Dua

1481 Words
Shasa sudah mengenakan daypacknya, bersiap untuk menuju Stasiun Pasar Senen untuk berkumpul dengan teman yang lainnya. Jadwal keberangkatan keretanya pukul 16.00, jadi di grup dikabarkan agar berkumpul satu setengah jam sebelumnya mengingat ada beberapa yang belum kenal secara langsung, hanya melalui grup. Tiba di Stasiun pukul 14:00, Shasa sengaja datang lebih awal. Sebagai orang baru, menurutnya lebih baik menunggu dari pada ditunggu. Setengah jam berlalu, satu persatu teman di grup gunungnya mulai berdatangan. Shasa tersenyum lega melihat Zio muncul, adik kelasnya waktu SMP. Untung cowok itu datang lumayan cepat, jadi dia tidak begitu canggung di sana. "Udah dari tadi?" tanya Zio setelah melepas carriernya dan meletakkan di samping Shasa. "Lumayan.” "Kenalin, ini teman-teman gue, terus ada juga teman dari teman gue. Semua gabung disini. So, yang belum pada kenal, kenalin gih!" seru Zio. Ada sekitar dua puluh orang yang ikut trip kali ini, lumayan banyak. Yang akan berangkat dari stasiun saat ini hanya 18 orang, 2 orang lagi dari Pontianak dan akan bertemu di stasiun Malang besok pagi. Cuma ada tiga orang cewek yang ikut termasuk Shasa, sisanya cowok semua. Setelah saling mengenal semuanya, mereka mulai masuk ke dalam stasiun. Mereka lebih baik menunggu kereta di dalam sambil duduk di peron dari pada di luar. Shasa merasa sedikit risih, dari tadi merasa banyak yang meliriknya. Kenapa sih, apa ada yang aneh di diri gue? batin Shasa. Saat ini dia menggunakan celana jeans dan blouse lengan panjang ditambah sebuah scarf dilehernya. Dari penampilannya aja, terlihat sekali kalau dia tipe cewek feminim. Untuk bawahannya, Shasa menggunakan sepatu biasa, converse. Menurutnya yang digunakannya saat ini cukup simple. "Kenapa lo kayak mikirin sesuatu gitu?" tanya Zio penasaran. Walaupun Zio adik kelasnya waktu SMP, Shasa tidak mau cowok itu memanggilnya dengan embel-embel 'kak'. Shasa yang ditanya menggeleng pelan, tapi kemudian mengangguk. Zio jadi heran. "Yo, ada yang aneh di muka gue nggak? Atau penampilan gue gitu?” Zio memperhatikan penampilan Shasa dari atas sampai bawah, lalu tertawa. "Jawab dong! Kok lo malah ketawa?" Shasa cemberut. "Nggak kenapa-napa. Mungkin pada kaget kali liat lo, dikira mau ke mall," ledek Zio. Dia baru menyadari penampilan Shasa. "Ih, perasaan gue biasa aja.” Kemudian Shasa melihat teman-teman sekitarnya. Mereka semua menggunakan celana gunung dan kaos oblong, bawahannya pun ada yang memakai sepatu gunung ada juga yang memakai sendal gunung. Paham alasan Zio menertawakannya, Shasa langsung membuka suara lagi. "Gue nanti aja pas di Malang ganti kostum gunungnya." Zio manggut-manggut paham. "Gue tinggal ke toilet bentar ya, Sha. Lo nggak apa-apa gue tinggal di sini? Kan udah kenalan sama yang lainnya," "Iya tenang aja, gue nggak apa-apa, kok.” "Sha, boleh duduk di sini?" tanya seorang cowok berdiri di depan Shasa. Tidak lama setelah Zio pergi ke toilet. “Gue Guntur," ucap cowok itu tersenyum kepada Shasa yang seakan bisa membaca fikiran cewek itu. "Sorry, gue belum hafal sih nama kalian semua." Shasa meringis pelan. "Wajar kok, kita kan rame! Gue juga baru gabung di grup ini. Tapi ada beberapa orang yang udah gue kenal juga sebelumnya," ucap Guntur. "Lo sendiri gimana? Kok bisa gabung di sini?" "Diajakin teman," jawab Shasa singkat. "Yang mana teman lo?" "Tuh yang baru keluar dari toilet, Zio namanya," tunjuk Shasa ketika melihat Zio yang baru saja keluar dari toilet. "Lo kenal?" Guntur menggeleng lalu mengangguk. "Sama kayak lo, baru kenal tadi. Kayaknya teman gue deh yang kenal sama dia." *** Tepat waktu, kereta pun berangkat pukul 16.00. Mereka-di trip ini menggunakan kereta Bisnis tujuan Malang, di mana ada bangku saling berhadapan untuk empat orang. Yang berarti satu bangku diisi oleh dua orang. Shasa kebagian duduk dengan Rini, dan di depan nya kebetulan diisi oleh Guntur dan Zio. Shasa sangat senang naik kereta. Sebelumnya juga dia sudah beberapa kali naik kereta, ke Jogja. Tak masalah baginya jika harus naik kereta bisnis, bukannya eksekutif. Yang penting kebersamaan, itu yang disukainya. Bahkan ke Jogja yang berulang kali ke sana, dia malah naik kereta ekonomi dua kali. Seenggaknya biarpun ekonomi, yang penting ada AC dan tidak gerah. Rini yang duduk di samping Shasa sedang bercerita tentang pengalamannya yang sudah beberapa kali naik gunung. Shasa takjub mendengarnya, tangguh sekali ini cewek—pikirnya. Zio dan Guntur juga sama, mereka katanya sih dalam setahun bisa berapa kali. Shasa cuma bisa menelan salivanya mendengar cerita mereka bertiga, dirinya tidak mempunyai pengalaman apa-apa! "Jadi, Shasa baru pertama kali mau naik gunung?" tanya Guntur menaikkan alisnya. "Hehe... Iya," jawab Shasa malu-malu. "Wow hebat juga lo! Baru pertama kali langsung mau coba nanjak gunung tertinggi di Pulau Jawa?" Ini tuh ngeledek atau beneran nanya! "Tau tuh, katanya pengen banget gara-gara pernah nonton film 5cm. Penasaran dia sama keindahan Ranu Kumbolo dan Oro-oro Ombo," sahut Zio menimpali. Shasa tersenyum, memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Gue salut sama lo Sha, good luck!" lanjut Guntur memberikan semangat. "Makasih.” "Udah persiapan apa aja nih sebelum jalan?" tanya Guntur lagi. "Cuma lari muterin komplek rumah dan naik turun tangga sambil lari kecil," ucap Shasa apa adanya. "Lumayan lah, buat latihan fisik," ucap Guntur lagi. "Tadinya gue nggak yakin pas Zio bilang lo mau ikut Sha," ujar Rini kemudian. "Karena liat profile picture Shasa di w******p kan lo?" sela Zio. Rini cuma menyengir. Sedangkan Shasa menunduk malu. Di profile picture w******p miliknya, Shasa terlihat sangat feminim. Bukan dari cara berpakaiannya saja, tapi bisa dilihat dari posenya berfoto juga. Pukul 22.00, kereta yang mereka tumpangi berhenti di Stasiun Cirebon. Beberapa orang dari rombongan keluar dari kereta hanya untuk menghirup udara malam di luar. Ada juga yang sudah berada di alam mimpi. Shasa sendiri tadi jam 8-an sehabis makan malam-sempat tidur sebentar dan baru saja terbangun mendengar suara berisik. Ternyata bangku di bagian belakang, ada yang tengah asik bercanda. Mau coba untuk memejamkan mata kembali, tapi tidak bisa juga. Akhirnya Shasa mengeluarkan ponsel dari dalam saku sweaternya. Dia melihat ada notifikasi dari line. Shasa tersenyum mendapati sebuah chat dari teman sepupunya, Revan namanya. Revan Sha, udah di kereta? Chat dari cowok itu ternyata sudah dari jam 7 tadi, berarti waktu dia sedang makan. Shasa segera mengetik balasannya. Shasa Udah, tadi jam 4 sore Sekarang udah sampai mana? Shasa Stasiun Cirebon. Lo belum tidur? Belum, nunggu kabar dari lo. Gue khawatir. Shasa Gue baik2 aja kok. Makasih udah khawatirin gue. Hmmm... Ya udah sekarang lo istirahat. Shasa Lo juga. Night... Tanpa menunggu balasan dari Revan, Shasa mengantongi ponselnya kembali. Revan Widyatma adalah seorang anak petinggi kepolisian. Papanya memiliki jabatan yang cukup disegani. Revan sendiri tidak mengikuti jejak papanya, dia malah memilih untuk kuliah di jurusan manajemen. Sambil kuliah, dia membuka usaha sebuah cafe dan distro. Untuk modal awal usaha hanya sedikit dibantu oleh orang tuanya, sebagian besar adalah hasil tabungan dari jaman sekolah. Otak bisnisnya sudah berjalan dari masa sekolah. Shasa kenal Revan dari sepupunya, Gamal. Mereka berdua satu SMA, beda sekolah dengannya. Gamal yang saat itu main ke rumah Shasa mengajak Revan. Kebetulan cowok itu sedang berada di rumahnya. Beberapa hari kemudian, Revan menghubungi Shasa. Sudah pasti, sepupunya satu itu yang memberikan nomor ponselnya. Sejak hari itu, mereka sering berkomunikasi. Sampai akhirnya lulus sekolah dan sekarang masing-masing sudah kuliah di Universitas yang berbeda. Cowok itu tidak pernah menyatakan bahwa dirinya menyukai Shasa. Lain lagi dengan Shasa, dia merasa nyaman ketika bersama Revan. Baginya Revan adalah teman yang baik dan perhatian. Just a friend, not more. *** Seorang cowok tengah tertidur di sebuah kursi empuk di kereta eksekutif tujuan Malang. Lepas maghrib tadi, kereta yang ditumpanginya baru jalan dari stasiun Gambir. Dia memilih naik kereta yang tarifnya lebih mahal ini supaya bisa beristirahat dengan tenang, mengingat esok harinya dia akan mendaki gunung sendirian. Kereta ini hanya berhenti di stasiun-stasiun tertentu, jadi walaupun berangkat lepas maghrib tetap besok pagi sampai di sana lebih awal dari pada kereta bisnis yang berangkat dari Stasiun Pasar Senen. Ini sudah ketiga kalinya cowok itu naik gunung seorang diri. Tak masalah baginya, dia mempunyai peralatan gunung yang lengkap dan juga masalah makan dia bisa masak sendiri dengan menu apa adanya seperti telur, mie atau frozen food. Dia juga membawa cemilan dan juga beberapa sachet kopi, sereal, s**u yang nantinya tinggal memasak air saja. Geteran ponsel di saku celananya membuat cowok itu membuka matanya. Dia mengeluarkan benda pipih tersebut dari sakunya. Ketika melihat nama yang tertera pada panggilan masuk di ponselnya, cowok itu berdecak kesal. Dia mengabaikan panggilan itu dan mematikan ponselnya. Lanjut tidur kembali. Satria Dikjaya—cowok berparas tampan dengan sikap dinginnya membuat siapa pun tak bisa menebaknya. Cowok itu tidak suka jika kehidupannya diusik seseorang. Satria adalah seorang cowok pencinta alam. Baginya alam itu tempatnya menyegarkan fikirannya ketika sedang banyak fikiran seperti saat ini. Pagi tadi dia langsung cek tiket ke Gambir untuk tujuan Stasiun Malang Baru, ternyata masih ready. Dia segera membelinya. Untuk peralatan gunung, dia sudah prepare di dalam carriernya sejak lama. Persiapan kalau semisal nanjak dadakan. Yang lainnya, siang harinya dia baru mempersiapkan semuanya. Untuk simaksi Semeru, dia melakukannya nanti di tempat. Semoga masih ada kuota.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD