8. Sebuah Rasa Takut

1218 Words
12  Agustus 2015... Selama bersahabat dengan Abdee, aku sering mendapat pertanyaan dari beberapa teman-temanku. Pertanyaan yang kadang membuatku sedikit kesal. Seperti pertanyaan... Eh, lo pacaran ya sama Abdee? Kalian kok berdua terus sih, kayak orang pacaran. Atau udah pacaran? Lama-lama aku merasa bosan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Mereka tidak tahu apa, kalau pertanyaan seperti itu membuatku jadi semakin berharap dengan Abdee. Huft! Kadang ada perasaan takut yang menderaku ketika melihat tatapan teman-temanku. Aku takut jika mereka mengetahui tentang perasaanku. Dan aku belum siap jika Abdee juga sampai tahu. Aku tidak mau membuat semuanya kacau. Setidaknya untuk saat ini. "Je!" seruan beserta tepukan pelan dibahu, mengejutkanku yang tadinya tengah berdiri di pinggir koridor. Aku menoleh, dan langsung menahan nafasku ketika menemukan Abdee berdiri di belakangku dengan senyum yang luar biasa cerah. Ya Tuhan! Semoga kesehatan jantungku baik-baik saja setelah ini. "Lo ngapain disini?" Aku mengerjap. "Oh, tadi gue mau ke kantin," memang itulah yang hendak aku lakukan tadi, tapi entah kenapa kakiku malah membawaku menuju ruang OSIS. Ah s**l! Gara-gara melamun, aku jadi tidak sadar melangkah kesini.  "Kantin 'kan nggak lewat sini," ucap Abdee geli. Aku menggaruk pelipisku sambil tersenyum canggung. "Iya, tadinya mau ke kantin. Tapi nggak tahu kenapa malah kesini," Abdee terkekeh sambil menggeleng pelan. Ia melirik jam tangannya sejenak, lalu kembali menatapku. "Ke kantin bareng aja gimana?" "Bukannya lo ada rapat OSIS ya?" "Rapatnya udah selesai. Ini gue mau ke ruang guru bentar. Temenin gue bentar, ya?" "Ya udah," ucapku. Kami pun mulai melangkah ke ruang guru. Tak butuh waktu lama untuk sampai di ruang guru, karena jarak ruang OSIS dan ruang guru tidak terlalu jauh. "Gue tunggu disini aja, ya?" ucapku ketika berada di depan ruang guru. "Iya. Gue masuk dulu," ucap Abdee sebelum memasuki ruang guru. Aku pun memilih untuk menyenderkan tubuhku ke dinding, sementara pandanganku menatap lantai. Sepasang kaki yang berhenti tepat di depanku, membuatku mengangkat pandangan. Aku tersenyum saat tahu jika itu Akbar. "Eh! Hai, Bar." sapaku. Akbar tersenyum. Ia memilih untuk menyenderkan punggungnya ke dinding disebelahku, dengan kedua tangan yang ia masukan ke saku. "Ngapain disini, Han?" "Nemenin Abdee," aku menunjuk pintu ruang guru. "Sama sekalian mau ke kantin," "Oh," Akbar mengangguk mengerti. "Lo sendiri ngapain?" "Lewat aja." ia menyengir. "Kalo gitu gue duluan ya. Bye," ia menepuk bahuku sekali sebelum benar-benar menjauh. Sementara aku hanya menatap langkah Akbar dengan pandangan bingung. Aku bahkan tidak menyadari jika Abdee sudah berdiri di sampingku.  "Liatin apa?" Aku menoleh. "Nggak ada kok." ucapku. "Jadi ke kantin kan?" "Jadi. Ayo!"  Aku pun mengikuti langkahnya menuju kantin. Abdee langsung menarik kursi untukku ketika kami sampai dikantin. Aku mengucapkan terima kasih sebelum duduk disana.  "Lo mau makan apa? Biar gue yang beliin," ucap Abdee sambil menatap kios-kios jualan.  "Tumben mau beliin," Abdee memutar matanya malas. "Mau apa nggak?" "Ya udah gue pesen batagor aja deh." "Minumnya?" "Es teh." Abdee mengangguk lalu kembali berdiri. Ia berjalan ke arah kios penjual batagor. Sementara aku hanya menatap punggung tegapnya. Tanganku terulur ke depan, membuat gerakan seolah-olah aku tengah menyentuh bahu itu. Senyumku terbit saat mengingat, jika bahu itulah yang aku sandari tiap kali aku tertidur ditempat latihan teater. Ya Tuhan! Aku benar-benar takut dengan perasaanku ini. Aku takut jika nantinya perasaan ini akan menjadi boomerang bagiku. Karena sampai kapan pun aku mencoba menyembunyikannya, Abdee pasti akan mengetahuinya suatu saat nanti.  "Ngapain lo?" Aku tersadar dan segera menurunkan tanganku. "Ng-nggak ngapa-ngapain kok," ucapku sambil menggaruk pelipis. Aku memperhatikan Abdee yang meletakan seporsi batagor di depanku. Ia mengambil sendok, membersihkannya dengan tisu lalu meletakannya di piring batagor milikku.  Astaga....bagaimana aku tidak suka dengan Abdee, jika tindakan sekecil itu saja sudah membuatku sesak nafas. "Makan! Jangan melamun," Aku tersadar. Segera saja aku menyendok batagor dan memasukannya ke mulut. Kemudian aku mengangkat pandangan saat merasa diperhatikan. Dan benar saja, ternyata Abdee tengah menatapiku. Aku berdehem sekali, menegakan punggung lalu meletakan sendokku. "Lo ngapain liatin gue kayak gitu?" Abdee mengerdikan bahunya. "Nggak apa-apa," baru setelah itu ia mulai memakan batagor miliknya. Meski penasaran, aku akhirnya memilih untuk mengabaikan hal itu lalu lanjut menghabiskan batagor. **** Pulang sekolah benar-benar waktu yang sangat membahagaiakan bagiku. Sejak bel pulang berbunyi, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Sambil membereskan peralan sekolah, aku menatap keluar kelas dan benar saja, aku menemukan dia disana. Berdiri menyender dengan tangan melambai padaku.  "Lo pulang bareng Abdee?" Kepalaku menoleh, menemukan Nike dan Nabila yang sudah berdiri di belakangku. Aku tersenyum pada mereka. "Iya. Kan searah juga rumahnya," "Oke, hati-hati dijalan. Kasih tahu gue kalo Abdee macem-macem sama lo." ucap Nike. Sontak saja aku tertawa. "Siap, Bos!" aku mendekat dan memeluk kedua sahabatku itu. "Makasih ya. Kalian juga hati-hati pulangnya." "Santai aja kali," ucap Nabila sambil menepuk-nepuk bahuku. Aku pun melepas pelukan, menatap mereka bergantian. "Kalo gitu gue duluan, ya." aku melambaikan tangan pada mereka, yang dibalas dengan hal yang sama. Aku berbalik dan berjalan ke arah Abdee. Cowok itu langsung menegakan tubuhnya saat aku sudah berdiri di depannya. "Sebelum pulang, temenin gue dulu ya?" "Kemana?" "Kerumah Kak Iyan, ada yang harus gue ambil." "Oke," Aku dan Abdee berjalan beriringan menuju parkiran. Cowok itu memberikan salah satu helm padaku. Aku mengucapkan terima kasih dan mengenakannya. Ketika melihatku kesulitan mengaitkan tali helm, Abdee dengan sigap membantuku. "Gimana sih, pake helm aja nggak bisa." Aku cemberut. "Susah tahu!" Cowok itu terkekeh, dengan pelan ia merapikan poniku yang mengenai mata, lalu kemudian meyuruhku untuk segera naik. "Udah?" tanya Abdee. "Udah," "Ya udah turun kalo udah,"  "Abdee ih!!" aku memukul bahunya pelan. Cowok itu tertawa. Ia menatapku lewat spionnya. "Pegangan sama gue, jangan pegangan sama besi motor. Nanti lo jatuh gue yang repot." "Iya! Bawel deh lo," aku berpegangan pada jaketnya. Setelah memastikan aku berpegangan dengan baik, baru Abdee menjalankan motornya. **** Sampai di rumah Kak Iyan, kami langsung disuguhkan dengan es jeruk oleh salah satu asisten rumah tangga Kak Iyan. Aku mengucapkan terima kasih dan langsung meminumnya untuk menghilangkan rasa haus yang aku rasakan sejak dimotor tadi. Hah! Rasanya benar-benar lega ketika rasa dingin itu melewati tenggorokan. "Kalo minum yang bener dong," ucap Abdee menyadarkanku. Dengan cepat ia mengambil tisu, mengelap sisa air di sudut bibir  dan juga daguku. Aku hanya bisa terdiam, menatap tindakannya itu. Jantungku mulai berdetak tak beraturan, apalagi dengan jarak sedekat ini. Astaga! Aku sangat berharap jika ia tidak akan mendengar suara detak jantungku yang menggila ini. Bisa kacau kalau Abdee tahu. "Eh, udah bersih kok." sebelum jantungku semakin menggila, aku memilih untuk menjauhkan diri dari Abdee.  "Minum kayak anak kecil," "Bodo ah!" aku menghadap ke lain arah untuk menghirup nafas sebanyak-banyaknya.  "Sorry ya lama. Tadi abis dari belakang dulu,"  Akhirnya, setelah hampir 20 menit menunggu, Kak Iyan pun datang. Guru teaterku itu datang dengan wajah segar dan rambut sedikit basah.  "Nggak apa-apa kok, Kak." ucap Abdee mewakiliku. Kak Iyan tak menjawab, ia meletakan sebuah buku di atas meja, kemudian menatap aku dan Abdee bergantian. "Ini uang kas teater, Kakak titip sama kalian. Gunain uang ini buat kepentingan teater. Kalo misalnya masih ada sisa, uangnya disimpen buat uang kas produksi teater tahun depan." Aku dan Abdee mengangguk mengerti. "Oke, Kak. Kalo gitu kami langsung pulang aja. Soalnya aku belum izin sama orang tua Jihan kalo aku ngajak Jihan pergi." "Ya udah nggak apa-apa. Kalian hati-hati di jalan," Kak Iyan menatap Abdee. "Kamu bawa motornya jangan ngebut-ngebut. Ada anak orang yang kamu bawa!" "Siap, Kak!" ucap Abdee pada Kak Iyan. Sementara aku hanya memutar mata malas. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD