14. Nadya

1127 Words
19 November 2015... Malam itu aku tengah berbaring telentang diranjang sambil mendengarkan lagu saat tiba-tiba saja notifikasi chat dari Abdee muncul. Aku pun segera mengecilkan volume speaker dan membuka chat dari Abdee itu. Abdee : Je... Hanya itu yang ia katakan, aku pun segera mengetikan balasan. Me : Ya, Dee? Aku menunggu sekitar 2 menit untuk balasan dari Abdee. Abdee : Lo lagi sibuk gak? Me : Nggak kok. Gue lagi santai abis ngerjain pr Abdee : Oh... Hanya itu. Tapi tak lama Abdee kembali mengirimkan pesan. Abdee : Gue mau nanya sama lo ya? Sontak saja keningku mengkerut bingung. Tumben sekali dia, biasanya jika ingin bertanya, dia tidak pernah meminta izin padaku. Apa ada hal serius ya yang terjadi dengannya? Ah! Semoga saja tidak. Me : Nanya apa deh? Biasanya juga gak pernah izin kalo mau nanya Abdee : Gini, Je. Gue punya temen, dia itu suka sama cewek, tapi si ceweknya ini gak tahu kalo temen gue suka sama dia Me : Terus? Abdee : Jadi dia minta pendapat gue. Dan gue bingung harus jawab gimana. Lo tahu sendiri kan gue itu gak ngerti kalo soal gitu Aku terkekeh pelan membaca chat dari Abdee itu, merasa lucu karena ia harus kelabakan mencari jawaban untuk temannya. Sementara ia sendiri juga jomblo. Me : Lo serius nanya gitu ke gue? Gak salah? Lo kan juga tahu kalo gue jomblo dari lahir Abdee : Elah gak dapet solusi dong gue chat lo -_-" tahu gitu gue nanya sama Daffa aja tadi Me : Dih! Yang nge-chat kan lo. Gimana sih Abdee : Udahlah. Mending lo tidur, ini udah malem. Me : Hm yaudah. Night, Dee Abdee : Night too, Je. Mimpi indah Abdee : Eh anjir salah emoji! Maksudnya ini Aku berdecih dengan senyum tertahan, dan memilih untuk tak membalas pesan Abdee lagi. Aku pun meletakan ponsel diatas meja lalu berbaring miring menghadap jendela. Perlahan rasa kantuk mulai menghampiriku hingga kemudian aku tertidur sepenuhnya. Selamat malam semuanya. Dan selamat malam juga buat kamu, Dee. *** Pagi ini tiba-tiba saja Abdee menelpon dan memberitahuku jika dia tidak bisa menjemputku karena ada urusan yang harus diselesaikan. Meski sedikit kesal karena memberitahuku secara mendadak, aku tetap tidak bisa marah padanya. Untungnya saat Abdee menelpon, Papa belum berangkat ke kantor, jadi aku bisa menebeng sama Papa. "Udah belum sarapannya?" Papa yang baru saja menghabiskan kopinya, bertanya padaku. "Udah, Pa. Bentar aku ambil tas dulu." Aku berdiri dan langsung berlari ke kamar untuk mengambil tas. Tak sampai lima menit aku sudah kembali lagi ke depan Papa. "Ayo," Papa ikut berdiri dan mendekat pada Mama, mengecup kening Mama pelan. Sementara aku mencium pipi dan punggung tangan Mama. "Aku berangkat dulu, Ma. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Mama melambaikan tangannya padaku dan Papa. "Hati-hati," "Iya," jawabku dan Papa serempak. Kami berdua saling pandang lalu tertawa karena merasa lucu. *** Papa menghentikan mobilnya ketika sudah sampai di depan sekolahku. Aku menghadap Papa dan menyalami tangan Papa. "Aku sekolah dulu, Pa." "Yang pinter sekolahnya." Ucap Papa sambil mengusap puncak kepalaku. Mendengarnya berbicara seperti itu, mengingatkanku pada saat aku SD. "Siap, Pa!" Aku pun segera turun dari mobil. Papa membuka sedikit jendela mobilnya lalu melambaikan tangan padaku, yang aku balas dengan lambaian juga. Setelah mobil Papa bergerak menjauh, aku berbalik dan berjalan memasuki sekolah. Sampai di koridor, aku bertemu Nike yang tengah menempelkan sesuatu dimading. Sahabatku itu tak menyadari jika saat ini aku berdiri dibelakangnya. "Pagi, Nike!" Karena Nike yang tak juga menyadari kehadiranku, aku memilih untuk mengejutkannya. "Astaga, Jihan!" Nike memukulkan gulungan kertas yang ia pegang tadi padaku. "Aduh! Aduh, ampun." Aku berusaha menghindari pukulan Nike, masih dengan tawa yang berderai. "Jahil banget sih lo!" Aku menyengir lebar lalu merangkul bahu Nike. "Maaf deh. Jangan marah ya?" Ucapku sambil mengedip-ngedipkan mataku beberapa kali, berharap agar ia tidak marah. Tapi yang ada malah membuatnya mengernyit lalu mengusap wajahku dengan telapak tangannya. "Nggak usah sok imut! Geli banget gue." Nike bergidik lalu kembali pada kegiatannya tadi. "Lo nempelin apa sih, Ke? Gue bantuin deh." "Nggak usah, Han. Cuma dikit doang kok." "Emang penting banget ya?" Nike mengangguk. "Iya. Ini tuh formulir buat lomba nyanyi gitu." Ia menyelesaikan formulir terakhirnya dan menyisakan satu untuk ia berikan padaku. "Gue titip ini buat Abdee ya. Lo bujuk dia buat ikutan." "Loh kok gue?!" Tanyaku ketika Nike meletakan formulir tadi ditanganku. "Udah sana," ia mendorong pundakku pelan. "Mending lo kasih ke Abdee formulirnya." Lalu mengarahkan kepalaku ke depan, dimana disana ada Abdee yang tengah berjalan sambil mengobrol bersama seseorang. "Semangat, Han!" Seru Nike tiba-tiba dan langsung meninggalkanku sendiri. Aku berdecak kesal, kemudian menyeberangi lapangan basket untuk menghampiri Abdee. Dari belakang, aku melihat Abdee tengah tertawa karena ucapan seorang cewek disebelahnya itu. Aku tidak tahu apa yang mereka berdua bicarakan, tapi yang jelas tawa Abdee disana sangat lepas sekali. Sama seperti saat ia tertawa bersamaku. Ck! Kenapa mendadak aku merasa panas sih?! Membuang jauh pemikiranku tadi, aku segera mempercepat langkahku untuk menyamai langkah Abdee. Seperti dugaanku, dia terlihat terkejut ketika tiba-tiba aku berdiri disampingnya. "Loh, Je? Kok bisa disini?" Lalu dengan seenaknya ia merangkul bahuku di depan Nadya, cewek yang tadi berjalan bersama Abdee. Pantas saja aku tidak mengenalinya dari belakang, ternyata Nadya potong rambut. "Gue disuruh Nike ngasih ini buat lo." Aku memberikan formulir tadi pada Abdee. Dia langsung mengambilnya dan membacanya sejenak. Keningnya tampak berkerut kecil, membuatku ingin mengelusnya agar kerutan itu hilang. Aish! Aku mikir apa sih?! "Jadi lo nyuruh gue ikut lomba nyanyi?" Aku mengangguk pelan. "Itu pun kalo lo mau, kalo nggak mau juga nggak apa-apa. Nanti biar gue—" "Menurut lo gimana, Nad?" Abdee tiba-tiba memotong ucapanku untuk berbicara pada Nadya. Aku pun langsung melipat bibirku agar tak mengumpat saat itu juga. "Ikut aja, Dee. Suara lo 'kan bagus." "Hm gitu ya?" Abdee mengangguk-anggukan kepalanya pelan, seperti menimang apakah ia harus ikut atau tidak. Sementara aku hanya bisa berdiri diantara mereka berdua, dengan mata menatap Abdee. Hingga kemudian, Abdee tiba-tiba menatapku, membuatku langsung buru-buru mengalihkan pandanganku. "Oh iya, Je. Gue baru inget, kenalin dia Nadya, anggota OSIS yang baru." Aku tersenyum tipis, hendak menjawab ucapan Abdee. Tapi Nadya memotong ucapanku. "Udah kenal kok, Dee. Gue sama Jihan 'kan sekelas." "Serius? Wah gue nggak tahu kalo kalian sekelas." Abdee terkekeh pelan. "Ya udah kalo gitu gue duluan ya," Nadya menepuk bahu Abdee sekali, tersenyum sejenak kearahku, lalu berjalan pergi dari sana. Aku hanya mengikuti pergerakan Nadya itu. Mulai merasa sedikit kesal karena Abdee terlihat akrab dengan Nadya. Lagi pula sejak kapan mereka sedekat itu? Selama ini aku bahkan tidak pernah melihat mereka berdua bersama. "Heh! Diem aja." Abdee menjentikan jarinya di depan wajahku, membuatku seketika tersadar jika sejak tadi aku malah menatap koridor kosong. "Ayo ke kelas. Ngapin diem disitu?" Abdee mengamit tanganku dan mengajakku untuk segera ke kelas. Aku hanya bisa menurut sambil diam-diam tersenyum ketika tangan hangat Abdee melingkupi jariku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD