Surawisesa Family

2527 Words
“Om, aku mau dijatah sehari 150 ribu ya, termasuk itu uang belanja juga. Karena hari ini Om belum kasih, jadi buat besok jadi double. Jadi 300 ribu.” Itu yang Sena katakan dengan nada suara yang rendah, dia terlalu takut untuk meminta uang pada Samudra mengingat dirinya sendiri belum bisa menjadi istri yang baik. Namun, Sena benar benar membutuhkan uang dan dia merasa kalau itu adalah haknya untuk meminta. Dan karena Samudra diam saja, Sena kembali berucap, "Itu termasuk uang belanja kok, jadi gak banyak-banyak amat kan?" Samudra terdiam karena nominal yang diajukan, benarkah sang istri hanya membutuhkan uang sebesar itu? Jika Sena menuntut uang 150 ribu perhari, maka jatahnya dalam satu bulan hanya 4,5 juta. Apa dia serius mengatakan itu? “Ya, Om? Tolong kasih jawaban." Samudra memberikan isyarat untuk Sena membiarkannya makan terlebih dahulu. Tidak baik jika makan sambil bicara, apalagi Sena terkadang memancing emosi Samudra. Pria itu tidak ingin tersedak dan mati dengan konyol. Untuk makanan buatan Sena sendiri, Samudra bisa menerima karena rasanya enak. Tapi ada beberapa hal yang harus mereka selesaikan di sini, seperti aroma theraphy dan juga warna warna pink di beberapa sudut yang membuat matanya terasa sakit, asing dalam hidupnya. Sena tidak boleh terlalu mendominasi disaat dirinya masih mencoba beradaptasi. “Abis makan, kita ngomong.” “Heih, takut keselek ya?” Tanya Sena yang langsung sigap membawakan air minum untuk sang suami. “Nih, lupa adek.” Geli sendiri Sena menyebut dirinya seperti itu, tapi dia menyukainya dan terkekeh karenanya. Ingin akrab dengan Samudra, dan Sena kebingungan caranya. Jadi dia hanya mencoba menjadi dirinya sendiri saja. “Om kalau panggil aku adek mau ya? Aku kan masih kecil.” Tidak ditanggapi oleh Samudra merupakan hal yang biasa untuk Sena, dia tidak ambil pusing dan terus mengatakan hal-hal random lainnya. Sampai mereka selesai makan malam, Samudra duduk di ruangan televisi dengan membawa pouch besar yang memang sudah dia siapkan dari jauh-jauh hari. Sejak Kakeknya menodong Samudra untuk mempersiapkan kebutuhan calon istrinya, Samudra hanya bisa mengikuti saja kemana alurnya. “Apa itu, Om?” “Kebutuhan kamu.” Samudra memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru dengan warna hitam yang membuat Sena terpukau seketika. Dia menerimanya. “Buat aku, Om?” “Isinya udah ada kontak saya dan keluarga Surawisesa, tapi jangan kamu buat main-main, hubungi mereka kalau benar benar perlu saja.” “Tapikan aku udah punya hape. Yang ini,” ucapnya mengeluarkan ponsel lamanya yang begitu kecil. Android yang sudah ketinggalan jaman. “Ganti.” “Hehehehe, okay makasih, Om. Adek suka banget. Mana gambar apel digigit lagi.” Mengabaikan kalimat yang membuatnya geli, Samudra mengeluarkan dua kartu ATM. Sena ini benar benar mirip dengan anak kecil. “Yang ini buat keperluan rumah tangga.” Samudra menunjuk kartu yang berwarna hitam. “Yang ini buat keperluan pribadi kamu.” Kemudian menunjuk kartu lainnya yang memiliki warna biru. “Kenapa dipisah kayak gini?” Mengabaikan pertanyaan itu, Samudra kembali mengatakan, “M-banking nya udah tersambung ke hape baru itu.” Ketika Sena hendak mengecek ponsel barunya, Samudra menahan tangannya. “Lah, kenapa?” “Saya gak suka banyak boneka atau benda benda berwarna pink di kamar saya.” “Kamar kita, Om.” Sena merevisi. “Itu kamar kita loh.” “Saya gak suka.” Mencoba mengatakan apa yang dia inginkan dan berharap itu tidak menyakiti hati Sena. Bisa bahaya jika Sena melapor pada Kakeknya, kemudian Samudra berakhir diberikan nasihat selama berjam-jam. Tapi dia benar benar tidak tahan dengan hal itu, semua barang aneh yang masuk ke dalam ruangannya terasa membuat Samudra berada di rumah orang lain. “Tapi adek suka. Gini aja deh, seminggu pake sprei sama boneka-boneka aku, seminggu lagi punya Om yang item-item. Jadi adil, soalnya adek ngerasa tinggal di rumah asing kalau gak ada boneka sama warna pink.” Ingin sekali Samudra mengatakan hal yang sama dengan menaikan nada bicaranya, tapi dia menahan sebisa mungkin. “Aroma bunga juga saya gak suka.” “Gantian juga seminggu kayak gitu, gimana?” Ketika Samudra yang notabenya seorang jaksa itu tidak tahan dan berniat menyerang Sena dengan kalimat-kalimat logis, Sena mendahului dengan kalimat, “Adil dan makmur sesuai pancasila. Menurut aku kalau kayak gitu itu adil, Om. Lagian kan boneka aku Cuma tiga, mana segede kepala Om juga, gak segede gaban. Warna pink Cuma sprei doang. Kalau banyak hiasan aku yang warna pink, aku bisa beresin, kalau boneka jangan buat seminggu ini. nah, hal yang harus kita bahas juga yaitu tentang malam pertama. Mau malam ini?” Blank! Otak Samudra langsung hitam seketika. Semua argumen yang akan dia katakan hilang seketika ketika Sena mengatakan tentang malam pertama. Dirinya benar benar tidak siap untuk hal itu. “Kita sepakat yang ganti warna tiap satu minggu?” “Okay.” Pada akhirnya hanya kata itu yang keluar dari bibir Samudra. “Nah, sekarang buat malam pertamanya mau kapan?” Samudra berdehem dan mengalihkan pandangannya ke arah yang lain, kenapa Sena begitu menyebalkan dan terus menanyakan hal tersebut? Selain bingung untuk menjawabnya, Samudra takut dia tidak sengaja membentak Sena karena rasa kesalnya sudah terkumpul di ubun-ubun sekarang ini. “Om, jangan ngehindar terus. Kalau mau sekarang juga ayo, gass aja aku siap.” “Saya yang gak siap,” ucap Samudra seketika yang membuat mulut Sena membulat seketika. “Loh kenapa?” “Kamu bukan zona nyaman saya.” Sena terdiam, membuat Samudra bisa dengan perlahan melihat raut murung itu mulai mendominasi Sena. Jadi suaminya itu tidak nyaman dengannya ya? Atau mungkin ada hal yang lain? Intinya kini Sena tau kalau hati Samudra bukanlah miliknya. Namun, raut murung itu tidak bertahan lama, karena sedetik kemudian Sena tiba tiba memperlihatkan senyuman yang begitu ceria dengan kalimat, “Akan aku bikin Om nyaman banget sama aku! Pokoknya saat waktu itu tiba, Om bakalan gak mau lepas pelukan aku! Hahahahaha!” Samudra menatap aneh perempuan di depannya yang tertawa terbahak-bahak sampai akhirnya terbatuk batuk. Tidak ingin terlibat lebih dalam dengan pembicaraan, Samudra segera berdiri. “Uhuk uhuk! Om mau kemana?” “Kerja. Jangan ganggu,” ucapnya yang langsung diacungi jempol oleh Sena. *** Saat masuk ke dalam kamar, suaminya sudah ada di ruangan kerja seperti biasa. Dari arah Sena berbaring, matanya bisa melihat punggung Samudra yang sejajar dengan kakinya. Sembari bersantai dan memainkan ponsel baru, Sena membuka M-banking untuk melihat berapa uang yang diberikan oleh Samudra untuk dirinya. Ketika melihat saldo untuk kebutuhan rumah tangga, Sena dikejutkan dengan angka 60 juta yang tertulis di sana. membuat dirinya membekap sendiri mulutnya. Besar sekali, meskipun memang untuk kebutuhan keluarga mereka. Dan teriakan tidak dapat dihindari ketika Sena melihat berapa jatah untuk dirinya sendiri. “30 juta?!” “Jangan berisik, Sena.” “Om, ini uang buat adek jajan 30 juta buat satu tahun apa gimana?” “Tiap tanggal 1 saya transfer dengan nominal yang sama.” “Om gak mabuk kan?” Sena masuk ke ruangan kerja Samudra dengan tergesa-gesa, takut kalau ini hanyalah bayangannya saja. “Ini buat aku doang 30 juta? Kenapa gede banget? Perbulan gitu? Terus ini? buat kebutuhan dapur 60 juta sebulan?” “Semua kamu yang atur termasuk makan diluar.” “Terus uang bulanan aku kenapa banyak banget? 30 juta?” “Kamu masih kuliah, dan itu termasuk kebutuhan pribadi." Samudra berdecak dengan kesal. "Bisa gak jangan ganggu dulu?” Baru Sena sadar kemudian mengangguk paham. Benar juga, ini masuk akan karena dirinya masih kuliah dan masih banyak lagi kebutuhan pribadinya. Jadi Sena memutuskan untuk mengangguk paham dan memeluk dirinya sendiri dengan senyuman yang mengembang. “Makasih ya, Om. Om pengertian banget sih. huhuhu, adek terharu pokoknya. Dan tujuan adek sekarang adalah bikin Om nyaman. Kerjanya jangan kecapean ya, Om. Masih banyak?” “Keluar.” “Okay!” teriak Sena masih dengan wajahnya yang ceria dan keluar dari sana. kembali berbaring dengan senyumannya yang tidak kunjung luntur. Matanya tetap memperhatikan sang suami yang beberapa kali menguap tapi terus mencoba fokus pada pekerjaannya. Membuat Sena keluar kamar, menelpon sang mertua untuk menanyakan apa yang harus dia lakukan supaya bisa membuat Samudra senang. Dan Mama Dara memberikan kalimat, “Anak itu keras kepala kalau ada hal yang belum terselesaikan, kamu kasih dia buah-buahan aja sama teh anget.” Atas saran Mama Dara, Sena memberikan tambahan cream di atas buah buahannya. Membawanya masuk ke ruang kerja Samudra dan menyimpannya di meja samping Samudra. “Om, biar gak ngantuk. Semangat kerjanya ya suami.” Melirik sekilas pada nampan yang dibawakan oleh Sena. Beberapa detik Samudra terdiam sampai akhirnya kalimat yang keluar dari mulutnya hanya, “Sana tidur.” “Iya, Om.” Sena kembali keluar dari sana. “Dasar yang punya harga diri tinggi, liat aja nanti bakalan bucin sama adek.” Melihat kasur yang nyaman, mata Sena jadi berkaca-kaca. Alangkah bahagianya dia melihat tempat itu, dia langsung tengkurap dan tidak lama kemudian terlelap. Dalam lima menit kemudian, Samudra menoleh ke belakang dan mendapati kalau Sena sudah tidur. Akhirnya dia bisa menghela napasnya dalam dan memulai kehidupannya yang menenangkan dengan semua kesunyian di malam hari. Namun kenyataannya, hal itu tidak bertahan lama karena sekarang Samudra mendengar suara dengkuran dari arah sang istri. Memejamkan matanya sesaat sambil mengelus keningnya, begitu menyulitkan untuk masuk ke dalam dunianya lagi setelah ada makhluk ini. *** “Om, nanti aku pulangnya agak sorean ya. soalnya ada praktek dulu.” Samudra bahkan tidak ingin tau jurusan apa yang diambil sang istri, saking dirinya benar benar belum nyaman dan tidak tertarik dengan kehidupan Sena. Namun, Samudra bersyukur kalau Sena pulang terlambat yang mana membuatnya bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk dirinya sendiri. Sena adalah mahasiswa jurusan Seni tingkat II, memiliki kepribadian yang tomboy, ceria dan juga pembawaannya yang santai membuat dia dengan mudah berbaur. Namun di kampus, Sena lebih terkenal sebagai adik dari Tiara, seorang mahasiswa kedokteran tingkat II yang hanya berbeda dua bulan dengannya. Tiara terkenal karena kecantikan dan juga kecerdasannya, membuat para pria berusaha mendekati Tiara dengan Sena sebagai perantara. Dan tidak ada yang tau kalau mereka memiliki dua ibu yang berbeda, Sena lahir di bulan Desember dan Tiara di bulan Februari. Orang-orang mengira mereka berbeda satu tahun, nyatanya hanya dua bulan saja. “Morning, Sen,” sapa teman satu kelasnya. “Jauh jauh dari gue, gue udah punya laki,” ucapnya pada teman temannya. Mereka semua tau kalau Sena sudah menikah, tapi tidak tau siapa pria yang menikahi Sena. Dikarenakan Sena yang merahasiakannya. “Lu gak dinikahin sama Om-Om kan nyampe nutupin dari kita?” “Actually, gue nikah sama orang yang penting dan lu semua gak diundang karena gak penting sekali.” “Anjir memang,” ucap mereka kemudian tertawa. Salah satu teman pria Sena berkata, “Gue minta nomor kakak lu dong, cakep banget. Mana dia dapet kesempatan pertukaran pelajar semester depan ya? keren parah, beda jauh sama lu yang bragajulan.” “Suka suka gue lah.” Inilah karakter Sena yang tidak pernah memperlihatkan sisi lemahnya pada orang lain. "Tapi Kakak lu belum nikah 'kan? Gue takut sakit hati, kalau tau Kakak lu juga tiba-tiba nikah kayak lu." "Mana gue tau," ucap Sena mencoba mengabaikan. "Kemaren gue denger kalau Kakak lu nyumbangin uangnya ke panti asuhan ya. Keren banget, dia bener-bener titisan malaikat deh." Sena hanya tersenyum tipis mendengar kalimat itu. Tidak ada yang mengetahui betapa seringnya Sena tersakiti karena Kakaknya itu, mereka hanya melihat sisi Tiara yang baik. Tapi tidak dengan sifatnya saat berada di dalam rumah. Dan Sena bersyukur, sekarang dia pulang ke rumah yang berbeda dengan Kakaknya. Ketika jam istirahat datang, Sena ditelpon oleh sang Kakak dan memintanya datang ke fakultas kedokteran. Sena kebingungan, jarang sekali Tiara memintanya untuk bertemu. Namun, dia memaksakan ke sana dengan menggunakan sepeda motornya. Menemui Tiara di tempat yang mereka janjikan. “Aku udah bilang jangan make motor jelek itu ke sini.” “Orang dari fakultas seni ke fakultas kedokteran jauh,” gerutu Sena. “Btw ini motor antik aku ya,” ucapnya sambil melangkah mendekati Tiara. “Ada apa? Mau ngomong apa?” “Gak ada sih sebenernya. Cuma mau liat aja gimana keadaan kamu pas udah jadi menantu keluarga Surawisesa. Gak ada bedanya,” ucap Tiara melihat dari ujung kepala sampai ujung kaki sang adik. “Tetep kayak gini.” “Halah, bilang aja kakak takut aku jadi wow gitu kan. Secara Kakak pengen kerja di rumah sakit Surawisesa? Nanti jadi pegawai aku dong?” Dan itu membuat tangan Tiara mengepal seketika. Dalam sepersekian detik, Tiara menampar Sena dengan cukup keras. “Yang sopan ya kamu kalau ngomong sama yang lebih tua.” Sena terkekeh sambil memegang pipinya, seminggu lebih dia tidak mendapatkan tamparan ini dari kakaknya. Biasanya, Sena akan mendapatkannya setiap hari ketika keinginan Tiara tidak bisa dia penuhi. "Jangan mentang-mentang kamu nikah sama keluarga Surawisesa, kamu bisa seenaknya. Itu gak ngubah kenyataan kalau kamu cuma anak haram." "Anak haram yang beruntung yang bisa nikahin Pangeran impian kakaknya 'kan?" "Sena," ucapnya dengan kesal dan kembali menampar sang adik. Sena terkekeh karenanya, dia menarik napas dalam dan menatap sang Kakak. "Kakak manggil aku ke sini cuma mau nuntasin kekesalan Kakak 'kan? kenapa? Kakak gak lulus ujian? Kakak lagi kesel sama siapa nyampe nampar aku dua kali?" tanya Sena dengan tangan yang mengepal menahan amarah. Sejak kecil, dirinya selalu menjadi sasaran dan juga pembuangan emosi dari keluarganya sendiri. Sebelum Tiara mengatakan kalimatnya, seseorang lebih dulu datang dan mengacaukan semuanya, “Sena?” Tubuh Tiara menegang seketika, siapa orang yang datang ke belakang gedung becek seperti ini? Saat keduanya menoleh, Sena terkejut dengan sosok itu. “Loh, Papah kok di sini?” Itu adalah mertuanya, Ajun Surawisesa seorang direktur utama salah satu rumah sakit besar di Indonesia. “Iya, Papah kan jadi dosen undangan. Tadi Papah lagi nelpon, terus liat kamu di sini." Matanya beralih pada sosok yang sedang bicara dengan menantunya. "Kakak kamu ya? Papah lupa soalnya bari ketemu sekali." “Hallo, Om,” ucap Tiara agak canggung. “Oh iya hallo juga.” Kemudian pandangannya terpaku pada sang menantu lagi. “Kamu sekarang lagi istirahat 'kan?” “Iya, Pah.” “Udah makan siang?” “Belum,” jawab Sena. “Nah, Papah sekarang mau ke ruangan dekan dulu. nanti yang jemput Papah ke sini itu Mama mertua kamu. Kita makan siang bareng bareng ya, si kembar juga pulang. Dia mau ketemu sama iparnya katanya.” Tiara melihatnya, bagaimana Sena diperlakukan dengan baik oleh keluarga Surawisesa. Dan itu membuatnya semakin marah. Kenapa tidak dirinya yang ada di posisi itu? Kenapa malah Sena si anak pembawa sial dan juga anak haram? Iri dan dengki mendominasi pikiran Tiara. "Boleh, Pah." "Nak Tiara mau ikut?" tanya Ajun pada sosok yang dari tadi hanya menatap Senaa saja. "Nggak, terima kasih, Om. Saya masih ada kelas, saya permisi dulu." Dan ketika Tiara melangkah menjauh, air matanya menetes. Dimana dia segera mengusapnya dengan kasar. Itu adalah air mata kekecewaan pada dirinya sendiri karena tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. "Anak haram itu gak pantas di sana, dia gak pantas," ucapnya dengan suara yang tercekat. Marah ketika seseorang yang selalu dua pukul, selalu berada di bawahnya kini tiba-tiba berada di tempat yang Tiara inginkan. "Ini semua gara-gara Kakek yang gak bilang siapa calon suami yang mau aku nikahi. Kalau aja aku tau aku bakalan jadi bagian dari keluarga Surawisesa, maka aku gak akan nolak. Hiks...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD