6. Taksi

1303 Words
27 Juli 2015... Sahabat... Mendengar satu kata itu membuatku sedikit kesal akhir-akhir ini. Mood-ku akan memburuk jika ada orang tiba-tiba menyebut kata sahabat. Mungkin karena kejadian malam itu, ditambah tamu bulananku yang datang, jadi membuatku jadi sensitif sekali. Aku menendang batu kerikil di depan kaki, sambil terus menyeret langkah menuju kelas. Entah kenapa aku jadi merasa malas untuk sekolah hari ini. Andai Mama tidak mengancam akan memotong uang jajanku, mungkin aku lebih memilih di rumah saat ini. Menghabiskan waktu untuk menonton drama korea. Setidaknya drama korea bisa membuatku merasa lebih baik. "Hei!"  Langkahku terhenti ketika seseorang memotong langkahku dan berdiri di dihadapanku. Aku mengangkat pandanganku, lalu menaikkan kedua alisku. "Apaan?" tanyaku pada Abdee yang saat ini tersenyum cerah.  Abdee melebarkan senyumnya. "Jalan jangan nunduk. Nabrak tiang ntar lo," "Biarin!" ucapku singkat. Demi apapun, aku sedang malas sekali untuk bertemu dengannya. Tapi kalau sudah begini, aku tidak punya pilihan apa pun. "Kenapa sih? Kok murung banget tuh muka," "Nggak apa-apa." "Beneran nggak apa-apa?" "Iya!" "Kalo gitu kita ke kantin, yuk!" Aku menoleh. "Mau ngapain ke kantin," "Beli es krim," Abdee menaik turunkan kedua alisnya. "Mau ya?" "Pagi-pagi makan es krim!" Abdee berdecak gemas. "Mau apa nggak nih?" "Mau! Tapi bayarin!" "Siap!" ucap Abdee lalu menarikku ke kantin. Sial! Aku jadi terlihat murah sekarang. Hanya dengan es krim saja, aku sudah bisa melupakan ucapan Abdee beberapa waktu lalu. **** Dari sudut mata, aku menemukan Abdee tengah menatapku lama. Kemudian ia terlihat tersenyum. Karena risih diperhatikan seperti itu, aku pun menoleh padanya. Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin kesehatan jantungku diuji ketika ia menatapku seperti itu. "Ngapain liatin gue gitu?" tanyaku.  Abdee menggeleng pelan, masih dengan senyum geli diwajahnya. "Nggak apa-apa," Aku berdecak, menendang kakinya dari bawah meja. Ia terlihat melotot padaku, yang aku balas dengan cibiran. "Sakit woy!" protesnya. Ia mengusap tulang keringnya yang tadi aku tendang.  "Lagian lo nyebelin!" "Nyebelin gimana sih? Gue 'kan cuma liatin lo aja," Masalahnya disini bukan tentang tatapannya itu, tapi tentang efek yang ditimbulkan oleh tatapannya yang aku permasalahkan. Dia tidak tahu apa, kalau jantungku bisa meledak jika dia terus menatapku seperti itu? "Terus kenapa abis itu senyum-senyum gitu?!" tanyaku galak. Berusaha untuk menutupi debaran didadaku. "Abis lo lucu. Makan es krim sampe belepotan gitu," Abdee mengambil tisu kemudian mengusap sudut bibirku. Aku menahan nafasku. Ya Tuhan! Kenapa Abdee senang sekali membuatku sulit bernafas.  "Apaan sih!" seketika kesadaranku kembali. Aku mendorong tangannya menjauh. Kemudian menyendok es krimku dan memasukannya ke mulut Abdee. "Dasar modus!"  "Siapa yang modus sih?" tanya Abdee tak bersalah. Ia malah dengan santai minta disuapi es krim lagi. Huh! Dasar! Dan kenapa pula aku mau menurutinya. Ya ampun... "Eh, hari jumat kita latihan teater." Abdee memberitahuku. "Loh, bukannya minggu?" "Minggu juga latihan. Soalnya kita mau ngejar waktu. Seminggu sebelum pentas aktor diharuskan udah hapal naskah." Abdee menatapku. "Lo udah hapal 'kan?" Aku melebarkan senyum. "Udah dong!" ucapku bangga. "Yakin udah?" "Iyalah! Kan lo sendiri yang bilang, kalo naskah itu dipahami." "Bagus deh," Abdee menggerakkan tangannya mengacak rambutku. Aku membiarkannya, karena aku tidak punya tenaga untuk menepisnya. Lagi pula aku menyukainya. "Udah belum makan es krimnya? Kalo udah, gue anter lo ke kelas. Bentar lagi bel nih." "Udah," aku membuang cup es krim di tanganku ke kotak sampah di dekatku. Kemudian berdiri sambil menyandang tas. "Ayo!" Abdee menyuruhku untuk berjalan lebih dulu, sementara ia membayar es krim ku tadi. Baru setelah itu ia menyusulku. Aku berjalan bersisian bersamanya, sambil mendengar lelucon receh darinya. Anehnya, meski lelucon itu tidak terdengar lucu, aku justru ikut tertawa.  "Lo tahu nggak, kenapa air laut itu asin?" kali ini dia memberiku tebak-tebakan.  "Karena ada garamnya?" tebakku.  "Salah! Ayo tebak lagi," Aku terdiam memikirkan jawaban, tapi setelah beberapa menit mencari, aku tidak dapat menemukan jawabannya. "Gue nyerah. Emang apa jawabannya?" "Jawabannya...karena air laut udah kecampur sama keringetnya ikan. Abis ikannya capek, kejar-kejaran sama nelayan." "Mana ada gitu!" ucapku saat ia memberikan jawaban ngawur atas tebak-tebakan yang ia berikan. "Lah, namanya tebak-tebakan." "Lagian mana ada ikan keringetan." Abdee menarik pipi kananku. "Kan gue udah bilang, ini cuma tebak-tebakan. Jangan dibawa serius kenapa," Karena pipiku sedikit sakit, aku pun balas mencubit lengannya. Abdee mengaduh pelan sambil mengusap bekas cubitanku. "Sakit, Je." "Rasain. Emang lo pikir nggak sakit apa pipi gue lo cubit-cubit gitu!" Dia hanya menyengir lebar, membuatku ingin sekali mencubitnya lagi. Untungnya niatku itu tak terjadi karena kami sudah lebih dulu sampai di kelasku. "Udah masuk sana. Belajar yang bener." ucap Abdee. "Iya, Pak." candaku. Aku berbalik, tapi langkahku tertahan ketika ia menarik tasku. "Eh kenapa nih?" protesku. Aku pun berbalik. "Lo lupa sesuatu," "Lupa apa?" Abdee membuka telapak tangannya dan mensejajarkannya dengan telinga. Seketika aku mengerti. Aku mengikuti apa yang ia lakukan.  Kami melakukan high five sebelum menyerukan kata 'yes!' sambil mengepalkan tangan di depan d**a. "Udah. Gue masuk dulu. Bye!" ucapku sebelum benar-benar masuk ke dalam kelas. Dari jendela kelas, aku melihatnya melanjutkan langkah. Dan ketika ia sudah tidak terlihat lagi, baru aku menghadapkan kepalaku ke depan.  **** Bel pulang sekolah adalah musik paling indah bagi murid-murid sekolah. Termasuk aku. Aku membereskan peralatan sekolahku, memasukannya ke dalam tas, dan ketika guru sudah keluar kelas, aku langsung lari menuju kelas Abdee. Di depan kelas Abdee, aku melihat jika dia masih berbicara dengan temannya--kalau tidak salah, namanya Akbar. Lalu ketika matanya menatap ke arahku, aku melambaikan tangan padanya. Abdee tersenyum sambil balas melambaikan tangan. Ia terlihat berbicara sebentar dengan Akbar, baru setelah itu berjalan menghampiriku. "Kelas lo nggak ada guru?" "Iya. Gurunya cuma ngasih tugas aja." Aku mengangguk mengerti. Lalu aku teringat sesuatu. "Hari ini--" "Pulang nanti maaf ya gue nggak bisa nganter lo. Soalnya ada rapat Osis abis ini," "Yah," keluhku. "Berarti nggak jadi nemenin gue ke toko buku dong." ucapku. Sebelumnya aku memang sudah mengatakan akan ke toko buku, dan Abdee bersedia menemaniku. Tapi karena dia harus rapat Osis, sepertinya aku jadi harus menunda niat itu. "Sorry. Lain kali aja gimana?" tanya Abdee sambil menatap kedua mataku bergantian. Seperti tengah berusaha menebak pikiranku. Aku berdecak. "Terserah deh!" aku mengalihkan pandangan ke arah lain. "Jangan ngambek dong. Lagian gue juga nggak tahu kalo bakal rapat dadakan kayak gini," "Salah siapa mau jadi ketua Osis?! Udah jadi ketua teater, ketua kelas, ketua Osis juga diembat!" ucapku kesal. Yang anehnya justru membuat Abdee tertawa. Aku mendelik padanya, menghentikan tawanya. "Ya mau gimana lagi, udah kejadian. Gue juga nggak bisa gitu aja ngundurin diri 'kan?" Aku menghela nafas panjang. Merasa sedikit kecewa. "Ya udah kalo gitu gue pulang aja," aku hendak berbalik, tapi Abdee menahan bahuku. "Gue anter ke depan, sekalian gue cariin taksi." Aku tak menjawab, hanya mengikuti langkahnya yang berada di depanku. Aku menatap punggung tegapnya, lalu beralih ke bahunya. Bahu yang sering aku jadikan sandaran saat lelah. Dan seketika aku berpikir, siapakah yang menyender dibahu itu selain aku? Apakah akan ada perempuan lain yang akan bersender disana? Membayangkanya seketika membuatku merasa tidak rela. Hah! Lagian kenapa aku jadi mellow gini sih? Kami akhirnya sampai di depan sekolah. Aku melihat Abdee tengah menghentikan sebuah taksi. Ia kemudian menatapku, menyuruhku untuk segera naik. Aku menurut, melangkah mendekat dan memasuki taksi. Aku membuka kaca taksi untuk menatapnya yang kini berdiri di samping taksi.  Seakan mengerti, Abdee pun menundukan tubuhnya. "Kalo udah sampe rumah kabarin gue ya." ucapnya sambil mengusap puncak kepalaku. "Iya, dasar bawel!" Abdee terkekeh, lalu berbicara pada supir taksi untuk mengantarku ke rumah. "Jangan turunin dia, kalo bukan di rumahnya ya, Pak." ucap Abdee sedikit bercanda. "Iya Mas, tenang aja. Pacarnya pasti saya anter sampe rumah." Aku membelalakan mataku ketika supir taksi itu menyebutku sebagai pacar Abdee. Astaga! Seketika aku langsung menatap Abdee. Tapi dia terlihat tak keberatan. Dia juga tidak berusaha meralat ucapan supir taksi tadi. Dia hanya tersenyum dan mengucapkan hati-hati padaku. Taksi pun mulai berjalan, dan aku menatapnya dari balik kaca. Ketika ia sudah kembali memasuki sekolah, aku baru menghadap ke depan. Dan senyumku perlahan terbit ketika mengingat sikap Abdee barusan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD