PROLOGUE

539 Words
Seperti biasa, dengan sweater cream colored yang membalut tubuh, aku bergegas turun dari bajaj butut milik Ayah yang senantiasa mengantar-jemputku ke sekolah setiap harinya. "Hati-hati, ya, Sayang." Aku mengangguk singkat sembari langsung mencium punggung tangan kasar dan keriputnya. Setelah berbalik dan melangkah menjauh, mulai kutarik napas cukup panjang, bersiap untuk kembali menghadapi penderitaan yang selalu menghadang. Ngomong-ngomong, namaku Shareen. Humaira Shareen, yang berarti GADIS MANIS BERPARAS INDAH. Jika ada yang sempat memuji, maka terima kasih. Dan jika ada yang percaya bahwa nama merupakan sebuah doa, maka musnahkan saja. Aku tidak percaya, bahkan sangat benci jika harus mengingatnya. Kubawa langkah menyusuri koridor dengan kepala menunduk. Sekitarku sudah mulai ramai, sebabnyalah aku meremas ujung rok gugup, dengan bibir yang berusaha keras kukatup. Desis-desis olokan mulai terdengar sepanjang langkah. Aku berusaha keras untuk terlihat tenang, sebelum suara bising di depan sana berhasil memaksaku untuk mengangkat wajah. Itu ... itu mungkin jadi salah satu tempat yang paling enggan aku lalui. Tapi bagaimana lagi. Tidak ada jalan lain menuju kelasku selain jalan ini. "Princess Bucktoothed? Hey? Wah! Rupanya sudah datang, ya?" Dengan kaki yang tetap kutuntun melangkah, aku menundukkan wajah. Tetap tinggal adalah pilihan buruk. Rasanya lelah sekali jika harus kembali menangis lalu memutuskan untuk membolos kelas lagi. "Mau ke mana, huh?! Kau berani pura-pura tuli atas sapaanku, begitu?" Sebuah tangan telah mencekal lenganku erat, menggelung sangat kuat, seolah memang senang jika melihatku kesakitan. Aku memberanikan diri untuk mendongak sedikit. Sudah ramai oleh pelajar-pelajar yang mengerubungi, terlebih dengan tiga sosok Gadis yang langsung menghadang tepat di depanku. Tidak salah lagi. Hari ini pasti jadi hari yang tidak kalah buruknya dari yang sebelum-sebelumnya. Sembari kembali menundukkan wajah, aku berusaha menepis cekalan Greisy dari tanganku. "Lepaskan ...." Lalu tawa semua orang langsung menggema. Apa yang lucu? Memangnya pantas untuk ditertawakan? "Hey, astaga! Semakin hari, gigimu semakin maju saja, ya, Princess?" "Apa? Benarkah? Sini, coba kulihat." Semua orang kembali tertawa. Sementara Abey, Gadis itu lantas meraup kedua rahangku kasar dengan tawanya yang belum juga reda. "Cepat, Belinda! Tangkap gambarnya banyak-banyak, ayo!" Greisy ikut berteriak, sementara Belinda mendekat dengan kamera ponsel mahalnya yang ia arahkan ke bibirku. Sialan! Ini bahkan masih terlalu pagi, tapi mereka sudah kembali beraksi menjalankan hobi tak beradabnya. "Ck! Tidak perlu mengulum bibirmu, Bodoh! Semua orang juga tahu kalau kau punya gigi tonggos kuning yang memalukan, hahahahha!" Kring, kring! Terima kasih. Setidaknya aku masih punya alasan mengapa tidak sampai berpaling dari Tuhan. "Well, setidaknya sudah ada beberapa. Ini cukup untuk postingan cerita **-ku. Ayo!" Belinda menyenggol bahuku keras, sebelum akhirnya mulai berlalu pergi dengan mata yang tetap terpaku pada layar ponselnya. "Sampai jumpa lagi, Princess Bucktoothed!" "Jangan senang dulu, ya! Kau harus bersyukur karena bel berbunyi! Bye!" Plak! Tepukan pelan mendarat di keningku sebelum ketiga gadis sialan tadi berlalu pergi. Sementara manusia-manusia tak kalah sialan yang sejak tadi hanya sibuk menonton dan menertawaiku juga ikut berlalu, menyempatkan untuk tertawa lagi, bahkan menggeleng seolah mengasihani. Aku tidak butuh dikasihani, Sialan! Semoga hal-hal buruk segera menghampiri kalian semua saja, segera! Setelah merapikan seragam juga rambut ikal kuda kesayanganku, kembali kulanjutkan langkah menuju lantai dua, tepatnya kelasku terletak. Sudah tahu kekuranganku, bukan? Aku hanya Gadis lemah yang tertindas, dengan gigi tonggos sialan yang memalukan. Jadi ... masih tetap mau lanjut membaca atau berhenti saja? •••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD