Bentakan Devan

1958 Words
Saat ini Devan dan Olivia ada meeting di luar kantor. Setelah meeting selesai, Devan sekalian mengajak Olivia untuk makan siang. Olivia ingin menolak, karena ia merasa tidak nyaman makan siang berdua dengan atasannya. Apalagi saat ini degup jantungnya berdegup dengan sangat cepat. Tapi, Olivia tidak bisa menolak ajakan atasannya itu. Devan saat ini tengah membaca buku menu yang ada di tangannya. “Kamu mau pesan apa?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangannya dari buku menu yang ada di tangannya. “Terserah Bapak aja.” Devan lalu memanggil pelayan. “Saya pesan makanan yang paling enak di restoran ini, dan juga orange jus.” Pelayan itu mencatat pesanan Devan, “mohon tunggu sebentar,” ucapnya lalu melangkah pergi. Devan merasakan getaran di saku celananya. Ia lalu mengambil ponselnya dari saku celananya. Emir! “Halo,” sahutnya saat panggilan itu mulai tersambung. “Van! Lo dimana, hah!” Devan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinganya. “Bisa pecah gendang telinga gue! Ada apa sih!” Devan lalu kembali menempelkan ponselnya di telinganya. “Kalau nggak penting, gue tutup!” lanjutnya. “Apa lo lupa kalau hari ini lo harus menjemput Erin di bandara? Sejak tadi dia menelpon gue terus. Apa ponsel lo sengaja lo matiin tadi?” “Hem, gue lagi meeting tadi. Ni aja belum lama gue aktifin lo malah nelpon. Kenapa nggak lo aja yang jemput? Gue bentar lagi ada meeting penting lagi,” ucap Devan berbohong. Olivia mengernyitkan dahinya. Siapa yang menelpon Pak Devan? Kenapa dia pakai acara berbohong segala? Meeting apaan? “Gue nggak bisa. Sekarang gue lagi sama Siska. Lo pasti tau ‘kan gue lagi ngapain.” Devan langsung mengakhiri panggilan itu. Ia tidak ingin mendengar celotehan tidak penting sahabatnya itu. Pasti yang akan Emir ceritakan soal urusan ranjangnya dengan Siska, dan itu membuat Devan muak. “Olivia, apa kamu bisa ikut saya sebentar?” Olivia mengernyitkan dahinya, “memangnya Bapak ingin mengajak saya kemana?” “Teman saya baru saja balik dari Amerika. Saya harus menjemputnya di bandara sekarang juga. Saya juga tidak mungkin meninggalkan kamu sendirian disini.” Olivia bernafas lega, akhirnya ia bisa sedikit menjauh dari atasannya itu. “Bukankah Bapak tadi sudah memesan makanan? masa mau dicancel?” “Tidak usah dicancel, saya akan membayarnya.” “Jangan, Pak! Mubazir dong. Tidak baik juga membuang-buang makanan. Bapak bisa pergi sekarang untuk menjemput sahabat Bapak itu. Saya disini aja, menunggu makanannya siap. Nanti punya Bapak akan saya bawakan ke kantor.” Devan beranjak dari duduknya. Sebenarnya ia ingin menikmati makan siangnya bersama dengan Olivia. Tapi, ia juga harus menjemput sahabat masa kecilnya itu. “Kalau begitu, saya pergi dulu.” Devan lalu melangkah pergi meninggalkan Olivia. Olivia menghela nafas lega, “akhirnya. Lebih baik gue makan sendirian daripada harus makan berdua dengan Pak Devan. Bisa-bisa jantung gue copot lagi.” Seorang pelayan datang sambil mendorong trolling yang berisi makanan dan minuman yang tadi dipesan oleh Devan. Pelayan itu lalu meletakkan makanan dan minuman itu ke atas meja. “Silahkan dinikmati Nona. Semua makanan ini sudah dibayar oleh pasangan Anda tadi.” Olivia menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya. “Nanti saya akan bawakan makanan yang akan ada bawa pulang.” “Baik, sekali lagi terima kasih.” Pelayan itu lalu pamit undur diri. Olivia mulai menikmati makanan yang ada di depannya. “Sepertinya makanan ini sangat enak.” Olivia mengambil satu sendok makanan lalu ia suapkan kedalam mulutnya. Ia mengunyah makanan yang ada di mulutnya secara perlahan, mencoba menikmati cita rasa makanan itu yang menempel di lidahnya. “Makanan ini enak banget. Pak Devan memang sangat pandai memilih makanan.” Sementara itu, Devan menghentikan mobilnya tepat di depan bandara. Ia melihat Erin sudah menunggu di luar bandara. “Sorry, aku lupa.” Erin tidak peduli dengan permintaan maaf Devan. Ia lebih memilih untuk memeluk pria yang selama ini sangat dirindukannya. “Van, aku kangen banget sama kamu.” Devan melepaskan pelukan Erin, “lebih baik kita masuk ke dalam mobil. Aku nggak mau jadi tontonan disini.” Devan lalu menarik koper Erin dan memasukkan kedalam bagasi mobilnya. Ia lalu membukakan pintu penumpang depan, meminta Erin untuk masuk ke dalam mobil. “Aku akan mengantar kamu pulang ke rumah kamu.” Erin menggelengkan kepalanya. Ia lalu merangkul lengan Devan, “bawa aku ke rumah kamu. Aku kangen sama tante dan om.” Erin memang sudah sangat dekat dengan kedua orang tua Devan, begitu juga dengan Emir. “Apa kamu nggak kangen sama keluarga kamu?” “Kangen sih. Tapi kan mami sama papi sering datang ke Amerika buat jenguk aku. Tapi, tante dan om ‘kan enggak.” Devan memang selalu kalah jika harus berdebat dengan Erin. Sesampainya di rumah, Devan lalu meminta asisten rumah tangganya untuk mengambil koper Erin dari bagasi mobilnya. “Tante....” Erin langsung berhambur memeluk Mayang—mamanya Devan. “Sayang! Kapan kamu sampai di Jakarta?” “Baru saja, Tante. Erin kangen...banget sama Tante.” Mayang mengusap lengan Erin, “Tante juga kangen sama kamu, Sayang. Kebetulan kamu datang. Apa kamu sudah makan siang?” Erin menggelengkan kepalanya. “Sayang, apa kamu sudah makan siang?” tanya Mayang pada putranya. “Belum, Ma. Biar nanti Devan makan di kantor aja.” Devan teringat akan Olivia yang akan membawakan makanan yang tadi ia pesan ke kantor. Erin merangkul lengan Devan, “nggak boleh! Kamu harus temani aku makan. Aku kan baru sampai, masa kamu lebih mentingin pekerjaan kamu ketimbang aku? ya ‘kan, Tan?” Mayang menganggukkan kepalanya, “iya, Sayang. Lebih baik kamu makan siang di rumah dan temani Erin. Soal urusan kantor, biar sekretaris kamu yang urus.” “Tapi, Ma...” “Nggak ada tapi-tapi. Pokoknya kamu harus temani aku makan siang. Tan, Erin boleh menginap disini ‘kan?” Devan membulatkan kedua matanya, “nggak boleh!” tolaknya. “Boleh kok, Sayang. Justru Tante senang kamu mau menginap di rumah ini. Dengan begitu Tante nggak akan kesepian lagi. Ya gini, punya anak Cuma satu. Disuruh nikah nggak mau,” sindir Mayang untuk anak semata wayangnya. Apa! Devan belum punya calon istri? Ini kesempatan aku untuk mendekati Tante Mayang. Siapa tau dia mau menjodohkan aku dengan Devan. “Sudahlah, Ma. Devan nggak mau membahas itu.” “Ayo kita makan sekarang. Aku masih banyak pekerjaan di kantor.” Devan lalu melangkah menuju ruang makan. Erin duduk disebelah Devan. Mayang tersenyum melihat betapa manjanya Erin pada Devan. Sejak dulu, ia memang ingin sekali menjadikan Erin sebagai menantunya. “Sayang, apa kamu sudah mempunyai kekasih?” tanyanya sambil tersenyum menatap Erin. Erin menggelengkan kepalanya, “belum, Tan. Mana sempet Erin memikirkan itu, Tan. Erin sibuk dengan pekerjaan Erin,” sahutnya sambil menepiskan senyumannya. “Kalau begitu, bagaimana kalau kamu menikah dengan Devan? Kalian sangat cocok.” Devan yang baru saja memasukkan makanan ke dalam mulutnya, tiba-tiba tersedak. Ia pun terbatuk-batuk. Erin dengan sigap langsung memberikan segelas air putih kepada Devan. Ia juga menepuk-nepuk punggung Devan. “Kalau makan jangan sambil melamun, makanya tersedak,” godanya. Devan sudah merasa lebih baik setelah meneguk air putih yang diberikan Erin. “Ma! Devan nggak mau menikah! Kenapa sih Mama selalu memaksa Devan untuk menikah!” “Itu juga demi kebaikan kamu, Sayang. Mama dan Papa sudah semakin tua. Mama dan papa juga ingin melihat cucu Mama lahir sebelum Mama meninggal nanti.” Erin beranjak dari duduknya, ia lalu mendekati mama nya Devan. “Tan, jangan bicara seperti itu dong. Erin ‘kan jadi sedih,” ucapnya sambil memeluk wanita paruh baya itu. “Sayang, kamu mau ‘kan menikah dengan Devan?” Erin menatap Devan. Ia lalu tersenyum, “jika itu keinginan Tante. Maka Erin nggak bisa menolaknya. Erin mau kok menikah dengan Devan.” Devan membulatkan kedua matanya, “Erin! Apa kamu bercanda?” Erin menggelengkan kepalanya, “Van. Asal kamu tau, aku sudah mencintaimu sejak kita masih duduk dibangku SMA. Tapi, selama ini aku memendamnya, karena aku takut. Aku takut kamu akan menolakku, dan aku nggak mau kehilangan kamu.” “Tapi ini pernikahan, Rin! Bukan hal yang bisa kamu putuskan begitu saja!” “Sejak awal, keinginan aku hanya satu, Van. Yaitu menikah denganmu. Hanya itu yang aku mau.” Mayang tersenyum, ia lalu mengusap lengan Erin. “Besok Tante dan om akan membicarakan ini dengan kedua orang tua kamu, Sayang. Tante senang, kamu mau menjadi menantu Tante.” Erin menganggukkan kepalanya, “Mama dan Papa pasti setuju kok, Tan. Karena Mama dan Papa juga sangat ingin melihat Erin menikah,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. “Ma! Bagaimana bisa Mama memutuskan semuanya tanpa meminta pendapat Devan!” seru Devan kesal. “Mama melakukan semua ini juga demi kebaikan kamu. Kamu dan Erin sudah saling mengenal sejak kecil. Kalian bahkan tumbuh besar bersama. Erin wanita yang baik, dan Mama tetap akan menjadikan Erin sebagai menantu Mama. Kamu mau setuju atau tidak, Mama tetap akan melamar Erin kepada kedua orang tuanya.” Devan beranjak dari duduknya, “terserah!” Devan lalu pergi meninggalkan ruang makan. “Tan. Bagaimana ini? Devan pasti sangat membenci Erin.” Mayang mengusap lembut lengan Erin, “kamu tenang saja, Sayang. Devan selama ini tidak pernah membantah permintaan Tante. Tante akan pastikan Devan mau menikah denganmu.” Erin menganggukkan kepalanya dengan senyuman di wajahnya. Sesampainya di kantor, Devan langsung masuk ke dalam ruangannya tanpa mempedulikan Olivia yang menyapanya. Devan melihat paper bag ada di atas meja kerjanya. Ia lalu membuka paper bag itu. Ternyata isi paper bag itu adalah makanan yang tadi ia pesan di restoran. Devan lalu mengambil gagang telepon, ia lalu memencet tombol angka satu yang langsung tersambung ke telepon yang ada di meja kerja Olivia. “Masuk ke dalam ruangan saya,” ucapnya setelah Olivia menjawab panggilan teleponnya. Setelah itu ia menutup telepon itu dan meletakkan kembali gagang telepon itu. Olivia mengetuk pintu ruangan atasannya. Setelah mendapatkan sahutan dari dalam, Olivia lalu membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan itu. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyanya sambil sedikit membungkukkan tubuhnya. “Kamu buang makanan ini.” Olivia mengernyitkan dahinya, “bukankah itu makan siang, Bapak? Kenapa harus saya...” “Jangan banyak bertanya! Lakukan saja perintah saya! Paham!” bentak Devan dengan emosi yang memuncak. Olivia begitu tercengang. Ia tidak tau apa salahnya, hingga atasannya membentaknya seperti itu. Hati Olivia merasakan nyeri yang luar biasa sakitnya. Ada apa dengan gue? Kenapa hati gue bisa sesakit ini saat mendengar bentakkan Pak Devan? “Kenapa kamu masih disini? Apa kata-kata saya masih kurang jelas?” tanya Devan penuh penekanan. “Ma—maafkan saya. Saya akan membuang makanan ini.” Olivia lalu mengambil paper bag itu, “kalau begitu saya permisi,” lanjutnya lalu melangkahkan kakinya keluar dari ruangan atasannya itu. Pintu lift mulai terbuka, Olivia lalu melangkahkan kakinya keluar dari lift itu. “Vi!” teriak Ardi yang melihat Olivia baru saja keluar dari lift. Ardi lalu bergegas menghampiri Olivia. Ia mengernyitkan dahinya saat melihat kedua mata Olivia yang memerah. “Vi, lo kenapa? lo habis nangis?” tanyanya cemas. Olivia menarik tangan Ardi dan memberikan paper bag itu kepadanya. “Ini buat lo aja. Mubazir kalau gue buang,” ucapnya lirih. “Ini apa?” Ardi lalu membuka paper bag itu, “makanan? kenapa lo kasih makanan ini ke gue?” “Itu punya Pak Devan. Dia minta gue untuk membuangnya. Padahal makanan itu mahal. Gue susah payah membawakan makanan itu untuk dia. Tapi, dia dengan seenaknya minta gue untuk membuangnya,” sahut Olivia sambil menundukkan wajahnya. “Jadi, lo menangis gara-gara Pak Devan?” Olivia membulatkan kedua matanya. Ia hampir saja membuat Ardi curiga padanya. “Bu—bukan seperti itu. Gue nggak nangis. Gue hanya marah. Kenapa dia bisa seenaknya membuang makanan yang dengan susah payah udah gue bawa untuknya. Padahal dia sendiri yang meminta gue untuk membawakan makanan itu ke kantor tadi,” elaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD