. Juga Bapak dengar, di sana kamu sering ikut lomba baca puisi, dan selalu menang. Alumni terbaik seperti kamu, selalu menjadi perbincangan di sekolah.” Ah, Pak Rama selalu saja memujinya dan membuatnya tersanjung. Dia memang tidak pernah berubah. Masih tetap ganteng, baik dan ramah. Yang berubah, dia sudah menikah dan punya anak, tentunya. Begitu yang terpikir oleh Kinanti. “Kin, Bapak kangen sekali sama kamu,” Pak Rama menatapnya. Ah, tatapan yang sama seperti dulu. Tatapan penuh arti namun sulit dimengerti Kinanti.  Tatapan matanya yang teduh bagaikan telaga. Alangkah damainya bila aku bersuamikan dia! Kinanti berkhayal dalam hati. Tapi segera ditepis khayalannya itu. Ingat Kinanti, dia sudah beristri dan punya anak. Setelah tidak kuasa menolak tatapannya, Kinanti menundukkan kepala. “Selama hampir lima tahun, Bapak… sangat ingin ketemu kamu, Kin,” dia bicara setengah berbisik.  “Tolong Pak! Jangan beri Kinan harapan!” ucap Kinanti bergetar.  “Kinan tidak mau kecewa lagi.” “Kinan…” kata Pak Rama pelan sekali, hampir tidak terdengar. “Kamu tahu, selama lima tahun Bapak mencari kamu.” Dua tetes air mata jatuh di kedua belah pipi Kinanti. Apa arti semua ini? Setelah Kinanti menganggap Pak Rama tidak mencintainya, sekarang dia bilang, selama ini mencari Kinanti. Untuk apa? Cepat-cepat Kinanti meninggalkan Pak Rama. Sungguh, pertemuan ini membuat perasaannya tidak karuan. Walaubagaimanapun, dia tidak ingin asa dalam hatinya tumbuh lagi. Walau tidak bisa kupungkiri, dia sulit melupakan lelaki itu. *** Pikiran Kinanti bertanya-tanya. Ada apa gerangan Pak Rama datang ke rumah? Sungguh, Kinanti tidak ingin asa dalam hatinya kembali tumbuh. Selama ini, dia sudah berusaha keras mengusir bayangan lelaki itu dari hatinya meski itu tidak mudah. Mungkinkah dia menginginkanku? pikir Kinanti. Segera digelengkan kepalanya. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Dia tidak boleh larut dengan perasaannya. Biarlah itu menjadi kenangan saja. Lelaki itu tidak mungkin jadi miliknya. Kendati, dulu Kinanti acap berdoa agar kami bisa hidup bersama dengannya. Namun Tuhan menentukan takdir lain. Pak Rama bukan untuknya. Dia dan Pak Rama tak berjodoh dan Tuhan tak merestuinya. Kuatkan aku, Tuhan! Bisik hati Kinanti. “Ada apa ya, Pak?” kata Kinanti setelah menaruh gelas berisi air putih di atas meja. Lalu duduk di hadapannya. Bersikap tenang. Sesaat, Pak Rama menatapnya dengan saksama. Kinanti yang dikenalnya dulu saat masih berseragam putih abu-abu, snagat berbeda dengan Kinanti yang sekarang. Sikapnya sudah begitu dewasa. Meski kalau urusan wajah, Kinanti tetap cantik. Bahkan, jauh lebih cantik. Terlebih, kini sudah bisa merawat wajah juga tubuhnya sehingga tampil mempesona dan mengundang decak kagum dari banyak lelaki. Termasuk, Pak Rama sendiri yang sudah jelas di masa lalu, menaruh perasaan cinta yang dalam padanya. “Kapan hari wisudamu?” tanya Pak Rama. “Mmm… besok, Pak! Kenapa?” Kinanti balik bertanya. “Siapa saja yang mau mengantar?” “Yaa… Mama sama Papa saja!” “Hemmm... saudaramu?” “Maksudnya...?” “Kakak atau adikmu barangkali...” “Kinan kan anak tunggal smenjak dulu, Pak!” “Oh ya?” “Iya! Bapak pelupa, ya? Hehe... rasanya dulu Kinan sempat cerita.” “Maaf kalau Bapak lupa dengan ceritamu, tapi bukan bermaksud...” “Tidak masalah,” potong Kinanti cepat. Mereka sesaat terdiam, hanyut dalam perasaan masing-masing.  “Kalau…” Pak Rama mulai membuka mulutnya lagi. “Apa?” Tanya Kinanti mendengar kalimat Pak Rama yang menggantung. “Mm… pacarmu?” kata Pak Rama, hati-hati sekali kedengarannya. “Pacar?” Kinanti nyaris tertawa, lalu kugelengkan kepala. “Saat ini, Kinan lagi tidak punya pacar” “Sungguhkah, Kin?” Kinanti menganggukkan kepala perlahan. Secercah harapan menggelayutinya. “Berarti, Bapak besok bisa mendampingi kamu?” tanya Pak Rama penuh harap. Gawai Kinanti berbunyi. “Bentar ya, Kinan terima telepon dulu!” Kinanti beranjak dari kursi sofa, pergi ke ruang tengah lalu menempelkan gawai di  telinga kirinya. ”Udah dapet pendamping buat besok?” tanya suara dari sebrang sana. “Ngeledek! Mentang-mentang kamu udah mau tunangan!” ucap Kinanti sedikit sewot. Frida, sahabatnya semenjak SMA dan besok juga sama denganku, mau wisuda. Mereka satu kampus cuma beda fakultas. Terdengar tawa kecil Frida. “Kamu tahu Ilham tetanggaku?” tanya Frida. “Tidak!” ucap Kinanti cepat. “Dia kan mau menikah dengan Wilma sepupuku.” “Nggak nanya!”  “Tapi aku mau kasih tahu!” “Penting buatku?” “Penting lho!” “Hemmm...” “Ilham itu ternyata saudara jauh Pak Rama. Aku juga baru tahu tadi malam.” “Apa hubungannya denganku?” dua alis Kinanti bertaut. “Pasti kamu akan seneng kalau denger hal ini,” Frida terkekeh. “So tau ah!” “Mau tahu tidak?” “Ya, tapi buruan! Jangan belat-belit!” “Wiiiih, mudah marah nona satu ini!” “Aku tutup ya gawaiku?” ancam Kinanti. “Jangaaaaaaan!” sergah Frida cepat. “Oke, aku langsung cerita, ya!” “Yaaaa, cerewet banget kamu!” seru Kinanti agak dongkol dan ingat tamu istimewanya di ruang tamu sendirian. Kedua orang tuanya tengah di luar rumah. “Wilma cerita perihal Pak Rama. Aduh Kin… kamu tahu tidak?” “Tidak!” tegas Kinanti. “Ternyata…” “Ternyata apa?” “Tuh, penasaran ya?” ledek Frida. Bibir Kinanti memberengut. “Kinan... Pak Rama itu sudah lama tidak tunangan cewek yang kuliah di Australia itu. Cewek itu terlalu ambisius belajar…  sampai lupa dia punya tunangan yang setia di Indonesia. Akhirnya…, putuslah pertunangan mereka! Coba Kin, apa itu cerita tidak seru? Nah, kan di fakultas  terutama jurusanmu, banyak yang bisa bikin novel. Kamu bisa kasih ide cerita itu. Endingnya, Pak Rama kembali sama mantan muridnya yang cantik, bintang pelajar, jago baca puisi…” “Intinya gimana?” buru Kinanti tak sabar. “Pak Rama sampai sekarang masih tetap sendiri,” jawab Frida santai. “Belum menikah dan punya anak seperti yang kita kira selama ini?” tanyaku serius. “Yaaa… begitulah! Ada satu hal yang paling penting kamu ketahui, Kin! Sejak kamu di SMA… Pak Rama selalu mencintai kamu.” Kinanti mengira, penjelasan dari Frida sudah cukup. Dihampirinya Pak Rama yang sendirian di ruang tamu. Tengah menatap lukisan yang menempel di dinding ruangan yang putih bersih.  “Pak… masih berlaku tawaran Bapak?” suara Kinanti dipelankan. “Nganter kamu besok wisuda?” Pak Rama menatap Kinanti seperti tidak percaya. Kinanti mengangguk mantap. “Tapi Kin, ada satu permintaan Bapak. Mau kan tidak manggil saya… Bapak lagi. Kayaknya umur kita tidak jauh sekali. Cuma terpaut lima tahun, ‘kan?” Kinanti diam sesaat, lalu, “Oke. Terus, Kinan mesti manggil Bapak, apa ya? Bang, Kang, Mas atau… ya udah Mas saja. Baik Mas Rama, besok pakai pakaian yang rapi ya?” Pak Rama tersenyum. Manis sekali. Alangkah indahnya hari ini. Terima kasih, Tuhan, Kau telah kembalikan Pak Rama padaku! Bisik hati Kinanti. Nada-nada rindu pun mengalun merdu. Begitu merdu bagi Kinanti.***    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

My Secret Little Wife

read
97.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook