Wanita itu Adalah Niken

1044 Words
"Kita, tak bisa lanjutkan ini, maaf ...." Pram tersentak, lama menahan rindu, karena sang kekasih bertugas di luar kota, saat bertemu malah diberi kejutan. Pantas saja, sejak kedatangan wanita tadi, dia tak menunjukan wajah bersemangat. Hanya Pram yang antusias dengan pertemuan mereka. "Niken, apa yang kau katakan?" Senyum di wajah Pram surut. Berganti dengan keningnya yang berkerut. Wanita berambut panjang itu mengangkat wajahnya, menampakkan matanya yang basah. Sayangnya, Pram belum paham, kenapa justru dia yang menangis. Pram tidak pernah menyakitinya, dia selalu menjaga perasaan Niken selama ini, lalu kenapa wanita itu tampak tak bahagia saat ini. Banyak pertanyaan di benak Pram. Pertanyaan yang harus dijawab satu persatu. Berhari-hari Pram tak bisa tidur, demi menghitung waktu untuk bertemu wanita ini, wanita yang sudah tujuh tahun menjadi kekasihnya. Mereka bahkan, telah mengumpulkan uang bersama untuk menikah. Semua kerja keras Pram, demi masa depan mereka, agar mereka mapan di masa depan. "Kita akhiri saja hubungan kita. Aku yang salah, aku yang nggak baik buat kamu, aku yang nggak bisa menjaga kepercayaan kamu, aku yang nggak pantas untuk kamu. Maafkan aku, kita harus berakhir." Niken menangis, menangis hebat seperti tersakiti. Pram tak bisa mencerna situasi, apa salahnya? Kenapa semua serba mendadak. Putus, seperti sambaran petir di siang hari, kejutan yang amat tak terduga. Pantas saja, Niken jarang mengangkat teleponnya, dan Pram masih menyangka karena sibuk. "Kau laki-laki yang baik, aku yang tidak baik. Maafkan aku!" Niken menutup wajahnya. Dia terus saja mengutuk dirinya. Pram masih belum memahami apa yang sesungguhnya disampaikan wanita itu padanya. Pram mengalihkan perhatiannya pada taman kafe, dedaunan yang basah ditimpa hujan, seakan mewakili hatinya, bahwa semesta pun berduka. Tidak, pantang bagi laki-laki untuk menangis. Dia terluka, sangat, tapi dia berusaha untuk tetap tenang. "Apa yang sebenarnya terjadi? Katakan padaku, jika itu adalah sebuah masalah, kita bisa cari jalan keluar berdua. Ini tak adil, kau tak adil padaku, memberi kata putus secara mendadak, aku salah apa? Bagian mana dari sikapku yang membuatmu tak berkenan? Aku akan mengoreksinya, tapi please! Jangan begini." "Ini bukan tentang kita, ini tentangku, yang tak bisa menjaga amanah yang kau berikan. Aku jatuh cinta pada pria lain ... Itulah kenyataannya." Tuhan, seperti ditusuk belati, pengakuan Niken amat sangat melukai hatinya. Begitu mudah wanita ini mengakui perasaanya pada pria lain, melupakan waktu tujuh tahun bersama yang penuh perjuangan. "Niken, apa yang ...." "Kita putus, itu saja!" Selanjutnya Niken bangkit, meninggalkan makan siangnya yang tak tersentuh sama sekali. Wanita itu, terlalu jahat bagi Pram. Ternyata inilah arti perubahannya akhir-akhir ini, Niken tak lagi mencintainya. Adakah yang lebih sakit dari patah hati? Tidak, Pram merasakan luka yang amat dalam. Kata putus secara sepihak dari wanita yang dicintainya itu, sukses membuatnya merana dan menderita seumur hidup. Hari itu, Niken sukses membuat hatinya mati. Dan membenci, apa yang namanya perempuan. Niken telah mencabut semua harapan masa depannya selama ini. Janji-janji manis hidup bersama ternyata omong kosong belaka. Tiga tahun telah berlalu, namun rasa sakit itu masih ada. Bahkan saat perjodohan dilakukan, Pram pasrah. Dia hanya perlu identitas sebagai suami saat ini, membuktikan pada Niken, bahwa dia juga bisa mencari pengganti. Dan ... Takdir mengatur, pengganti Niken adalah Irene, adik Niken sendiri. Pram tertawa miris. Dia memandang langit-langit kamarnya, ingatan tiga tahun lalu yang melintas begitu saja, kembali mengusiknya. Perjodohan yang kebetulan, takdir yang juga kebetulan. Entah kenapa, Mamanya Niken dan Irene malah menjodohkan dia dengan anak bungsu mereka. Tanpa banyak kata, diiyakan oleh Pram. Sayangnya, di hari pernikahan sederhana dia dengan Irene, Niken sama sekali tak menampakkan diri. *** Pulang kuliah, Irene tak langsung menuju rumah. Tapi dia membawa mobilnya ke rumah orang tuanya. Jarak antara rumah orangtuanya dan kampus, hanya beberapa menit kalau berkendara. Lagi pula, dia bosan di rumah. Rumah besar itu begitu sepi, jika pun ada Pram, pria itu lebih memilih menghabiskan waktunya di dalam kamar seharian. "Ma ...." Irene mencium tangan mamanya. Mencium pipi wanita baya itu sekilas. "Kamu, masuk rumah tak baca salam." "Hehehe, sori. Masak apa?" "Biasa, ayam kecap." Mama Irene dengan cekatan mengaduk ayam itu di dalam wajan. "Aku lapar, masih lama matangnya?" Irene meletakkan tasnya di atas meja makan. "Duduk aja dulu, lima menit lagi matang. Kamu sendiri saja? Pram mana?" "Masih mengajar mungkin." Irene menyahut acuh. Dia tak pernah ingin tahu Pram ada di mana. Seperti kesepakatan mereka, jangan campuri urusan masing-masing. "Kenapa tak tunggu dia dulu? Sekalian ajak dia makan siang ke rumah." "Biarin aja, Ma. Dia orang sibuk, nggak bisa diganggu." Irene bangkit, dia tak sabaran. Mengambil piring di lemari kaca, lalu mengisikan nasi yang banyak ke dalamnya. "Kalian baik-baik saja, kan?" Irene tersenyum tanpa beban. "Kami baik, mama bisa lihat sendiri, aku belum jadi janda." "Hush! Ngomong apa kamu." "Kenyataanya begitu, aku masih menyandang status sebagai istri Pak Pram. Artinya baik-baik saja." Irene mengambil paha ayam dari dalam wajan, tanpa menunggu mamanya memindahkan ke dalam wadah. "Mama yakin, Pram laki-laki yang baik." Irene tersenyum sekilas. Dari dulu, mamanya sangat menyukai Pram, bahkan dengan pengkhianatan kakaknya, niat menjadikan Pram sebagai menantu tak pernah surut. Pram dijodohkan dengannya, tanpa peduli, dengan perasaan Irene sendiri. "Dengan Pram, kamu akan bahagia." Irene mengangguk. Entah kenapa, selera makannya langsung surut. Perutnya mendadak kenyang. "Tambah lagi, Ren?" "Tidak usah, Ma." "Tumben makan kamu dikit." Mamanya menyodorkan segelas air ke depan Irene. Irene hanya membalas dengan senyum tipis. Dia mencintai mamanya, tak ada kata tidak untuk mamanya itu. Apa pun akan Irene lakukan agar sang Mama bahagia. Bahkan, mengorbankan kebahagiaannya sendiri. "Oh ya, Kakak kamu ...." Irene berhenti mengunyah. Sudah lama sekali dia tak mendengar kabar kakaknya. Setelah pernikahan mendadak sang Kakak karena hamil duluan, nama Niken tak lagi disebut di rumah ini. Mama dan papanya kecewa pada Niken, anak perempuan yang selalu dibanggakan selama ini, ternyata memberikan luka yang dalam pada mereka. Wajah mamanya berubah sendu. "Kenapa Kakak, Ma?" "Dia bercerai dengan suaminya." Mata Irene membola sempurna. Dia mendengar sendiri, pengakuan sang Kakak, bahwa dia dan suaminya saling mencintai. Ternyata, cinta saja tak cukup membuat seseorang bahagia. Jika mereka saling mencintai, kenapa justru bercerai? Banyak pertanyaan memenuhi kepala Irene. "Lalu?" "Dia akan pulang ke sini. Ke rumah kita." Irene mengangguk. Ada rasa tak nyaman. Irene tau pasti, dia dan Pram tak memiliki perasaan apa-apa, pernikahan mereka pun baik-baik saja walau mereka tak seperti pasangan pada umumnya. Akan tetapi, kedatangan Niken sedikit mengusiknya. Karena dia tau, Pram masih mencintai wanita itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD