Bosan Kuliah

1006 Words
Apalagi yang membosankan bagi Irene, selain tak suka pria tampan dan cokelat, dia juga tak suka belajar. Bukannya dia bodoh, hanya saja belajar baginya bukan perkara penting. Banyak para wanita di luar sana, yang mengorbankan waktu untuk mengambil gelar ini itu, lalu mereka berakhir sebagai Ibu rumah tangga. Pemikiran ini pernah menjadi ajang perdebatan dengan Pram. Pram ... Irene mencoret tugasnya, sampai kertas itu robek. "Kenapa pria menyebalkan itu memberiku tugas sebanyak ini. Apa dia pikir otakku adalah Google?" Irene menggerutu sendiri. Dia lemah dalam menjawab soal uraian, apalagi jika disuruh menjelaskan sesuatu yang panjang seperti jalan kenangan. Dia menyerah. Jam berlalu, sudah dua puluh menit dia merenung, otaknya seolah malas berpikir. Satu ide muncul di kepalanya, si sumber masalah yang memberi soal, kenapa tak dia saja yang menyelesaikan? Ide cerdas muncul di kepala Irene, senyumnya merekah sempurna. Dengan semangat, Irene membawa buku dan penanya, berjalan menuruni anak tangga. Kamar Pram berada di lantai satu, sedangkan dia berada di lantai dua. Pisah kamar? Tentu saja, sampai kiamat pun Irene tak ingin sekamar dengan pria itu. Irene mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu kamar Pram. Awalnya ada keraguan, tapi demi tugas yang harus selesai dia mesti mencari pria itu. Pram bukan Dosen yang pemaaf, jika tak menyelesaikan tugas, dia akan menambahkan lagi bahkan berkali lipat. Ketikan ke tiga, pintu terbuka. Pram muncul dengan wajahnya yang terlihat heran. Sementara Irene memasang tampang memelas. "Belum tidur, Pak?" Basa-basi, bukanlah Irene, tapi demi nilainya sendiri, dia harus berusaha seperti penjilat. "Kamu lihat sendiri, saya berdiri di depan kamu." "Heheh, maaf." Irene menggaruk keningnya yang tak gatal. "Ada apa? Tumben mengetuk pintu saya malam-malam, mau tidur berdua sama saya?" "Ha?" Irene kaget bukan main. Secepatnya dia menggeleng."Bukan, bukan, bukan itu." "Mau ngapain? Kamu menganggu pekerjaan saya." "Emangnya Bapak mengerjakan apa?" "Sejak kapan kamu peduli saya mengerjakan apa? Langsung saja! melihat senyum kamu, saya jadi curiga." Wajah yang penuh senyum palsu Irene surut. Pria ini, tak perlu dibaiki. "Mau minta tolong! Boleh?" "Ngusir tikus lagi?" "Bukan," sanggah Irene. "Saya mau Bapak membantu saya, kali ini saja, setelah itu saya nggak akan ganggu Bapak lagi." Pram tak langsung mengiyakan, dia menatap Irene mencari kebohongan di wajah mungil itu. Dan dia menemukan, gadis itu sungguh-sungguh. "Boleh saya masuk?" Irene meminta persetujuan, tapi kakinya malah lebih dulu bergerak masuk. Dalam hitungan detik, dia sudah berada di dalam kamar Pram. Hal pertama yang didapati Irene adalah, ranjang single yang dilapisi bed cover warna abu-abu. Cat dinding bewarna putih, gorden abu-abu dan beberapa pigura foto yang dipajang di dinding. Kamar ini memiliki ukuran yang sama dengan kamarnya. Rumah baru pemberian mertuanya ini, setidaknya begitu kata Pram, memang cukup besar dan luas. Tak ada barang berarti, selain rak buku, meja komputer serta televisi layar datar. Namun, untuk ukuran seorang laki-laki, kamar ini cukup rapi. "Ehemmm." Irene tersentak. Lalu meringis. "Maaf, kamar Bapak bagus." "Kamu mau dibantu apa?" Pram tak sabar, bahkan dia melipat tangan di d**a, tak mempersilakan Irene untuk duduk. Ada karpet putih bulu-bulu di kamar ini, dan itu terlihat bersih dan nyaman untuk diduduki. Berbeda sekali dengan kamarnya yang apa adanya dan berantakan. "Ini, saya mau Bapak membantu saya mengerjakan ini." "Apa ini?" Pram menyipitkan matanya, setelah memakai kaca matanya dia baru sadar apa yang diinginkan gadis itu. "Bukannya ini tugas yang saya kasih tadi pagi?" "Iya, tepat sekali." Irene menguatkan diri untuk tersenyum penuh percaya diri. Padahal, dia tak yakin Pram akan membantu. "Maksud kamu?" "Begini, jadi tapi pagi, di kampus, saya tak mampu menjawab pertanyaan seorang dosen, terus saya diberi tugas sebanyak ini, dan Bapak tau? Harus siap malam ini juga. Masalahnya saya tak paham harus mengisi dan menjawabnya. Makanya saya minta bantuan Bapak. Begitu." "Kamu aneh. Ini soal saya yang kasih, masa saya yang kerjakan dan membantu kamu?" "Salah, soalnya ini dikasih dosen saya dan sebagai suami yang pintar dan cerdas karena sudah menyelesaikan S3, Bapak berkewajiban membantu istri." Irene tertawa dalam hati, dia mengutuk dirinya yang memiliki bakat seperti penjilat. Mengakui diri sebagai istri Pram, dia ingin muntah. "Saya dosen yang memberikan tugas itu, kamu paham, nggak?" Pram masih bersikukuh dan tak mau terlibat dengan permainan konyol Irene. "Bukaaan, kalau di rumah, Bapak suami saya, kalau di kampus, Bapak dosen saya, seperti yang Bapak bilang, apa Bapak lupa?" Pram menatap jengkel Irene. Tapi dia tak bisa membantah sama sekali. Karena dia memang bicara begitu. "Irene, coba kamu pikir dengan akal sehat kamu, saya yang memberi tugas ke kamu, lalu sekarang saya yang membantu mengerjakan. Coba pikir!" Irene hampir habis kesabaran, dia tahu, Pram bukan orang yang gampang. "Coba Bapak pikir, dosen saya memberikan tugas yang tak masuk akal ke saya, dan harus selesai dalam satu malam. Sebagai suami yang pintar, Bapak berkewajiban membantu saya. Tak ada yang salah di sini.Coba Bapak Pikir!" "Irene ...." "Pak Pram ...." Pram mengusap wajahnya. Gadis ini, amat menyebalkan. "Jadi bagaimana, Pak?" *** Irene bertepuk tangan saat diskusi alot itu akhirnya selesai. Meminta tolong pada Pram tak semudah itu, Pram memberinya syarat. Syarat yang amat susah tentunya, pada ujian semester nanti, Irene harus mendapatkan minimal nilai B, untuk mata kuliah yang diajarkannya. Serta IP minimal tiga. Irene mengiyakan saja dulu, yang penting urusan kali ini lancar. "Terimakasih, Pak." "Tak perlu bertema kasih." Senyum mekar Irene surut. "Ya, sudah." "Cepat, kembali ke kamar kamu!" "Iya iya, tidak Bapak suruh pun, saya akan kembali. Tenang saja." "Kamu selalu begitu kalau ada maunya. Saya sudah hapal." Irene memutar matanya. Tak apa-apa, terkena omelan, yang penting misi berhasil. Irene langsung meninggalkan Pram, beriringan dengan pintu Pram yang ditutup. Pram duduk di atas ranjangnya. Irene, tak lebih seperti anak kecil yang merepotkan. Andaikan, waktu bisa diulang, dia memilih takkan menikah dengan anak itu. Akan tetapi, takdir seperti bermain cukup kejam padanya. Dia dan Irene, bagaikan siang dan malam, menjalankan pernikahan tanpa kejelasan amat sangat menyiksanya. Pram tersenyum pahit, apa yang dilakukan gadis itu barusan, amat sangat tak masuk akal. Dia yang memberikan tugas, dia yang mengerjakan, lalu ... Besok dia juga yang akan memeriksa. Irene membuatnya keluar dari zona nyaman, segala tingkah ajaib anak itu sangat mengusiknya. Haruskah Pram selalu mengalah pada keadaan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD