Eleanora Zein - 3

1077 Words
CHAPTER 3 "Yen, aku izin keluar ke asrama putra ya?" pamitku pada Yeni. "Heh? Ngapain?" tanyanya heran. Matanya yang tadi terfokus pada layar datar di tangannya, kini mendongak menatapku. "Banyak urusan, aku. Dan harus kelar malam ini." "Sini nulis dulu di buku keluar. Trus jangan lupa, balik sebelum jam 9 malem. Kalau nggak, dikunciin kamu ntar. Tidur di pos satpam!" ancamnya. "Duuhh! Horor banget sih! Nggak sampai jam segitu juga kali. Aku ke sana cuma minta tanda tangan. Udah, abis itu balik," jawabku santai. "Ya kali mau pacaran, biasanya lupa waktu," katanya sambil kembali menekuni hape. "Dih! Sotoy," gerutuku sambil keluar pintu asrama. Dengan langkah tegap dan mantap aku kembali menapaki jalan di depan dome yang memisahkan asrama putra dan putri. Kalau masih terang tadi, kelihatan nggak nyeremin bangunan ini. Tapi kalau gelap gini agak merinding juga. Kupercepat langkah menuju asrama putra. Begitu sampai di pintu ruang tamu, banyak cowok berlalu lalang. Ya iyalah, namanya juga asrama putra. Namun, di ruang tamu tidak ada seorang pun, termasuk juga petugas piket. Bingung juga, bagaimana caranya bisa menemui orang-orang yang aku inginkan ya? Akhirnya aku masuk saja ke ruang tamu, lantas duduk sambil membuka catatan. Kak Yo jelas masih keluar, tidak mungkin aku memanggilnya. Baiklah, kumulai dari Kak Rahardian. Presiden Asrama Putra. Celingak celinguk tidak ada orang, aku mendekati meja piket. Di situ disediakan mikrofon juga semacam alat untuk pengeras suara. Alatnya sama seperti di asrama putri, jadi aku sudah bisa mengoperasikannya. Kunyalakan alat itu, lantas bicara di mikrofon,"TES TES SATU DUA TIGA. PANGGILAN DITUJUKAN PADA KAK RAHARDIAN , PRESIDEN ASRAMA PUTRA. MOHON KE RUANG TAMU, ADA TAMU." Belum sempat aku menghalangi panggilan, berbondong-bondong penghuni asrama keluar. Mereka ingin tahu siapa yang sedang bicara di mikrofon. Setelah melihatku, mereka kembali masuk. "Woi! Kamu kok panggil-panggil sembarangan!" sergah salah seorang cowok yang muncul dalam aula asrama putra. Buru-buru kumatikan amplifier tersebut. "Ma-maaf, kak. Kukira tadi tidak ada yang piket," jawabku gugup. "Sembarangan! Bisa dipecat aku, gara-gara kamu! Itu ada bel, bisa pencet kan?" bentakny lagi. Mataku panas, aku memang salah, tapi sungguh aku sangat takut kalau dibentak seperti itu. "Siapa yang cari aku?" tanya seorang cowok lagi yang muncul dari dalam asrama putra. Ternyata dia adalah pemateri kedua setelah Bang Yo. "Maaf, Bang. Itu tadi ..." "Oh, kamu ya, yang cari aku? Aku Rahardian," kata cowok itu memotong penjelasan petugas piket yang kusabotase kerjaannya barusan. "Ma-maaf, Kak. Iya, saya Nora. Mau minta tanda tangan, dapat tugas dari OWB." "Ooohh, iya iya. Duduk sana yuk," ajak Kak Dion ramah. Jujur saja, sikapnya itu membuatku sedikit tenang. Kak Dion mendahuluiku menuju sofa ruang tamu. Lantas kuikuti dia tanpa menghiraukan petugas piket yang judes itu. Kutandai kau, ya, cowok judes! Walau tidak tahu namamu, tapi aku ingat wajahmu. Semoga tidak bertemu kamu lagi, aamiin. "Duduk, Dek," kata Kak Dion. "Makasih, Kak. Maaf banget, mengganggu kakak malam-malam begini," ujarku sambil menyodorkan buku. "Halah, nggak apa-apa. Cuma lagi main game aja, tadi sama teman-teman," jawabnya sambil menandatangani bukuku, di kolom yang sudah kutuliskan namanya. "Ini pengurus yang lain belum semua?" tanyanya lagi. Dia menunjuk nama-nama yang kutuliskan, tapi belum ada tanda tangannya. "Eh, iya belum Kak. Baru dua orang saya dapatnya. Rencana saya kemari memang mau minta tanda tangan kakak-kakak semua," ujarku jujur. "Ya sudah kalau begitu. Habis ini kupanggilkan mereka semua yang ada. Yang nggak ada, brati orangnya lagi pulang kampung atau keluar," terangnya. Rasanya bahagia banget, akhirnya nemu kakak tingkat yang baik sama aku. "Duuhh, Kak Dion baik banget. Saya jadi nggak enak ngerepotin," kataku terharu. Walau sebenarnya deg-degan juga, sekaligus senang ada yang bantuin. Cowok di sebelahku ini tersenyum. Tampak lesung Pipit di kedua pipinya, duh manis banget. Mana struktur wajahnya mirip sama Shawn Mendez, hehehe. Rejeki nomplok dah, pokoknya. Setelah seharian tadi lumayan apes dan ketemu Kak Yongkie yang nyebelin. Ups. "Nggak apa-apa, lagian kamu sudah bikin heboh barusan. Temen-temen pada ngebully aku gara-gara panggilanmu," katanya sambil tertawa. "Waduh, Kak, maaaaap banget. Nora nggak sengaja," jawabku kikuk. Benar-benar nggak enak jadinya. "Sudah, kamu tenang aja. Tunggu di sini ya, kupanggil mereka satu-persatu. Tapi kamu jangan marah kalau kubilang pacarku ya, hahaha," katanya sambil membawa bukuku. Heh, pacar? Waduh gawat ini, apa kata kakak-kakak Astri kalau tahu keadaan ini. Bisa-bisa aku dicap keganjenan dan sok cantik. Aku masih terbengong-bengong saat Kak Dion berdiri dan melangkah pergi. Dia menghampiri si petugas piket yang jutek. "Aku mau manggil anak-anak, kamu santai aja," katanya pada cowok petugas piket. Dia meletakkan bukuku di meja piket. Si cowok jutek yang aku nggak tahu namanya itu, menyerahkan mikrofon pada Kak Dion tanpa bicara, lantas menyalakan amplifier. Beberapa nama dipanggil sekaligus oleh Kak Dion. Setelah para pengurus itu turun, langsung disuruhnya tanda tangan di bukuku. Mereka menurut saja tanpa bertanya. Namun jelas-jelas mereka bicara lirih dengan Kak Dion sambil menunjuk-nunjuk ke arahku. Sementara Kak Dion tertawa dan mengangguk saja tanpa beban. Merasa tidak enak, aku tidak henti-hentinya tersenyum sopan sambil mengucapkan terima kasih. Respon pada para pengurus yang sudah bersedia menandatangani bukuku pun bermacam-macam. Ada yang tersenyum balik, ada yang cuek bebek, bahkan ada juga yang jelas-jelas menggodaku. "Suiit, suiittt!" "Hei, jangan macam-macam, ya!" kata Kak Dion menegur beberapa orang yang tidak sopan. Iya, satu di antara cowok itu bersiul padaku. Duhh, malunya setengah mati. "Eh, maap-maap, Bang. Hehehehe!" ujar cowok itu setelah dijitak Kak Dion. Setelah semuanya selesai, Kak Dion balik ke mejaku. "Lima orang ini pulang kampung. Terus Bang Yo, lagi keluar tadi kayaknya," jelas Kak Dion. "Oh, iya Kak. Makasih banyak, ini sudah sangat membantu banget. Maaf jadi merepotkan." "Santai ajalah. Betewe, namamu siapa tadi? Era?" tanyanya. "Nora, Eleanora." "Oh, iya Nora. Kamu jurusan apa?" "Akuntansi, Kak." "Owh, fakultas ekonomi ya?" "Iya, kalau Kak Dion?" "Sastra Inggris." "Wah, keren," celetukku spontan. "Kenal Profesor Subur?" tanyanya. "Pak Dekan bukan ya?" tanyaku memastikan. "Itu Papaku," katanya dengan bangga. "Beneran? Wah, keren tuh!" Saat ini situasinya benar-benar canggung, aku hanya duduk berdua dengan Kak Dion. Sementara itu banyak cowok berlalu lalang, juga ada tatapan sinis dari petugas piket. Sebenarnya pengen pamit, tapi nggak enak. Masa iya, habis dibantuin langsung ngacir begitu saja. "Emm, anu Kak. Aku pamit balik dulu, ya. Udah malem ini," kataku canggung. "Oh, iya-iya. Perlu dianterin?" Tawaran yang menggiurkan. "Nggak usah, aku sudah cukup merepotkan Kakak. Makasih banyak," ujarku seraya berdiri. "Yaudah, ati-ati ya. Kapan-kapan aku main ke asrama putri, ya," katanya lagi. "Eh, iya. Assalamualaikum," pamitku. "Waalaikumsalam," jawabnya. Tanpa menunggu lama, segera aku keluar dari Asrama Putra. Fiuh! Lega rasanya, setengah tugasku akhirnya selesai. Tinggal Kak Yo, dan kakak-kakak pengurus Asrama putri. ... bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD