13. Bahu dan bantal, mana yang lebih nyaman?

1052 Words
9 November 2015... Pulang dari Mall, aku langsung menuju kamar dan menghempaskan tubuh di kasur empukku. Aku menghela nafas panjang, kemudian tanganku menarik tas sekolahku yang ada didekat ranjang dan menaikannya ke kasur. Aku pun mengubah posisi tidurku jadi telungkup untuk merogoh tas dan mengambil ponselku. Ketika hendak menghidupkannya, sialnya benda itu malah kehabisan daya. Aku berdecak lalu beranjak untuk mengisi daya ponselku. Aku duduk di kursi belajar, menunggu beberapa menit agar ponselku kembali menyala. Sambil menunggu ponselku menyala, aku pun membongkar plastik belanjaanku tadi, mengeluarkan sebuah novel yang tadi aku beli. Awalnya tadi aku hanya ingin menemani Nike ke toko buku, tapi saat melihat sinopsis novel ini aku jadi tertarik dan berakhir membelinya. Aku selalu malu manatap mata teduhmu Malu bila kemudian mata itu tiba-tiba membalasku, Memberi isyarat dan mengenggam harapan Aku selalu takut mencuri pandang mata indah itu, Takut bila kemudian aku terhanyut pada rasa yang sulit ku artikan Aku selalu disini, Berada pada zona dimana dengan hanya menatapmu diam-diam Membuat garis senyumku mengembang Aku selalu disini, Berada dibelakangmu Yang tanpa kau sadari salalu mengejar punggungmu tanpa henti. Aku tak apa, Meski kau tak tahu bagaimana sulitnya aku mati-matian Menyamarkan bekas cemburu di depanmu. (By Heni Endriyani) Aku lantas mendengus saat membaca ulang sinopsis novel yang aku beli tadi, mendadak merasa menyesal membelinya. "Gue kenapa beli ini sih?" gumamku. "Mana judulnya friendzone lagi." Lalu meletakan novel itu di meja belajar dan beralih mengecek ponselku—yang ternyata sudah lumayan terisi daya. Aku pun menghidupkannya, menunggunya beberapa detik untuk benar-benar menyala. Ketika ponselku menyala, banyak notifikasi yang muncul—mulai dari **, line, twitter, tapi semua itu tidak aku buka karena w******p dari Abdee jauh lebih membuatku penasaran. Aku pun cepat-cepat membuka w******p dari Abdee, dengan jantung yang berdegub kencang. Abdee : Lo udah pulang? Atau mau gue jemput? Abdee : Oi Abdee : P Abdee : P Abdee : Nomor lo nggak aktif? Abdee : Hei Abdee : Lo bener-bener ya! Aku terkekeh sendiri membaca pesan yang dikirimkan Abdee itu. Tanganku langsung mengetikan balasan untuknya, tapi sebelum sempat aku kirim, Abdee sudah lebih dulu menelponku. "Ha—" "Lo dari mana aja sih? Ditelpon nggak diangkat!" Sela Abdee cepat, bahkansebelum aku sempat menyelesaikan ucapanku. "Tadi hp gue mati." "Ya seenggaknya lo bisa pinjem hp temen lo buat ngabarin gue." Aku mengerucutkan bibirku, sedikit kesal dengan Abdee. "Ya maaf, Dee." Dari telpon, aku mendengar jika Abdee menghela nafas panjang. Lalu kemudian aku mendengarnya berbicara, pelan tapi masih mampu aku dengar. "Gue khawatir, Je." Aku menahan senyuman hingga pipiku terasa sakit. "Khawatir banget ya?" "Menurut lo?!" Aku pun terkekeh pelan, mengetahui Abdee kesal karena mengkhawatirkanku, benar-benar diluar dugaanku. Aku tak pernah menyangka jika dia akan se-khawatir ini padaku. Apa ini tidak terlalu berlebihan? Maksudku, kami hanya sebatas sahabat, tapi kenapa ke-khawatirannya seperti— "Lo masih disana?" Suara Abdee yang terdengar dari ponsel, menyadarkanku dari lamunan. Aku pun berdehem sekali sebelum berkata padanya. "Iya, gue masih disini." "Ya udah, kalo gitu mendingan lo istirahat aja. Gue juga mau pergi abis ini." "Mau kemana?" "Ngumpul sama temen-temen." "Oh oke. Hati-hati," "Iya." ucap Abdee sebelum panggilan terputus. Aku pun kembali meletakan ponselku diatas novel, membiarkannya disana dan aku pun langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. *** Hari minggu datang kembali, seperti biasa hari minggu adalah jadwalku latihan teater. Aku yang saat ini tengah berjalan menuju tempat latihan teater, menemukan Abdee yang tengah duduk menyender di bawah pohon. Dari tempatku berdiri, aku juga melihat jika kedua telinganya terpasang headset yang tersambung langsung ke ponselnya. Aku kadang heran dengannya, kenapa ia selalu datang pertama sekali. Dan yang lebih heran lagi, kenapa aku jadi orang kedua yang datang. Aku pun segera mempercepat langkah hingga berada di belakangnya. Keusilanku kembali muncul ketika melihatnya santai seperti ini. Diam-diam, tanganku terulur untuk mematikan lagu yang sedang dia dengarkan, tapi sebelum itu terjadi, Abdee sudah lebih dulu mencengkeram tanganku dan menariknya. "Nggak usah jahil." ucapnya datar. Mungkin sedikit kesal karena ketenangannya aku ganggu. "Hehehe maaf," aku menyengir tanpa rasa bersalah. Kemudian aku pun ikut duduk disebelahnya, melepas satu headset yang ia pakai dan memasangkannya ditelingaku. Hal pertama yang aku dengar adalah alunan gitar listrik yang sangat keren menurutku. Kemudian suara Judika mulai terdengar. Tuhan pun tahu, jikalau aku mencintai dirimu tak musnah oleh waktu. Hingga maut datang menjemputku, ku tetap menunggu kamu dilain waktu. Tanpa sadar aku mulai terbawa suasana ketika mendengar lagu itu. Tapi ketenangan yang aku rasakan itu langsung musnah ketika Abdee mematikan lagunya. "Udah! Abis batre hp gue." Ia melepas headset yang tadi aku pakai dan memasukannya ke dalam tas. "Dasar pelit!" "Biarin." ucapnya lalu dengan santai menyentil keningku, walau pun pelan tapi tetap saja sakit. "Sakit, Dee!" "Lebay deh," meski bibirnya mengatakan lebay, tapi tangannya tetap mengusap bekas sentilannya tadi.  "Kesini naik apa tadi?" Abdee bertanya sambil terus mengusap keningku. "Naik angkot, abisnya adek gue nggak mau nganter." "Kenapa nggak bilang gue aja? Biar barengan aja," Aku menggeleng, menyingkirkan tangannya dari keningku karena sudah tidak sakit. "Nggak ah. Masa ada apa-apa harus nelpon lo, gue nggak mau ngerepotin." "Aelah, Je. Kita udah kenal dari SD, ya kali lo baru ngerasa nggak enaknya sekarang. Kenapa nggak dari dulu?" Aku mencebik, tak punya kata yang pas untuk membalas ucapannya. Memang, akhir-akhir ini aku mulai merasa harus menjaga jarak dengan Abdee, karena jika pada akhirnya dia mengetahui tentang perasaanku dan memilih menjauh, setidaknya aku sudah mempersiapkan diri. Jadi aku tidak akan terlalu merasakan sakit. Mungkin. "Heh! Ditanya diem aja." Dia menjentikan jarinya di depan wajahku. Aku hanya terkekeh pelan. "Lo kok selalu dateng pertama sih?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Dan sepertinya berhasil. "Gue ketua teater, jadi harus dateng pertama sekali." "Emang ada aturannya ya?" "Nggak ada sih. Ya udahlah, yang penting gue bisa jadi panutan yang baik." "Iya deh terserah lo aja." Aku lihat ia tersenyum. Kemudian kepalanya tiba-tiba langsung menyender dibahuku, yang tentu saja membuatku merasa kaku. "Lo ngapain sih?" Ingin rasanya aku menggerakan bahu agar dia menyingkir, tapi melihatnya yang menghela nafas panjang seperti itu membuatku jadi tak tega. "Biarin gini dulu, Je. Gue ngantuk banget. Lagian bahu lo empuk sih, bikin nyaman." "Lo pikir bahu gue bantal!" Abdee terkekeh pelan, dekat sekali dengan telingaku. "Bahu lo emang bukan bantal, tapi lebih nyaman dari bantal." "Apaan sih lo!" "Udah diem aja. Gue beneran ngantuk." Aku pun memilih diam, membiarkannya tertidur dibahuku. Dan aku berharap semoga dia tidak mendengar suara detak jantungku sekarang ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD