Keputusan Devan

1775 Words
Mayang meminta putra tunggalnya untuk duduk bersama dengannya dan juga suaminya. Ada sesuatu hal yang ingin ia sampaikan kepada putra tunggalnya itu. Devan berjalan menuju ruang tengah dengan kedua telapak tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana nya. Ia melihat kedua orang tuanya sudah menunggunya di ruangan itu. Devan melihat kedua orang tuanya yang tersenyum menatapnya saat ia masuk ke dalam ruangan itu. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di sofa tunggal. “Apa yang ingin Mama bicarakan sama Devan?” tanyanya kemudian. Mayang menatap suaminya, seakan meminta izin kepada suaminya untuk mengatakan maksud mereka yang meminta Devan untuk menemuinya malam ini. Farhan mengangguk dengan perlahan. “Mama sudah membicarakan apa yang tadi siang Mama katakan sama kamu dan Erin sama Papa.” Devan mengernyitkan dahinya. “Mama dan Papa sudah memutuskan untuk melamar Erin besok malam. Kamu harus mempersiapkan diri kamu,” lanjut Mayang. “Ma! Kok Mama mengambil keputusan tanpa minta persetujuan Devan dulu. Yang mau menikah itu Devan lho Ma, bukan Mama! Devan juga yang akan menjalani semua itu!” Devan tidak menyangka, kedua orang tuanya akan mengambil keputusan penting yang menyangkut soal masa depannya tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Erin memang gadis baik. Selama ini ia memang nyaman berteman dengannya. Tapi, untuk menjadikan dia istri... apa ia akan bisa melakukannya? Apa ia bisa menikah dengan Erin yang sama sekali tidak ia cintai? “Van. Papa menyetujui usul Mama kamu, karena Erin itu sahabat kamu. Kamu pasti sudah mengenal Erin luar dan dalam.” Devan mengernyitkan dahinya. “Maksud Papa apa?” “Em, maksud Papa, kamu sudah tau sifat buruk dan baiknya Erin. Kalian bahkan tumbuh besar bersama. Jadi kalian tidak akan terlalu canggung nantinya.” “Tapi, Pa! Devan sama sekali gak mencintai Erin. Devan hanya menganggapnya sebagai teman. Bagaimana bisa Devan menikah dengan....” “Cinta bisa tumbuh dengan sendirinya, Sayang. Apalagi Erin sangat mencintai kamu. Bukankah itu sudah cukup?” potong Mayang. “Van. Apa kamu lupa dengan kebaikan keluarga Erin sama keluarga kita dulu?” tanya Farhan dengan nada serius. “Devan nggak lupa, Pa. Tapi....” “Kenapa? apa kamu mempunyai kekasih? Kalau kamu sudah mempunyai kekasih, maka Papa tidak akan menjodohkan kamu dengan Erin. Papa juga ingin kamu bahagia.” “Pa!” pekik Mayang yang tidak menyangka suaminya akan memberikan solusi untuk Devan menolak perjodohan yang ia tawarkan. Devan menggelengkan kepalanya. “Tapi, meskipun Devan gak punya kekasih saat ini, bukan berarti Devan mau menikah dengan Erin.” “Sayang, Mama mohon,” pinta Mayang dengan wajah memelasnya. Devan menatap wajah kedua orang tuanya secara bergantian. “Kenapa Mama melakukan ini sama Devan? Kenapa, Ma?” “Karena Mama ingin kamu menikah. Erin adalah gadis yang baik. Mama dan Papa juga sudah mengenalnya sejak kecil. Dia juga dari keluarga yang terhormat. Kurang apalagi coba? Erin adalah menantu idaman. Mama yakin, kamu gak akan menyesal mau menerima perjodohan ini.” “Ma, kasih Devan untuk berpikir,” pinta Devan. “Ok, Mama akan kasih waktu untuk berpikir. Tapi hanya malam ini. Besok Mama ingin mendengar keputusanmu. Jika kamu memang sayang sama Mama dan Papa, maka kamu gak akan pernah membuat Mama kecewa. Mama melakukan semua ini juga demi kamu. Mama dan Papa sudah semakin tua. Mama ingin melihat cucu Mama sebelum Mama meninggal.” “Ma....” Farhan mengusap pundak istrinya. “Van. Turuti kemauan Mama kamu,” lanjutnya. Devan menghala nafas. Ia tidak tau harus mengambil keputusan seperti apa. Ini pertama kali kedua orang tuanya memohon kepadanya. “Akan Devan pikirkan, Ma, Pa. Besok akan Devan kasih jawabannya.” Devan lalu beranjak dari duduknya. “Maaf, Ma, Pa. Devan masih banyak kerjaan,” lanjutnya lalu melangkah pergi dari hadapan kedua orang tuanya. “Pa, Devan akan menerima perjodohan ini kan?” “Kita tunggu besok aja, Ma. Papa gak akan memaksa jika Devan gak mau.” Mayang menghela nafas. Ia tetap tidak akan menyerah untuk membuat Devan menyetujui tentang perjodohan yang ia tawarkan. Sudah sangat lama ia ingin menjadikan Erin sebagai menantunya, apalagi keluarga Erin bisa membantu perusahaan yang saat ini tengah dipimpin oleh putranya. Saat ini Olivia ingin menyerahkan berkas-berkas yang harus ditanda tangani oleh Devan. Tapi, setelah apa yang terjadi kemarin siang, entah mengapa ia masih belum bisa memaafkan sikap atasannya itu. “Sekarang apa yang harus gue lakukan? Tapi kan semua berkas-berkas ini harus segera ditanda tangani oleh Pak Devan.” Olivia mendengar suara dering ponselnya. Ia lalu mengambil ponselnya dari dalam tas jinjingnya. “Ardi! Pasti dia mau nanyain soal berkas-berkas ini.” Olivia lalu menjawab panggilan Ardi. “Hem...” sahutnya dengan deheman. “Sudah ditandatangani belum tu berkas-berkas? Harus gue kasih sekarang. Udah ditungguin soalnya.” “Hem, tunggu ya.” “Jangan lama-lama. Jangan lo campur adukkan masalah pribadi lo dengan pekerjaan. Kita ini hanya bawahan, jangan sekalipun memprotes apa yang dilakukan atasan kita. Yang penting dia gak sampai melukai harga diri kita.” Ardi mencoba mengingatkan Olivia. “Hem, lo tenang aja. Gue udah lupa kok soal masalah kemarin,” ucapnya berbohong. “Ya udah, gue mau ke ruangan Pak Devan dulu,” lanjutnya lalu mengakhiri panggilan itu. Olivia mengambil nafas secara perlahan, lalu membuangnya secara perlahan. “Tenang Olivia, lo harus tenang. Apa yang Ardi katakan memang benar. Lo hanya bawahan, dan lo gak berhak untuk protes apapun yang bos lo lakukan. Yang penting dia gak menyakiti lo dan harga diri lo.” Olivia mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri. Ia lalu beranjak dari duduknya, melangkah menuju ruangan atasannya. Olivia mengetuk pintu. Ia lalu membuka pintu itu setelah mendengar sahutan dari dalam. Olivia lalu melangkah masuk ke dalam ruangan Devan. “Ada apa?” tanya Devan dengan nada dingin, ia bahkan tidak mengalihkan tatapannya dari layar laptop yang ada di depannya. Memikirkan soal perjodohan yang kedua orang tuanya ajukan saja sudah sangat membuatnya pusing, belum lagi masalah pekerjaan. Devan merasa kepalanya seakan ingin meledak. Andai saja ia mempunyai tempat untuk tempatnya meluapkan amarahnya. Wah... Olivia, kamu masuk ke kandang macan dong. Hati-hati, nanti kamu digigit lagi. “Saya ingin Bapak menandatangani berkas-berkas ini.” Olivia lalu meletakkan berkas-berkas itu ke atas meja. Devan hanya melirik ke arah berkas-berkas itu, setelah itu ia kembali menatap layar laptopnya. “Apa kamu sudah mengecek semuanya?” “Sudah, Pak.” Devan mengambil berkas-berkas itu, membuka dan membacanya satu persatu. Sama sekali tidak ada kesalahan di berkas-berkas itu. Tanpa pikir panjang Devan lalu menandatangi semua berkas-berkas itu. “Apa hari ini saya ada jadwal meeting penting?” tanyanya sambil memberikan berkas itu kepada Olivia. Devan ingin mencari alasan untuk menolak ajakan kedua orang tuanya untuk datang ke rumah Erin malam ini. Tentu saja, hanya pekerjaannya lah yang bisa dijadikan alasan untuk saat ini. Olivia mengambil berkas-berkas itu dari tangan Devan. “Tidak ada, Pak. Siang ini sampai sore nanti Anda free,” sahutnya. “Kamu yakin?” tanya memastikan lagi. Devan berharap Olivia salah, dan mengatakan jika sore ini ada jadwal meeting sampai malam mungkin. “Tidak, Pak. Bapak hari ini benar-benar free,” sahut Olivia lagi. Ada apa sih dengannya? Bukannya seharusnya dia senang ya karena hari ini dia punya banyak waktu untuk istirahat? Kenapa sepertinya dia malah sedih gitu? “Kalau begitu saya permisi dulu, Pak,” pamitnya lalu melangkahkan kakinya keluar dari ruangan atasannya. Devan menghela nafas. “Kenapa disaat genting seperti ini malah gak ada meeting penting atau apapun itu. Sekarang bagaimana cara gue untuk menolak ajakan Mama?” Devan mengerang frustasi. Sesampainya di rumah, Devan dikejutkan oleh panggilan mamanya. Padahal ia baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. “Ada apa, Ma? Devan capek, mau istirahat.” Terlihat dengan jelas, tak ada semangat sedikitpun pada diri Devan malam ini. Andai ia punya tempat untuk bersembunyi, maka ia akan pergi ke tempat itu. Apartemen? Tidak, kedua orang tuanya pasti akan mendatangi apartemennya. Rumah Emir? Tidak, pasti saat ini Emir sedang menghabiskan malam panas bersama dengan Siska. “Sayang, kamu gak lupa kan dengan janji kamu semalam? Sekarang Mama ingin mendengar keputusanmu.” Apa aku punya pilihan lain? Enggak ‘kan, Ma! Devan memaksakan senyumannya. “Devan akan lakukan apa yang Mama mau, jika itu bisa membuat Mama bahagia.” Mayang tersenyum. Ia lalu memeluk putra semata wayangnya. “Terima kasih, Sayang. Lebih baik sekarang kamu bersiap-siap dulu. Tadi Erin menelpon dan mengundang kita untuk makan malam.” Devan menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu Devan siap-siap dulu.” Mungkin ini yang terbaik buat gue. Erin gadis yang baik, dia juga cinta sama gue. Apa susahnya untuk mencoba mencintainya. Mungkin dengan seiring waktu, gue akan jatuh cinta padanya. “Bagaimana, Ma? Apa Devan mau menikah dengan Erin?” tanya Farhan saat istrinya mendudukkan tubuhnya disampingnya. Mayang menganggukkan kepalanya. “Mama sudah gak sabar ingin melihat mereka menikah. Terus memberikan cucu untuk kita, Pa,” ucapnya dengan wajah yang berbinar-binar. Akhirnya, apa yang Mayang inginkan selama ini, akan segera terwujud. Senyumannya bahkan sejak tadi tak lepas dari kedua sudut bibirnya. “Semoga Devan mengambil keputusan ini bukan karena terpaksa, Ma. Papa ingin Devan bahagia dalam menjalani kehidupan pernikahannya. Belum lagi, Erin adalah seorang model, dia pasti akan disibukkan dengan jadwal pemotretannya.” “Papa tenang aja. Mama akan meminta Erin untuk berhenti jadi model, agar dia bisa fokus dengan suami dan juga anak-anaknya kelak. Lagian, Mama sudah gak sabar ingin menimang cucu.” “Semoga Erin mau menuruti apa yang Mama mau.” Farhan lalu beranjak dari duduknya. “Sebaiknya kita juga harus bersiap-siap, jangan sampai membuat Erin dan keluarganya menunggu.” Mayang menganggukkan kepalanya, ia lalu beranjak dari duduknya dan mengikuti langkah suaminya menuju kamar untuk bersiap-siap. Sedangkan Devan saat ini tengah berdiri di depan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Ia tengah memakai dasi sambil bercermin. “Gue yakin, ini adalah yang terbaik buat gue. Lagian, gak ada salahnya kan menikah dengan sahabat sendiri. Nggak akan canggung juga. Anggap aja ini hanyalah sebuah kompromi yang akhirnya mengikat gue untuk selalu ada buat Erin.” Setelah bersiap-siap Devan keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga satu persatu-satu. Ia melihat kedua orang tuanya sudah menunggunya di ruang tamu. Mayang melangkahkan kakinya mendekati putra semata wayangnya. Ia lalu membetulkan jas yang dipakai putranya itu. “Anak Mama memang tampan. Erin juga cantik. Kalian memang pasangan yang serasi,” pujinya. Devan hanya menepiskan senyumannya. “Ayo kita berangkat, Ma, Pa,” ajaknya. Mereka lalu melangkah keluar rumah. Mereka berangkat dengan diantar oleh supir pribadi keluarga Devan. Devan duduk di depan bersama dengan supirnya, sedangkan kedua orang tuanya duduk di belakang. Dalam perjalanan, Devan terus mendengar celotehan mamanya yang sudah tidak sabar ingin melihatnya menikah, memberikan cucu padanya. Devan merasa jengah. Ia memilih untuk diam sambil menatap keluar jendela. Ia berharap malam ini waktu berlalu dengan cepat dan mengakhiri semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD