Brianna Shareen

1033 Words
Setelah tiba di kelas, kembali kulanjutkan langkah menuju kursi di sudut belakang. Sudut? Benar. Aku memang terbuang. Kelas yang tadinya ricuh sontak berubah tenang tatkala sosok Wanita berambut blonde tampak berjalan masuk dan duduk di kursi khususnya. Aku menarik napas panjang sembari sesekali mengetuk-ngetukkan bolpoinku di ujung dagu, berusaha fokus dan mendengarkan Ma'am Adel mengabsen nama-per-nama. "Brianna Shareen?" "Here, Ma'am!" jawabku cepat, sembari tangan kanan yang kuacungkan. Ah, iya. Aku memang mengganti namaku, dan itu juga tanpa sepengetahuan ayah. Dari Humaira Shareen berganti menjadi Brianna Shareen. Dari GADIS MANIS BERPARAS CANTIK, berganti menjadi GADIS MANIS YANG KUAT, TAK KENAL LELAH, DAN TANGGUH. Lebih cocok, bukan? Jika aku pernah bilang tidak percaya tentang nama yang merupakan doa, maka sekarang kuumumkan lagi bahwa pikiranku berubah. GADIS MANIS BERPARAS CANTIK? Aku malu tersenyum, tentu saja karena memalukan dan tidak manis. Tapi karena kulitku berwarna coklat, dan coklat itu manis, maka yang Shareen masih bisa kuterima. Tapi Humaira? Sayangnya ... parasku tak ada cantik-cantiknya. Daripada harus selalu menyesal karena tak terlahir serupa sesuai arti nama, maka kuputuskan untuk menggantinya menjadi Brianna saja. Setidaknya lebih menggambarkan. Karena jika tidak, mana mungkin aku masih tetap mau ke sekolah dengan perlakuan buruk yang selalu kuterima tanpa jeda? Suara ricuh di bawah sana berhasil memaksaku menoleh dan mengalihkan perhatian sebentar. Meski menyedihkan, ada kalanya juga aku memutuskan bersyukur karena mendapat kursi di sudut. Posisiku tepat di samping jendela. Selain bisa merasakan hangatnya sapaan angin, dari sini, aku juga bisa menyaksikan para most wanted boy sekolah bermain basket sembari menebarkan pesona. Meski saling punya wajah tampan yang memikat, tapi aku lebih menggemari pemain dengan nomor punggung 3 itu. N-O-A-H, Noah. Nama yang─ "HEY, SHAREEN?!" Aku tersentak kaget sembari cepat-cepat berbalik. Astaga, sial! "Bring your book, and come forward!" Selain melongo, aku tidak bisa apa-apa. M--maksudnya? "Bawa bukumu dan maju ke depan, Shareen!" Oh. Aku mengangguk-angguk paham. "Hey, Shareen?!" "I--iya, Bu." Dengan penuh perasaan gugup, aku bergegas bangkit kemudian melangkah ke depan dengan wajah menunduk. Kesialan apa lagi ini? "Buka halaman dua puluh tujuh, dan coba jelaskan materinya. Cepat!" Aku langsung mengangguk tanpa menghiraukan tertawaan yang sudah menggema di ruang kelas. Semoga tidak begitu susah─ astaga. Yang tadi saja aku sangat tidak paham maksudnya, apalagi jika harus menjelaskan materi berparagraf-paragraf begini. "Kenapa? Tidak bisa, bukan?" Aku menoleh sekilas kemudian menunduk lagi. "Sudah tahu otakmu lambat menerima, tapi masih saja berani tidak memperhatikan. Silakan keluar saja!" Tanpa pernah mengangkat wajah lagi, langsung saja kubawa langkahku meninggalkan kelas hingga tiba di taman sekolah. Kadar kecerdasan yang sangat rendah, dan ayah juga tidak kaya. Lalu mengapa aku bisa berada di sekolah mahal berkualitas ini jika bukan disebabkan oleh kedua hal tadi? Andai aku terlahir cerdas, maka pasti ada cukup peluang untukku meraih beasiswa. Sayangnya ... Takdir mengatakan tidak. Meski harus tertindas, aku juga tetap ingin berada dalam lingkungan orang-orang teratas. Awalnya ayah menolak, tapi karena aku tetap kukuh dan tak mau tahu, ia pun memutuskan untuk mengiyakan saja. Siapa suruh menghadirkanku di bumi jika tidak sanggup membiayai? ••• I'd rather spoil all my friends with my riches Think retail therapy my new addiction Whoever said money can't solve your problems? Must not have had enough money to solve 'em They say "Which one?" I say "No, I want all of 'em" Happiness is the same price as red-bottoms [♪] I want it, I got it, I want it, I got it I want it, I got it, I want it, I got it (Baby) You like my hair? Gee, thanks, just bought it (Oh yeah) I see it, I like it, I want it, I got it (Yeah) ~ Aku rasanya benar-benar suka dengan bagian lyric yang itu. Dan karena terlalu suka, makanya kuputuskan untuk mencari tahu arti dari tiap baitnya menggunakan ponsel murahku. Maklum saja. Aku hanya tahu mengiringi, itu pun dengan pronouncing yang sangat buruk. Ayo, simak! "Aku lebih baik memanjakan teman-temanku dengan semua kekayaanku ...." "Siapakah gerangan yang mengatakan bahwa uang tak bisa memecahkan masalahmu?" "Mereka bilang 'yang mana?' dan aku mengatakan 'tidak, aku menginginkan semuanya'." "Aku melihatnya, aku menyukainya, aku menginginkannya, maka aku pun mendapatkannya." Aku mengangguk-angguk. Oh, begitu, ya? Baiklah. Aku mendoakan diriku atas semua arti lyric lagu ini. Suatu hari, semoga saja bisa tercapai. Tok, tok! Dengan perasaan kesal, aku bangkit dari duduk kemudian bergegas membuka pintu. "Hey?" Kudapati sosok Pria jangkung tengah menatapku lembut dengan sebuah kantong plastik di tangannya. Aku berdecak. "Apa?" tanyaku setengah kesal. "Sudah makan, belum? Kakak habis beli ini. Makanlah." Setelah mengulurkan kantong plastik tadi padaku, ia lekas berlalu. Cepat, aku merogohkan tanganku masuk kemudian mendapati sebungkus nasi di sana. Ck! Aku bosan! Sebungkus nasi beserta kantong plastik tadi kuletakkan di lantai begitu saja. Sesekali, aku, kan, juga ingin makan sesuatu yang lebih baru, bukan NASI CAMPUR melulu! "Kenapa diletakkan di lantai, Sha?" Aku menoleh. "Aku bosan dengan menu yang itu-itu saja," balasku singkat, kemudian berbalik dan menutup pintu kamar lagi. Setelah berhasil mendaratkan b****g di tepi kasur, aku kembali menyibukkan diri dengan ponsel sembari volume musik yang kubiarkan memenuhi isi ruangan. Setiap orang pasti ingin dikatakan eksis, bukan? Begitu juga denganku. Setelah mengklik sekali sebuah user name di riwayat pencarian, maka .... "Followers mereka semakin banyak saja, ya?" gumamku kecewa. Greisy 490 ribu followers, Abey 379 ribu followers, dan Belinda 452 ribu followers. Sangat banyak. Belum lagi dengan akun ** khusus geng mereka. Aku mendesah pelan setelah menengok profil **-ku sendiri. "83 followers?" Jelas saja. Siapa juga yang sudi menjadi pengikut dari orang sepertiku? Aku tidak pernah berani memublikasikan wajahku ke media sosial. Malu. Minder. Cukup di dunia nyata saja aku di-bully habis-habisan. Tok, tok! Apa lagi, sih? "Shareen?" Aku menengokkan kepala ke arah pintu. "Sha? Buka pintunya sebentar, Nak." Tok, tok! "Iya! Tunggu sebentar!" teriakku akhirnya. Setelah bergegas bangkit, langsung saja kuraih kenop pintu kemudian menariknya kasar. Ayah. Aku terdiam menatapnya dengan sorot bertanya. Wajahnya tampak kelelahan. "Jangan memutar musik melulu, Nak. Tidak baik. Apalagi sedang waktu salat isya," tuturnya lembut. "Matikan musiknya dulu, ya? Sekalian kita salat bersama, mau?" Aku berdecak malas. "Hanya ingin bilang itu?" Ayah mengangguk pelan. "Mengganggu saja!" Brak! Setelah menutup pintu dengan keras, aku menghempaskan tubuh ke kasur begitu saja. Memangnya sulit, ya, membiarkanku bahagia? Tok, tok! "Shareen? Nak, buka pintunya seben─ " •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD