Keluar dari zona nyaman

2342 Words
Namun ketika Sena keluar dari kamar mandi, dia mendapati Samudra yang sedang berada di ruang kerja. Ngomong ngomong, ruang kerjanya terhubung dengan kamar. Bahkan sekatnya hanya kaca sehingga Sena masih bisa melihat apa yang sedang dikerjakan oleh suaminya. “Om? Aku udah selesai mandi,” ucapnya memberi tanda kalau dirinya siap untuk melakukan malam pertama. Alasan Sena tidak mau menunda-nunda lagi yaitu karena dirinya harus memberikan yang terbaik dan tidak mempermalukan kakeknya. Terlebih lagi, siapa yang tidak suka melihat pria tampan seperti Samudra. “Om Sam?” “Tidur, besok kamu kuliah.” “Ih, kok nyuruh tidur? Ayok bareng. Kan mau malem pertamaan gimana sih?" Tanya Sena yang masih tidak mendapatkan jawaban sama sekali. "Om sam?” Kesal karena diabaikan, Sena memilih untuk menuju Samudra. Mendengar suara langkah kaki mendekat, Samudra segera membalikan badannya dan kaget ketika melihat Sena yang hanya memakai handuk melilit di tubuhnya. Buru-buru Samudra kembali memutar kursinya membelakangi. “Kenapa kamu gak pake baju?” “Kan kita mau malem pertamaan, Om. Nanti juga kan dibuka. Ayok yuk, jangan malu-malu.” “Gak ada malam pertama.” Samudra berdehem pelan, dia kembali menyibukan diri dengan mengetik. Mencoba mengabaikan keberadaan Sena. Jujur saja pernikahan ini masih mengejutkan untuknya meskipun dia sudah tau dari sepuluh tahun yang lalu, dan Samudra perlu untuk beradaptasi. Dia tidak mungkin meniduri Sena disaat hatinya belum menginginkannya. “Ih kok gitu? Maaf kalau aku lama mandinya. Yuk sekarang aja yuk.” “Tidur, Sena, saya banyak kerjaan,” ucap Samudra dengan suara yang begitu datar, dingin dan terkesan mengusir. Sena berdecak, dingin juga jika lama-lama dia memakai handuk saja. jadi dia memakai baju yang masih ada dalam koper sambil mendumal pada Samudra yang tidak konsisten, tidak berani bahkan mengenyapingkan dirinya sebagai seorang istri. Dan gerutuan Sena itu sangat mengganggu, tapi Samudra tetap diam dan mencoba untuk fokus dan mengabaikan. “Haduh capek,” ucap Sena yang baru saja selesai mengomel. “Mau tidur ah, awas kalau malem besok gak jadi malem pertamaan ya, Om.” Tidak ditanggapi lagi oleh Samudra, sepertinya Sena akan mulai terbiasa dengan hal itu. dia berbaring di sisi kanan tempat tidur yang ada dekat jendela. Kasur yang begitu empuk, selimut yang begitu lembut dan menghangatkan. Membuat Sena sangat nyaman. Entah kapan terakhir kali dia mengganti selimutnya, itupun hadiah dari sang kakek. Kehidupannya menyedihkan, dan Sena hanya bisa tersenyum sekarang, sambil berharap kalau keluarga Surawisesa tidak akan memberikan hal yang sama padanya. “Om, kedepannya warna warna di sini jangan item ya. aku gak suka, ganti beberapa sama yang berwarna. Kayak sprei ini, warna pink kan lucu…,” ucap Sena sambil menatap langit cerah di luar sana, ada jutaan bintang berkelap kelip. Ternyata ini nilai jual penthouse, memiliki ketenangan dan memiliki pemandangan langitnya sendiri. “Terus aromanya maskulin banget. Suka sih, tapi mungkin beberapa hari kedepan terkontaminasi sama aroma aku. Om jangan rewel ya.” Samudra mendengarnya, bagaimana Sena bicara panjang lebar sampai akhirnya suara itu memelan dan akhirnya tidak terdengar. Jarinya yang mengetik mulai berhenti, menoleh ke belakang dan melihat Sena yang sudah terlelap. Helaan napas terdengar dari mulut Samudra sebelum akhirnya kembali menyelesaikan pekerjaannya, satu jam kemudian dia baru mematikan laptopnya dan melangkah menuju ke ranjang. Kakinya berhenti sesaat, tubuhnya mematung melihat posisi tidur Sena layaknya bintang laut menghabiskan seluruh lahan kasur King Size miliknya. Rambutnya yang panjang menghalangi wajah, membuat Samudra perlahan menyingkirkannya. Khawatir udara yang dihirupnya menjadi terbatas. “Tuhan,” ucap Samudra refleks saat dia melihat mulut Sena yang terbuka, dengan air liur yang mengalir dan dengkuran yang halus. Samudra menggelengkan kepalanya tidak percaya, dia meraih tisu untuk menyeka air liur itu dengan agak jijik. Kemudian dia mendorong pelan tubuh Sena supaya menyingkir dari bagian ranjang miliknya. “Semoga perempuan itu diam saat tidur,” ucap Samudra sebelum dia berbaring. Tidak lupa dia menyelimuti dirinya sendiri dan juga sang istri yang sudah terlelap lebih dulu. ini pertama kalinya Samudra tidur dengan orang lain di sisinya. Awalnya dia begitu kesulitan memejamkan mata, bahkan Samudra sampai menghitung domba agar bisa terlelap. Namun, tidak berhasil. “Jam dua,” ucapnya ketika melihat jam. Besok ada kasus yang harus dia periksa sebagai jaksa, dan dirinya belum terlelap di jam ini. Samudra adalah sosok pria yang memiliki rutinitas teratur, gaya hidup sehat bahkan untuk jam tidurnya. Dan sekarang sudah kacau bahkan di hari pertama. “Ck, susah tidur,” ucapnya memiringkan tubuhnya ke arah kanan. Samudra terkejut melihat Sena yang juga miring ke arahnya. Masih terlelap dengan mulut terbuka dan air liur yang mengalir. Menghela napasnya dalam, itu pemandangan yang mengerikan hingga tidak ada pilihan lain untuknya memejamkan mata, sampai akhirnya Samudra terlelap. Hingga saat pagi menjelang, Samudra dikejutkan dengan aroma rempah yang menusuk hidungnya. Dia membuka mata dan langsung melangkah memeriksa kekacauan apa yang terjadi di dapur hingga menimbulkan suara berisik? “Good morning, Om Jaksakuhhh,” ucap Sena ketika sang suami keluar dari pintu kamarnya. “Semalem aku boboknya nyenyak bangeeet , nyaman deh pokoknya.” Sampai Sena menyadari penampilan Samudra. “Kok belum mandi, Om? Mandi dulu dong, sikat gigi dulu, terus nanti sarapan. Orang ganteng juga punya jigong kan?” Samudra baru sadar, dia baru ingat kalau memiliki istri yang tidak normal. Yang mulutnya lebih berisik dari manusia lain. *** Keluar dari kamar mandi, Samudra kaget dengan makanan yang dibuat oleh Sena. Sudah mirip meja di rumah makan padang. Banyak sekali. Kapan terakhir kali dia melihat meja makannya penuh oleh makanan ya? “Um, aku belum tau makanan apa yang Om suka. Jadi aku masak ini semua. BTW bukannya aku buang buang makanan ya. Justru makanan ini udah mau busuk di kulkas, Om gak pernah masak ya?” Karena pada kenyataannya, Samudra selalu memakan roti untuk sarapan bersama dengan kopi. Untuk makan siang dia selalu memesan di kantor, dan untuk makan malam, sang Mama selalu mengirimnya. Ini pertama kalinya dapur apartemennya dipenuhi aroma makanan yang begitu menyengat. "Jarang," jawabnya singkat. “Terus apa gunanya itu banyak makanan di kulkas?” “Mama yang beli.” “Om gak bisa masak?” “Emang kamu bisa masak?” Tanya Samudra kesal, pertanyaan Sena seolah merendahkannya. Tapi anak itu malah menyilangkan tangannya di d**a kemudian menaikan alisnya dengan sombong. “Cobain dulu, liat dulu itu meja penuh dengan makanan buatan Sena.” Sebenarnya, Samudra takut sakit perut. Jadi dia tidak berani mencicipinya. Sungguh kedatangan Sena benar benar merusak rutinitasnya yang sudah tertata. Samudra ingin memarahi, tapi dia berjanji pada sang Kakek akan menjaga Sena dan memperlakukannya dengan baik. “Saya mau sarapan roti.” “Jangan dong, Om. Itu namanya jahat, gak sopan. Masa istri udah buat sarapan banyak malah ditolak, maunya roti? Hello, aku udah bangun dari subuh.” Sebelum Samudra mengeluarkan kalimatnya, Sena lebih dulu melangkah lebar pada sang suami. Memaksa Samudra memegang sendok kemudian berkata, “Makan dulu, cicipi dulu.” Memaksa, menekan Samudra hingga pria itu menarik napasnya dalam dan mencicipi sayur yang dia harapkan tidak membuatnya sakit. Namun, rasa itu membuat Samudra diam seketika, tidak buruk juga. “Nah, enak kan?” Samudra terlalu malu untuk mengakuinya. “Udah jangan malu malu gitu. Aku udah paham kok.” Sena mengambilkan nasi untung sang suami. “Nah, makan ayok.” Pertama kalinya pula setelah sekian lama, Samudra sarapan nasi dan lauk pauk yang lengkap. Membuat perutnya kenyang seketika. “Nanti aku kuliah nyampe siang, terus mau bawa beberapa barang punya aku yang masih di rumah. Om pulang jam berapa?” “Malem.” “Oh bagus deh, soalnya aku mau beres beres di sini. kalau ada Om pasti ganggu,” ucapnya tanpa ragu. “Terserah.” Samudra lelah, tapi dia kembali teringat akan janjinya pada sang Kakek bahwa dia akan menjaga siapapun yang menjadi istrinya, tidak menyakitinya baik dalam bentuk kalimat. “Hehehe, aku juga mau minta bantuan Mama ya? nah, sekarang nambah lagi ini makanannya.” Setelah sarapan bersama, keduanya turun menggunakan lift dengan basement. “Om jangan tegang gitu mukanya, aku gak bakalan minta anterin kok sama Om. Soalnya tadi malem, Kakek udah nyuruh orang buat bawain kendaraan aku.” Samudra menatap aneh pada perempuan di sampingnya. Dia mau kuliah atau tawuran? Menggunakan celana jeans, kaos hitam pendek dan dibalut dengan jaket kulit. Tas gendong yang memiliki gaya sobek. Rambut yang diikat kemudian masker dan kacamata yang menghiasi wajahnya. “Lebih mirip buronan sih,” gumam Samudra. “Om bilang apa?” “Gak ada.” “Yeayy! Si Om mah suka malu-malu gitu ah,” ucap Sena sambil mencolek perut bagian kiri suaminya. “Jangan toel toel.” “Ih gemes deh, Om beneran udah kepala 3 ya? hebat banget udah kayak medusa. Akumah masih 19 tahun, masih kepala satu masih normal.” Yang tidak normal itu manusia semacam perempuan di hadapannya, itu yang ada di dalam pikiran Samudra. Sisanya dia membiarkan perempuan itu terus bicara sampai, “Om, aku berangkat duluan ya. soalnya udah agak telat.” Sambil menaiki motor RX-king kuno tapi terlihat begitu gagah. Mata Samudra membulat, dia akan menggunakan itu ke kampus? “Berangkat dulu ya, Om. Dah! Besok besok jangan lupa sediain receh buat uang jajan aku, oke?! Dadah, Om!” teriaknya sambil mengendarai motor menjauh dari basemen. Samudra memeluk dirinya sesaat, dia tidak tau apapun tentang istrinya dan tidak mau tau. satu hari hidup bersama Sena cukup membuat kepala Samudra berdenyut. Sena lebih aneh dari manusia normal. "Ingat janjimu pada Kakek, Samudra," ucap Samudra pada dirinya sendiri untuk mengingatkan. Karena kenyataannya, Samudra tidak tertarik sama sekali dengan Sena. Dia tidak mau tau dan hanya ingin tetap di zona nyamannya, melakukan rutinitas seperti biasanya tanpa terganggu. *** Sepulang Sena kuliah, dia langsung pulang ke apartemen. Sialnya, dia belum tau kode masuknya hingga membuat Sena berjongkok di depan pintu selama beberapa menit. Bingung juga, dia tidak punya nomor sang suami, nomor sang mertua atau siapapun yang bisa menolongnya. Apa yang harus dia lakukan? Jadi dia hanya jongkok diantara banyak koper dan juga tas yang dikirimkan supir yang bekerja di keluarganya. “Um, kudu gimana ini?” Sampai akhirnya seseorang datang. “Loh, Sena? Kok kamu diluar, Nak?! Ngapain di situ?” Sena menoleh ke sumber suara, dan apa yang dilihatnya membuat Sena benar benar bahagia bukan main. “Huhuhu, Mamaaaa, Sena gak tau kode apartemennya.” Sena merentangkan tangannya dan langsung disambut pelukan oleh Mama Dara. Merasakan kesedihan Sena, Mama Dara mengusap rambut sang menantu. “Kenapa gak hubungin Mama atau Samudra?” “Gak punya nomor dua-duanya.” “Hah?!” Dara langsung membulatkan matanya kaget. “Samudra ini gimana sih, udah gak ngasih kode apartemen, gak ngasih nomornya pula. Itu anak emang bener bener harus Mama kasih pelajaran,” ucapnya sambil menekan nomor kunci hingga pintu terbuka. “Ayo masuk sini.” “Tapi, Ma… aku yang ngajak suami aku ngomong mulu, makannya dia lupa mau ngasih nomor hape sama nomor apartemen. Jangan marahin dia ya,” ucap Sena, dia khwatir Mama Dara akan memarahi Samudra yang berakhir dengan Samudra yang membencinya. Sena belum bisa menjadi istri yang baik, dia juga tidak mau berganti status menjadi janda sekarang. "Mama jangan marahin dia ya." Namun, fokus Mama Dara malah pada yang lain. Mengabaikan kalimat Sena dan malah bertanya, “Eh, cerita cerita dong sama Mama? pasti sulit ya punya suami macam dia? Mama udah duga sih, Samudra itu terlalu nyaman di zonanya nyampe gak mau diganggu siapapun,” ucap Mama Dara sambil membantu Sena membawa masuk barang-barang. “Hehehe, sebenernya Sena butuh bantuan Mama biar bisa lebih cepet pendekatan sama Suami ganteng.” “Ih mau banget Mama sharing semua aib Samudra,” ucap Mama Dara dengan antusias. Keduanya saling melemparkan senyuman misterius, dan diyakini Sena kalau Mama Dara akan menjadi teman baiknya di sini. Di sisi lain, Samudra sudah menyelesaikan pekerjaannya. Sudah waktunya pulang dan tidak ada lagi yang harus dia kerjakan. Namun, rasanya malas untuk pulang, apalagi mengingat keberadaan sang istri dengan segala tingkahnya yang aneh di sana. Jadi, Samudra memutuskan untuk pergi ke perpustakaan dulu dan menghabiskan waktunya untuk membaca di sana. dalam keheningan yang menyenangkan, hanya ada suara buku yang halamannya dibalik. Hingga suara ponsel miliknya mengangetkan. Siapa yang berani menghubunginya diluar jam kerja? Dan itu nomor baru hingga Samudra menolaknya berkali-kali. Namun tidak lama kemudian, ada pesan bertuliskan: “Om dimana? Ini Sena, istrinya Om. Kata Mama biasanya jam segini udah pulang. Kenapa sekarang belum? Cepetan pulang, adek nunggu ini.” Membacanya saja membuat Samudra merinding, dia langsung mematikan layar ponselnya dan mencoba mengabaikan. Lebih baik untuk Samudra menghindari sumber rasa kesalnya daripada harus menghadapi. Karena dalam kasusnya kali ini Samudra tidak bisa mengeluarkan semua emosinya, hal itu tertahan pada janjinya terhadap Kakek. Namun tidak lama kemudian, sang Mama menelponnya. Ini tanda buruk, membuat Samudra memilih bergegas pulang tanpa mengangkat panggilan Mama Dara. Begitu satu langkah masuk ke dalam apartemen, tubuhnya langsung menegang kaku. Aroma apa ini? kenapa bau bunga dan juga lavender? Kemana aroma kopi yang menjadi kesukaannya? “Ya ampun, Om. Kenapa baru pulang? Bikin aku khawatir tau,” ucap Sena mendekat kemudian mencium tangan Samudra secara tiba-tiba, membuat Samudra kaget dan mematung selama beberapa saat. Sementara Sena kembali melangkah ke dapur seolah tidak terjadi apa apa. “Mama baru aja pulang, dia abis bantuin aku masuk masukin dan nata barang barang aku di apartemen. Hihihi, sana Om mandi dulu, adek mau buat makan malam,” ucapnya dengan nada mendayu di akhir kalimat. Membuat Samudra bergidik ketakutan dan langsung melangkah pergi ke kamarnya. Namun begitu Samudra melihat isi kamarnya, dia merasakan sesak di dadanya dan tubuhnya yang menegang lagi. Boneka pink dimana mana, sprei yang kini menjadi warna biru. Lalu aroma therapy yang menjadi aroma vanilla. Samudra memegang keningnya yang terasa pening. Ini sudah melampaui zona nyamannya! Ditambah lagi Samudra mendengar suara letusan dari arah dapur. Dia ingin marah sekali. "Kakek, inget Kakek. Janji gak boleh dilanggar," ucapnya mengingatkan diri sendiri. Memastikan tidak ada kejadian yang buruk pada apartemennya, Samudra memanggil, “Sena?” “Kenapa, Om?” Saat Samudra menoleh. “Arrgghhh! Kenapa wajah kamu hitam?” samudra memegang dadanya, dia hampir serangan jantung beberapa kali dalam atu hari. “Hehehe, anu… itu lagi masak… um… salah teknik,” ucapnya sambil tersenyum dan menampilkan giginya yang ikut menghitam juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD