Situasi macam apa ini?

1705 Words
Satu bulan, Devan dan Erin akan melakukan pertunangan satu bulan lagi. Erin bahkan sering menginap di rumah Devan. Tapi sayang, selama Erin tinggal di rumah Devan, ia sama sekali tidak bisa bertemu dengan Devan. Itu karena Devan sedang melakukan perjalanan bisnis di luar kota. Olivia dan Devan baru saja menyelesaikan meeting penting dengan client di sebuah restoran. Saat ini Devan dan Olivia sedang berada di kota Surabaya. Mereka akan tinggal di Surabaya selama satu minggu. “Pak, karena meeting sudah selesai, apa saya boleh pergi untuk melihat kota Surabaya? Saya janji, saya tidak akan membuat Bapak repot.” Devan melihat jam di pergelangan tangannya. Sebenarnya ia juga merasa bosan kalau harus berada di kamar hotel berjam-jam. “Saya akan menemani kamu.” Olivia mengernyitkan dahinya. “Apa Bapak yakin?” tanyanya memastikan. Devan tidak menjawab, ia memilih untuk beranjak dari duduknya, setelah itu melangkah keluar dari restoran itu. “Gue gak salah mendengarkan? Tadi dia bilang akan menemani gue kan?” Olivia lalu beranjak dari duduknya, ia lalu mengambil berkas-berkas dari atas meja. “Pak Devan! Tunggu saya!” teriaknya lalu bergegas menyusul atasannya itu. Devan mengajak Olivia ke tempat pariwisata yang sedang hits akhir-akhir ini. Tempat itu bernama Hutan Bambu Keputih. Hutan Bambu Keputih, dulunya adalah tempat pembuangan sampah yang kemudian dimanfaatkan sebagai lahan hijau, dengan bambu yang menjadi tanamannya, dan sekarang menjadi tempat pariwisata. Olivia dan Devan juga bisa menikmati keindahan dari Taman Sakura yang biasa disebut Taman Harmoni Surabaya. “Apa Bapak sering pergi ke tempat ini? sepertinya Bapak sangat mengenal tempat ini?” tanya Olivia sambil berjalan beriringan dengan atasannya itu. Meskipun sangat canggung dan gugup, tapi Olivia berusaha untuk bersikap normal. Bahkan ia mencoba menahan deru detak jantungnya yang seakan ingin keluar dari tempatnya. “Hem, saya sering pergi kesini bersama dengan Emir, kalau kami sedang senggang.” Olivia bahkan tidak pernah menyangka, jika dirinya bisa menghabiskan waktu yang sangat menyenangkan bersama dengan atasannya yang dingin dan keras kepala itu. “Sebaiknya kita duduk disana,” ajak Devan sambil menunjuk sebuah bangku yang terbuat dari kayu yang ada di Taman Sakura. Olivia menganggukkan kepalanya. Olivia melihat ada spot yang sangat menarik untuk berfoto. “Pak, apa saya boleh meminta tolong?” tanyanya dengan hati-hati. “Hem.” “Apa Bapak mau memotret saya disana?” tanya Olivia sambil menunjuk sebuah spot yang menurutnya sangat bagus. “Ok.” Olivia senang, atasannya itu tidak menolak permintaannya. Mereka lalu berjalan menuju spot itu. “Mana ponsel kamu?” pinta Devan sambil menengadahkan telapak tangannya. Olivia mengambil ponselnya dari dalam tas jinjingnya. “Astaga! Baterainya habis lagi!” serunya. Olivia lalu nyengir kuda. “Em... apa saya boleh pinjam ponsel Bapak untuk berfoto?” pintanya. “Makanya, lain kali kamu harus selalu mengecek ponsel kamu. Padahal ponsel itu sangat penting, kalau sampai kamu kesasar, bagaimana coba?” “Ya... amit-amit deh, Pak, jangan sampai,” ucap Olivia sambil mengetuk-ngetuk keningnya sendiri dengan tangan kanannya yang ia kepalkan. “Saya tidak mau sampai ponsel saya dipenuhi oleh foto-foto kamu.” Devan yang hendak melangkah pergi, ditarik tangannya oleh Olivia. Entah darimana Olivia mendapatkan keberanian itu. Devan menajamkan tatapannya ke arah tangan Olivia yang berani memegang pergelangan tangannya. “Ah... maaf,” ucap Olivia lalu melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Devan. “Ayolah, Pak, sekali ini saja. Saya janji, setelah sampai di hotel nanti, saya akan langsung mengisi daya baterai ponsel saya. Setelah itu Bapak bisa mengirim semua foto-foto saya ke ponsel saya. Setelah itu, Bapak bisa menghapus semua foto-foto saya,” pintanya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya. "Sungguh menggemaskan," batin Devan saat melihat Olivia yang begitu memelas saat memohon kepadanya. Apalagi kedua pipi Olivia yang terlihat cabi, membuat Devan ingin sekali mencubit nya gemas. “Please, Pak, sekali ini saja. Saya mohon,” pinta Olivia lagi. “Ok, tapi saya punya satu syarat,” ucap Devan sambil melipat kedua tangannya di d**a. Olivia mengernyitkan dahinya. “Syarat?” Udah kayak tawar menawar aja. “Hem, kalau kamu tidak mau juga tidak apa-apa,” lanjutnya. Olivia kembali menggenggam tangan Devan saat pria itu ingin membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. “Apa syaratnya?” tanyanya kemudian lalu melepaskan genggaman tangannya. “Malam ini kamu temani saya makan malam?” Olivia mengernyitkan keningnya. “Makan malam?” “Kenapa? apa kamu tidak bisa?” Olivia menelan ludah. Ini pertama kalinya ia akan pergi makan malam bersama dengan atasannya. Acara di luar urusan pekerjaannya. Tapi, demi bisa mengabadikan momen-momennya saat berada di tempat yang sangat indah itu, Olivia tidak mempunyai pilihan lain selain menyetujui permintaan Devan. “Ok. Sekarang kamu mau berfoto dimana?” “Disana?” tunjuk Olivia pada spot yang tadi ingin ia pakai untuk berfoto. “Ok. Sekarang kamu pergi kesana. Ambil pose yang bagus.” Olivia menurut bak kucing peliharaan. Ia tanpa ragu berpose bak model terkenal. Cantik. Devan mengambil gambar Olivia dengan begitu baik. Hasil jepretannya juga tidak mengecewakan. “Apa saya boleh melihat foto-foto saya?” Devan memberikan ponselnya kepada Olivia. Olivia menerima ponsel yang Devan berikan padanya. Tapi, saat ia menyalakan ponsel itu, ternyata ponsel itu harus dibuka dengan menggunakan sandi. “Em... terkunci,” ucapnya lirih. Devan lalu menyebutkan sandi ponselnya kepada Olivia. Baru pertama kali ini Devan memberitahu orang lain tentang sandi ponselnya. Olivia dengan cepat menekan nomor-nomor yang tadi disebutkan oleh Devan. Ponsel itu pun mulai terbuka. Ia lalu mencari menu galeri. Terlihat senyuman merekah di kedua sudut bibir Olivia saat melihat hasil jepretan atasannya. “Bapak pandai memotret ya,” pujinya. Olivia terus menggeser-geser layar ponsel itu, ia ingin melihat semua foto-fotonya yang ada di ponsel atasannya itu. Tapi, Olivia sepertinya terlalu bersemangat, hingga tanpa sengaja ia melihat foto pribadi Devan. Dimana foto itu memperlihatkan Devan yang baru saja selesai mandi dengan hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya. Olivia menelan ludah. Tubuh Devan di foto itu sungguh sangat menggoda iman. Apalagi dengan perutnya yang kotak-kotak. Devan mengernyitkan dahinya saat melihat ketegangan di wajah sekretarisnya itu. “Apa yang kamu lihat?” tanyanya sambil mengambil ponselnya dari tangan Olivia. Devan membulatkan kedua matanya. "Astaga! Kenapa gue sampai lupa menghapus foto ini?" gumamnya dalam hati. Devan lalu menatap Olivia yang wajahnya berubah pucat pasi. “Kenapa se-tegang itu? apa kamu belum pernah melihat pria bertelanjang d**a seperti ini?” sindirnya. “Maafkan saya. Saya tidak bermaksud untuk lancang. Saya....” “Apa kamu ingin melihat foto saya yang lainnya? Bahkan lebih seksi dari ini,” goda Devan. Entah mengapa Devan begitu senang menggoda sekretarisnya itu. Apalagi saat melihat kedua pipi cabi itu mulai merona. Olivia menelan ludah. Hanya melihat foto itu saja sudah bisa membuat tubuhnya panas dingin. Apalagi jika ia harus melihat foto Devan yang lebih seksi dari itu. “Maafkan saya, Pak,” ucapnya sambil semakin menundukkan kepalanya. Olivia saat ini sedang bersiap-siap untuk makan malam diluar bersama dengan Devan. “Untung gue membawa gaun yang waktu itu gue beli bersama dengan Rena.” Olivia lalu melepas pakaiannya dan menggantinya dengan gaun yang berwarna hitam itu. Gaun yang terlihat begitu indah di tubuhnya. Apalagi jika di padukan dengan kulit Olivia yang putih bersih tanpa noda sedikitpun. Olivia juga mengerai indah rambut panjangnya, tidak lupa ia memoles sedikit make up di wajah cantiknya. “Ok, semoga penampilan gue ini nanti nggak membuat Pak Devan malu. Apalagi ini pertama kalinya gue makan malam dengan Pak Devan di luar urusan kantor.” Olivia mengambil tas jinjing yang biasa ia bawa saat menghadiri acara-acara penting. Ia lalu melangkah keluar dari kamar hotelnya, menuju kamar hotel Devan yang berada di sebelah kamarnya. Olivia lalu mengetuk pintu kamar hotel yang Devan tempati. “Masuk,” sahut Devan dari dalam. Devan saat ini tengah memasang dasi di lehernya. Olivia membuka pintu dengan perlahan. Ia melihat Devan yang tengah berdiri di depan cermin sambil memasang dasi di lehernya. “Kenapa hanya berdiri situ? Kemarilah, saya butuh bantuan kamu.” Entah mengapa Devan begitu kesulitan menemukan dasi yang cocok untuk kemeja yang ia pakai saat ini. Olivia dengan rasa gugupnya menutup pintu kamar, setelah itu melangkah masuk ke dalam mendekati atasannya. “Apa ada yang bisa saya bantu?” Devan menatap Olivia dari bawah sampai atas. Ia begitu terpukau dengan kecantikan Olivia. Tapi, ia langsung bisa mengembalikan kesadarannya. “Tolong pilihkan dasi yang cocok untuk kemeja saya.” Olivia menganggukkan kepalanya. Ia lalu mengamati beberapa dasi yang tergeletak di atas ranjang. Ia lalu mengambil dasi berwarna biru dongker. “Ini, Pak. Menurut saya ini sangat cocok jika dipadukan dengan kemeja Bapak,” ucapnya sambil mengulurkan dasi yang ada di tangannya. Devan tersenyum, “pakaikan sekalian.” Olivia membulatkan kedua matanya. “Tapi....” Devan mengambil dasi yang ada di tangan Olivia, lalu ia lingkarkan ke kerah kemejanya. Setelah itu ia menarik kedua tangan Olivia. “Kalau kamu tetap tidak mau, maka kita akan seperti ini sampai besok pagi,” ancamnya. Dasar! Bisanya hanya mengancam! “Apa Bapak bisa sedikit membungkuk?” Tinggi Olivia memang hanya sebahu Devan. Devan sedikit membungkukkan kepalanya, dan itu membuat jarak wajahnya dengan Olivia menjadi semakin dekat. Bahkan nyaris tanpa jarak. Olivia sedikit memundurkan kepalanya. Ia bahkan tidak berani menatap wajah Devan. Astaga! Apa sih sebenarnya yang sedang gue lakuin sekarang? Situasi macam apa ini? mana sejak tadi jantung gue sama sekali nggak bisa diatur! Devan menatap wajah cantik Olivia. Entah mengapa ia begitu enggan memalingkan wajahnya. Ia bahkan menelan ludah saat melihat ada yang menyembul dari gaun yang dipakai Olivia saat ini. Melihat itu, sontak membuat Devan memalingkan wajahnya ke arah lain. Bahkan dengan jakun naik turun. Olivia hanya menatap kedua tangannya yang sedang membuat simpul dasi. “Sudah, Pak,” ucapnya setelah selesai memasangkan dasi di kerah kemeja Devan. Devan menatap penampilannya di depan cermin. “Boleh juga.” Devan lalu mengambil jas yang ada di atas ranjang dan memakainya. Setelah itu ia melangkah keluar dari kamarnya. Olivia menyentuh dadanya yang terasa begitu sesak. Ada apa sih sebenarnya dengan gue? Kenapa jantung gue selalu berdebar-debar saat berada di dekat Pak Devan? Gue nggak sedang jatuh cinta kan? Nggakkan? “Apa kamu akan terus berdiri disana? Atau jangan-jangan kamu mau tidur di kamar ini?” Olivia menggelengkan kepalanya, ia lalu melangkah keluar dari kamar itu. Mengikuti langkah atasannya dan berjalan beriringan. Mencoba menyamai langkah Devan yang begitu lebar hingga membuatnya terseok-seok karena saat ini ia menggunakan high heel.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD