7. Es Krim

1180 Words
27 Juli 2015... Me : Gue udah sampe rumah. Aku sudah mengirim pesan itu pada Abdee sejak 15 menit yang lalu. Tapi hingga sekarang, pesanku itu belum juga dibaca. Apa Abdee sesibuk itu? Sampai tidak membaca pesanku. Aku menghela nafas, melempar ponsel ke bantal, lalu memilih berbaring terlentang dengan kaki menggantung di sisi ranjang sambil menatap langit-langit. Aku meletakkan tangan dibelakang kepala. Kemudian otakku kembali memutar saat pertama kali aku bertemu Abdee. Hari itu adalah hari pertama aku sebagai murid baru. Aku masuk ke kelas 6A bersama Bu Ria yang menuntunku. Semua pasang mata disana langsung menatapku ketika aku berdiri di depan kelas. Beberapa ada yang berbisik-bisik, dan sebagian lagi ada yang menatap penasaran padaku. "Anak-anak, kalian kedatangan teman baru hari ini. Kenalin, dia Jihan cucu Kepala Sekolah." Mendengar penjelasan Bu Ria, murid-murid mulai bertambah heboh. Aku hanya bisa menunjukkan senyum canggung, sementara kedua tanganku meremas tali tas. "Nah Jihan. Kamu bisa duduk bersama Diah disana," Bu Ria menunjuk tempat duduk nomor 3 dari depan. "Iya, Bu. Terima kasih," lalu aku mulai berjalan pelan menuju tempat dudukku. Sementara Bu Ria kembali ke ruang TU. "Eh, kamu beneran cucu Kepala Sekolah?" tanya seorang gadis berkaca mata yang ada disampingku. Ia tampak antusias ketika bertanya. Aku tersenyum tipis. "Iya," "Wah enak banget dong!" ia membenarkan letak kacamatanya yang turun, lalu mengulurkan tangannya padaku. "Kenalin, aku Diah." Aku menerima uluran tangannya. "Jihan. Salam kenal ya, Diah." "Salam kenal juga, Jihan." ia kemudian menepuk bahu anak laki-laki di depannya--yang sedari tadi aku lihat tengah sibuk dengan komiknya. "Kamu nggak mau kenalan sama Jihan?" Anak laki-laki itu berdecak kesal. Ia menutup komik ditangannya lalu memutar tubuhnya menghadapku. "Abdee," ia mengulurkan tangannya padaku. "Jihan," Aku menyambut uluran tangannya. "Udah 'kan?" tanya Abdee pada Diah. Ia kemudian kembali membuka komiknya. Diah berdecak. "Abdee tuh orangnya emang gitu. Tapi kamu nggak usah takut, dia orangnya baik kok." "Iya," Setelah beberapa bulan dikelas itu, perlahan aku mulai nyaman. Ternyata anak-anak dikelas 6A tidak seburuk yang aku pikirkan. Dan aku juga mulai tahu jika Abdee itu orang yang humoris. Pernah satu hari aku, Abdee, Tias, dan juga Diah dihukum guru untuk berdiri di depan kelas karena tak berhenti tertawa. Kami berempat tertawa karena lelucon yang dilontarkan Abdee. Alhasil kami jadi dihukum oleh Bu Siska. Aku selalu tersenyum ketika mengingat masa SD kami waktu itu, seperti yang aku lakukan saat ini. Diam-diam aku merindukan masa itu, masa dimana kami tidak sesibuk sekarang--dimana untuk bertemu saja susah, karena jadwal kami yang tidak tepat. Ponsel yang aku letakkan diatas kepalaku berbunyi nyaring, membuyarkan lamunanku. Aku pun mengambil ponselku untuk melihat siapa yang menelpon. Ternyata Abdee. Segera saja aku menjawabnya. "Halo?" "Lo udah sampe rumah? Sorry gue baru baca chat lo, tadi sibuk rapat." Aku mengganti posisiku menjadi duduk di tepi ranjang. "Nggak apa-apa kok. Gue ngerti," ucapku sambil menggerak-ngerakkan kedua kaki. "Ya udah, kalo gitu gue matiin ya? Ini mau lanjut rapat lagi, soalnya cuma dikasih waktu istirahat 15 menit nih." Aku menghela nafas. "Iya. Semangat rapatnya." "Oke. Makasih," ucap Abdee sebelum panggilan terputus. "Kayaknya lo lagi sibuk banget ya?" gumamku sendiri. Aku kemudian memilih untuk mengganti seragamku dengan baju santai, setelah itu aku keluar kamar karena perutku sudah menggerutu minta diisi. Di dapur aku menemukan Adikku tengah membuat es sirup. Ia tidak menyadari kehadiranku, alhasil aku pun memiliki ide untuk menjahilinya. Aku berjalan dengan langkah mengendap. Ketika berdiri di belakangnya, aku segera menepuk bahunya sedikit kencang. "DOR!" "Aish!! Lo ngagetin aja sih, Kak! Jadi tumpah nih es gue!" gerutunya kesal. Aku tertawa sambil memegangi perut. Dan ketika ia melirikku sinis, aku segera menekan bibirku agar berhenti tertawa. "Iya deh maaf." ucapku dengan kedua tangan terangkat. Aku jadi seperti tersangka yang di tangkap polisi jika seperti ini. "Gue buatin lagi deh. Ya?" "Ya udah buruan! Gue haus," ia memerintahku. "Sabar kali!" Aku pun mulai mengambil gelas baru, menuangkan sirup secukupnya, lalu menambahkan setengah gelas air dan tak lupa menambahkan es batu. "Selesai!" Aku menyerahkan segelas es sirup tadi pada Adikku itu. Ia mulai meminumnya. Tapi setelah itu keningnya berkerut. "Kok nggak ada rasanya?!" "Ya itu diaduk dulu b**o!" ucapku kesal. Sementara ia hanya menyengir tak bersalah. Ia mulai mengaduk es sirupnya lalu kembali meminumnya. Baru setelah itu aku melihat ia tersenyum. "Nah ini baru enak!" "Bodo amat!" aku kembali ke niat awal untuk mengambil makan siang. "Eh! Gimana lo sama Kak Abdee?" Gerakan yang tengah menyendok sayur terhenti. Dari balik bahu, aku melirik Jerry. "Maksudnya?" "Waktu itu 'kan dia ngajak lo ke pasar malem." "Terus?" "Dia nggak bilang apa-apa sama lo?" Aku memutar mataku malas. "Bilang apa sih?" "Ya bilang suka gitu," Aku hampir terbahak mendengarnya. "Bilang suka sama gue? Itu nggak akan pernah terjadi." "Kenapa gitu?" tanya Jerry. Ia mendekat, berdiri di dekatku. "Lo kan tahu sendiri, kalo gue cuma sahabatan sama dia." "Iya kalian emang sahabatan. Tapi cuma dia yang anggep lo sahabat, dan lo nggak." Aku menjitak kepalanya pelan. "Nggak usah sok tahu ya!" Jerry mencibir. "Emang tahu kali. Tapi kenapa yang gue liat, dia kayak suka sama lo?" Aku meliriknya. "Tahu dari mana lo kalo dia suka sama gue?" "Ck! Gue 'kan cowok, jadi gue tahu lah." Aku mengibaskan tanganku, lalu membawa makan siangku ke ruang menonton. Tak kusangka, adikku yang cerewet itu mengikutiku ke ruang menonton. "Gue serius loh, Kak. Kak Abdee kayaknya juga suka sama lo!" "Udah deh, jangan ngomong kayak gitu. Gue nggak mau, gara-gara omongan lo ini buat gue jadi semakin berharap sama dia." Setelah aku mengatakan itu, baru Jerry menutup rapat mulutnya. Ia diam sambil memperhatikan layar TV yang tengah menayangkan salah satu FTV. Aku juga tak ambil pusing, memilih untuk ikut menonton sambil menghabiskan makan siang. **** Sore itu aku baru saja selesai mandi ketika mendengar pintu kamarku diketuk. Aku pun segera membukanya, ternyata Mama yang ada disana. "Kenapa, Ma?" tanyaku sambil mengusap rambut basahku dengan handuk. "Diluar ada Abdee." Otomatis keningku mengernyit. "Abdee? Ngapain dia kesini?" "Mana Mama tahu. Kamu samperin sana. Tadi Mama suruh masuk nggak mau. Dia nunggu di teras tuh." "Ya udah, aku kesana dulu ya, Ma." aku segera saja melangkah ke teras. Dan benar saja, disana memang ada Abdee. Tengah duduk dikursi teras sambil mengetuk-ngetuk jarinya di tangan kursi. "Hei," sapaku. Abdee menoleh dan tersenyum. Ia berdiri, menghampiriku. "Baru selesai mandi, ya?" Aku mengangguk. "Iya. Lo baru pulang?" tanyaku saat melihat ia masih menggunakan seragam sekolah. "Iya. Baru selesai rapat OSIS." ia kemudian memberikanku sebuah bingkisan. "Ini apa?" tanyaku. "Es krim. Buat permintaan maaf karena nggak bisa nganter lo pulang," Mendengar itu, aku merasa terharu. Abdee rela membelikanku es krim, padahal dia baru saja pulang rapat, dan tubuhnya pasti lelah. Ya Tuhan! Jika sudah begini, bolehkah aku mempercayai ucapan adikku tadi? "Kalo gitu gue pulang, ya?" Aku segera tersadar. "Oh! Iya, hati-hati." aku mengantarnya hingga ke gerbang. "Jangan ngebut dijalan," ucapku. Dari balik helm-nya, aku melihat dia terkekeh pelan. "Iya. Udah mending lo masuk," "Iya," Aku melambaikan tangan padanya. "Bye, Dee. Hati-hati," ucapku sebelum berbalik masuk.  Setelah yakin jika Abdee tak akan mengetahuinya, senyum yang dari tadi aku tahan akhirnya keluar juga. Aku menatap bingkisan es krim ditanganku, lalu kembali tersenyum. Astaga! Rasanya aku tak ingin berhenti tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD