Tiga

2477 Words
Saat ini rombongan Shasa tiba di Stasiun Malang. Begitu keluar dari stasiun, sudah ada dua orang lainnya yang berasal dari Pontianak, Mega dan Andra namanya. Lalu mereka menyewa dua angkot untuk menuju ke Pasar Tumpang. Di sana nanti mereka akan mandi terlebih dahulu, sebelum naik jeep menuju Ranu Pani. Banyak orang yang berkumpul di Pasar Tumpang. Dipastikan mereka yang ada di sana itu akan mendaki gunung Semeru atau sekedar trip biasa aja ke Bromo, tentu untuk menuju kedua tempat itu biasanya menggunakan jeep atau motor trail. Selesai mandi, Shasa ikut bergabung bersama teman-temannya. Cewek itu menggunakan baju hitam dilapisi jaket putih tebal. Untuk celana, dia masih memakai jeans. Pas mau naik di Ranu Pani nanti, baru dia akan menggantinya dengan celana gunung miliknya yang sudah dipersiapkannya. Beberapa mata nampak melirik Shasa terang-terangan. Dia sangat cantik dengan rambut yang masih tergerai indah sehabis mandi. Mempunyai kulit yang putih, mata yang indah, hidung kecil mancung serta rambut berwarna agak kecokelatan membuatnya tampak berbeda dari beberapa pendaki cewek yang ada di sana. Negosiasi selesai dengan pihak yang akan menyewakan kendaraan, rombongan Shasa pun segera bersiap menaiki jeep. Di perjalanan menuju Ranu Pani, mereka disuguhi pemandangan yang indah. Gunung Bromo dengan sabananya yang luas. Sang sopir sengaja berhenti sebentar membiarkan rombongan tersebut mengabadikan momen indah itu. "Indah ya, Sha! ujar Guntur tiba-tiba, entah sejak kapan cowok itu berdiri di sebelah Shasa. "Iya." Shasa mengangguk, matanya tak lepas memandang indahnya ciptaan Tuhan yang ada di depannya. "Kayak elo." "Eh... " Shasa menoleh ke sebelahnya. Dia mendapati Guntur yang tengah tersenyum hangat kepadanya. "Nanti lo bakalan lihat banyak lagi yang indah seperti ini." Shasa sudah sering mendengar gombalan seperti itu dari banyak cowok. Tak dipingkiri, Shasa merasa beruntung bisa bergabung dengan rombongan ini, mereka sangat kompak. Sebelum naik, ketua rombongan mengajak semuanya untuk berdoa terlebih dahulu. Untuk ceweknya, jalan di bagian tengah. Di depan dan belakang, ada cowok-cowok yang menjaga mereka. Sejauh ini, Shasa nampak masih bersemangat. "Capek nggak, Sha?" tanya Zio yang berjalan di belakang Shasa. "Belum, Yo," jawabnya sambil tersenyum. "Ya udah, nanti kalau capek bilang aja. Kita bisa break dulu.” "Oke.” Lima belas menit kemudian, Shasa mulai merasa sedikit capek. Guntur yang jalan paling belakang sekali menyadari hal itu. "Break!!" teriaknya dari belakang. "Oke, kita break dulu sebentar. 5 menit!" seru sang ketua dari depan. "Ingat ya, istirahatnya berdiri aja biar kakinya nggak pegal nanti!" sambungnya lagi. Enam setengah jam perjalanan akhirnya mereka tiba di Ranu Kumbolo. Cukup lama, karena seringkali berhenti, Shasa salah satunya yang sering merasa kelelahan. Namun dia sangat senang, ternyata anak gunung itu rata-rata bersikap ramah. Sepanjang perjalanan, berapa kali berpapasan sama pendaki lain mereka saling bertegur sapa dan memberikan semangat. Cuaca di gunung saat ini begitu dingin. Sedang musim kering begini, memang di gunung terasa lebih dingin dari biasanya. Jam 11 malam, tim cewek yang cuma tiga orang mulai memasak, dibantu sama tiga orang cowok. Sedangkan yang lainnya sibuk memasang tenda dan menyeduh kopi. "Dingin banget,” ujar Mega sambil mengusap-usap tangannya. Padahal dia juga sudah menggunakan sarung tangan. "Iya, musim kering emang lebih dingin kan di gunung," sahut Rini. "Gimana rasanya sekarang udah nyampe sini, Sha?" tanyanya beralih pada Shasa. "Gue senang, Rin. Walau tadi capek dan kedinginan begini, gue senang punya pengalaman baru yang seru," jawab Shasa antusias. "Iya, emang seru. Gue dulu awalnya kayak lo juga Sha, dikit-dikit minta break karena capek. Maklum lah ya, kan cewek," ucap Rini. Mereka tertawa bersama. Malam ini mereka akan bermalam di Ranu Kumbolo. Besok pagi setelah sarapan, baru mulai melanjutkan perjalanan kembali menuju Kalimati, pos terakhir sebelum summit yang berada di ketinggian 2.700 mdpl. "Belum tidur?" "Belum nih, nungguin Mega dan Rini dulu. Lagi cari tempat buang amunisi mereka." "Oh. Boleh gue duduk di sini?" "Boleh kok." Diam. Mereka tenggelam dalam suasana malam yang hening. Karena sebagian sudah masuk ke dalam tenda. "Sha, coba liat ke atas sana deh!" seru Guntur. Shasa melihat ke arah langit yang saat ini ditaburi banyak bintang. Indah, sangat indah. Ditambah cahaya bulan yang menyinari malam. “Menikmati malam di tempat yang indah, ditemani ribuan bintang di langit. Tidur di hotel alam dengan ribuan bintang menemani, lebih menarik dari pada tidur di hotel bintang lima. Setuju nggak?" Guntur menoleh ke arah Shasa, cewek itu tersenyum menganggukkan kepalanya. "Cantik banget!" gumamnya pelan. *** Pagi ini Shasa dan rombongan asik mengabadikan keindahan danau Ranu Kumbolo. Shasa telat bangun, di saat yang lainnya sibuk hunting sunrise, dia masih setia memejamkan matanya di dalam sleeping bag yang menyelimutinya dari rasa dingin. Saat dia bangun, cewek itu kaget berada sendirian di dalam tenda. Rini dan Mega, entah kemana perginya. Masih jam 6 pagi, tapi itu sudah kesiangan bagi anak gunung yang ingin mengabadikan momen terbitnya matahari. Walaupun tidak menikmati momen terbitnya sunrise, Shasa tetap kagum dengan apa yang dilihatnya di depan matanya saat ini. "Nyenyak banget tidurnya, tuan putri," ledek Zio berjalan mendekati Shasa. Shasa memanyunkan bibirnya. "Baru juga jam 6." "Ini udah siang namanya kalau di gunung. Lagi lo kebo banget tidurnya." "Gak juga sih, gue telat tidurnya," balas Shasa. "Emangnya lo ngapain?" selidik Zio menyipitkan matanya. "Cuma ngobrol-ngobrol aja semalam, lupa waktu gue." "Sama siapa?" "Guntur." Zio berdehem. "Curiga gue, jangan-jangan ada something nih! Cinta bersemi di Semeru?” "Gue cuma ngobrol doang kali." Zio tertawa melihat muka Shasa cemberut. "Lagi duduk di atas kayu tuh, sendirian. Samperin gih!" ledek Zio sambil menunjuk Guntur yang sedang duduk sendirian. "Zioooooooooooo!!!!" teriak Shasa. Seorang Sharaza Geonefa tak semudah itu tertarik pada cowok. Zio kemudian tertawa cekikikan dan berlari masuk ke dalam tendanya. Tak lama, rombongan Shasa mulai melanjutkan perjalanan kembali. Shasa merasa heran, itu cowok-cowok yang membawa carrier dengan kapasitas sampai 80 liter apa mereka tidak merasa keberatan? Apalagi saat ini jalan yang ditempuh lumayan menanjak. Yah, mereka sekarang sedang berada di tanjakan cinta. Mitosnya di tempat ini, tidak boleh melihat ke belakang selama naik di sini dari arah Ranu Kumbolo. Katanya juga jika kita make a wish di tempat ini tanpa menoleh ke belakang, maka wish kita bisa terwujud. Shasa meragukan mitos itu. Setengah perjalanan dia melihat ke belakang, lebih tepatnya ke arah bawah. Sungguh, indahnya ciptaan Tuhan. Keindahan Danau Ranu Kumbolo begitu sangat mempesona. Shasa nampak tidak berkedip. Dia langsung mengeluarkan kameranya, lalu memanggil Zio untuk memotonya dengan background ranu kumbolo. "Dibilang jangan liat ke belakang, ngeyel amat," celutuk Zio. "Lo sendiri?" "Lo sih, manggil gue minta fotoin. Jadi, reflek gue berbalik," alibi cowok itu. "Bisa aja lo. Cepetan, tolong fotoin gue!" Shasa tersenyum puas melihat hasil foto yang diambil oleh Zio. "Lagi nggak fotonya?" "Udah deh, nanti lagi aja. Masih banyak spot yang indah lainnya." Bukan Shasa yang menjawab, tapi Guntur yang berjalan tadi jauh di belakang. Tiba-tiba udah muncul berdiri di samping Shasa. Zio memberikan kode kepada Guntur. Cowok itu langsung paham. Dia berdiri lebih dekat dengan cewek itu. "Foto bareng, buat kenang-kenangan. Boleh nggak, Sha?" *** Shasa memandang lekat keindahan bunga abadi yang ada di depan matanya saat ini. Edelweiss, baru pertama kalinya dia melihat bunga itu secara langsung dan bisa memegangnya. Sore ini, Shasa dan rombongan asik berfoto. Cewek itu kembali meminta fotografer andalannya, Zio untuk mengambil gambarnya yang sedang mencium bunga edelweiss. Kali ini dengan background sang Mahameru yang menjulang tinggi terlihat sangat jelas. Sayang sekali dia tidak bisa memetik bunga abadi itu untuk dibawa pulang, karena tidak diperbolehkan. "Siapa yang bikin tenda sendiri di sana?" tanya Shasa mengernyit. "Nggak tahu siapa namanya, tapi kemarin satu jeep sama kita," jawab Rini. "Kok gue nggak lihat, ya?” "Lonya kali nggak nengok kanan kiri. Dia berdiri dekat Zio seingat gue.” "Emang dia masuk dalam rombongan kita?" "Enggak. Dari Pasar Tumpang, dia sendirian terus nebeng naik jeep bareng kita. Di Ranu Kumbolo juga dia nenda sendirian." Rini menyipitkan matanya menatap Shasa. "Kenapa lo tanya-tanya?" "Nggak. Cuma heran aja, nekat juga dia mendaki sendirian.” "Ya gitu kalau udah hobi." Entah kenapa, Shasa terus memperhatikan gerak gerik cowok yang memasang tenda itu. Hingga akhirnya si cowok sadar jika dirinya diperhatikan. Dia menoleh dan tatapan mereka beradu. Shasa langsung menundukkan kepalanya. "Bro, butuh bantuan?" Terlihat Zaki ketua rombongan Shasa menghampiri cowok itu. "Enggak usah, ini gue udah mau kelar." "Gue Zaki. Lo?" "Satria." "Sendirian aja?" "Iya. Lagi pengen aja." Satria mengikat tali terakhir pada tendanya. Dan selesai. Lalu dia duduk di atas batu di samping tenda itu. "Nanti mau summit jam berapa? Hayoo bareng sama kita!" ajak Zaki. Satria tidak langsung menjawab. Matanya malah melirik sekilas ke arah Shasa yang tertawa bersama teman-temannya. "Lo pada mau jalan jam berapa?" tanyanya balik. "Jam 11-an rencananya, ngejar sunrise! Lebih cepat, ini bawa beberapa orang baru. Ada cewek juga." "Duluan aja, entar gue nyusul. Paling jam 1-an.” Ketika mulai summit, di situlah bisa mengetahui mana teman yang benar-benar tulus. Berbagi air, makanan, saling tunggu menunggu, di situ semuanya akan terlihat. Yang egois pasti akan langsung ketahuan. Dengan cuaca yang sangat dingin, jam 11 malam mereka akan memulai mendaki yang sesungguhnya. Hampir semua tertutup kecuali mata dan rambut bagian bawahnya, Shasa masih merasa kedinginan. Dia memakai atribut lengkap seperti jaket gunung, sarung tangan, buff, scarf, dan kupluk yang menutupi telinganya. Awalnya masih sahut-sahutan saling menunggu. Jika ada yang terinjak batu di depan, maka orang itu akan langsung berteriak agar orang yang berada dibelakangnya bisa minggir ketika batu itu jatuh menggelinding. Mulai memasuki area pasir kerikil—serasa dua langkah naik, empat langkah turun lagi. Hal itu yang tengah dirasakan Shasa. Zio dan Dika yang berada dibelakang Shasa terus memberikan semangat. Sementara yang lain mulai bergerak menjauh, bahkan ada yang sudah sangat jauh di atas. "Masih kuat, Sha? Kita break dulu aja bertiga," saran Zio yang tidak tega melihat Shasa yang sepertinya kelelahan. "Gue juga capek," sahut Dika. "Nih, minum dulu!" Zio menyodorkan minum dari ransel kecilnya kepada Shasa. Carrier dan semua barang mereka ditinggal di dalam tenda di kalimati. Tidak mungkin summit membawa beban berat. Hanya beberapa orang yang membawa ransel kecil untuk tempat ponsel dan barang berharga lainnya. "Kedinginan banget?" Shasa mengangguk lemah. Zio segera mengeluarkan sepasang sarung tangan dari ranselnya dan memakaikannya ke tangan Shasa. Kebetulan dia membawa dua pasang sarung tangan. Jadilah Shasa memakai double sarung tangan. "Masih mau lanjut nggak?" tanya Dika. Shasa mengangguk. Jujur dia masih semangat untuk menuju puncak. "Jam berapa, Yo?" "Udah mau jam 5." "Yaah kita nggak keburu ngejar momen sunrise dong di Puncak sana!" Raut muka Shasa tampak sedih. Zio berusaha tetap memberikan semangat. "Nggak apa-apa, di sini kita juga udah tinggi di atas awan loh! Liat tuh sunrise mulai muncul juga!" Yah... memang sang surya mulai mengintip—begitu indah memancarkan cahayanya. Mereka betiga sekarang kembali berhenti. Sebenarnya puncak gunung tidak begitu jauh, tapi perjalanan ke sananya yang membuat terasa jauh. Seringkali merosot turun kembali. "Kenapa Sha, kedinginan lagi?" tanya Zio. Cowok itu khawatir, takut Hsasa mengalami hipotermia. "Iya.” Shasa mencicit pelan sambil menahan rasa dingin. Tak lama nampak seorang cowok dari arah bawah sendirian menggunakan tas kecil dan membawa sebuah kayu kecil sebagai tongkatnya. Sampai di dekat mereka, cowok itu berhenti. "Kenapa?" tanyanya cowok itu yang tak lain adalah Satria. "Temen gue kedinginan," jawab Zio menunjuk Shasa yang menunduk sambil mengusap kedua tangannya. Cowok itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Nih kasih dia!" "Apaan nih?" "Minuman penghangat semacam wedang gitu. Gue bawa dari Lombok.” "Oh, oke." Zio memberikan minuman itu kepada Shasa. Setelah meneguknya, Shasa mengembalikan botol itu kepada Zio. "Makasih Yo!" ucapnya pelan. "Bukan sama gue! Nih dia yang ngasih," tunjuk Zio kepada cowok di sebelahnya. Shasa mengangkat kepalanya. Dia kaget melihat cowok yang memasang tenda tadi sore ada di dekat mereka. Sepasang mata itu menatap Shasa datar. "Ma-kasih," cicit Shasa. "Hmmm." Sepuluh menit berlalu. "Feeling better?" Zio menatap Shasa cemas. "Lumayan, nggak sedingin tadi." Shasa sesekali melirik cowok yang memberikannya minuman penghangat itu. "Yuk ah, lanjut lagi kalau udah mendingan. Keburu siang!" Dika segera mulai berjalan kembali tanpa menunggu jawaban dari yang lainnya. Zio dan Shasa langsung bangkit segera menyusul. Diikuti Satria di belakang mereka. Baru empat langkah, Shasa mulai merosot turun lagi di pijakan terakhir. Satria langsung memotong jalan Shasa. Tiba-tiba dia berhenti dan mengulurkan tongkatnya a.k.a kayu ke arah Shasa. "Pegang!" titahnya. Shasa tidak langsung memegang kayu tersebut. "Buat apa?" tanyanya. "Jangan banyak tanya, gue bilang pegang aja!" Nih cowok galak banget sih! dingin juga kayak cuaca di sini. Tidak mau berdebat, akhirnya Shasa menerima uluran kayak itu. Kemudian cowok itu mulai melangkah sambil menarik kayu yanh dipegang Shasa dengan kedua tangannya. "Pegang yang kuat!!" titah Satria lagi tanpa menoleh ke belakang. "Iya, ini juga udah kuat megangnya.” Akhirnya Shasa dan Satria tiba di tempat Dika dan Zio yang bersandar di sebuah batu besar. "Udah mau jam 6, gue sama Dika kayaknya nggak lanjut deh," ujar Zio mengatur napasnya yang nampak begitu kelelahan. "Gue gimana dong? Gue masih mau sampai puncaknya." Muka Shasa memelas. Keinginannya untuk sampai di puncak gunung sangat kuat. "Itu temenin sama Satria aja," ujar Zio santai. Jadi namanya Satria. Apaan deh ditemenin sama dia, bisa diam-diaman sepanjang jalan. Udah cuaca begini, ditambah lagi nih cowok kulkas. Shasa melirik Satria, cowok itu hanya diam tanpa protes omongan Zio. "Jalan!" Cowok itu akhirnya mengeluarkan suaranya. Shasa masih bergeming di tempatnya. Satria berdecak melihatnya. "Mau gue tinggal?" "Enggak!! Ayo jalan!" seru Shasa segera. Tanpa disadarinya, cowok itu tersenyum tipis. Sedikit lagi menuju puncak, Shasa melihat Guntur dan beberapa anggotanya mulai turun. Ketika berpapasan, cowok itu berhenti. "Sha, dari tadi gue nyariin lo kemana aja?" tanya Guntur pelan. Satria yang mendengarnya otomatis menghentikan langkahnya juga. Namun, dia sama sekali tidak menoleh ke belakang. Pegangan kayunya masih dipegang kuat oleh Shasa. "Ada, tadi gue di belakang sama Zio dan Dika." "Oh, terus lo ini sama siapa?" Guntur menatap tajam Satria yang mulai membalikkan badannya menghadap ke bawah. Enggak menatap Guntur. "Temen gue.” "Lo mau terusin naik? Gue temenin, ya?" pinta Guntur. "Enggak usah, lo turun aja duluan. Pasti capek kan?" "Tapi Sha, gue— “ "Nggak usah, gue sama dia aja," potong Shasa. Guntur menghela nafasnya kasar. "Ya udah, sampai ketemu lagi di Kalimata. Lo hati-hati!" "Iya.” Shasa berteriak ketika sampai di puncak Mahameru. Dia tidak menyangka dirinya yang dianggap lemah lembut sama kebanyakan orang bisa berada di gunung tertinggi di Pulau Jawa. "Ah, gue seneng banget!!!!" teriaknya sambil berputar-putar. Satria menggelengkan kepalanya melihat tingkah cewek itu. "Hei, bisa minta tolong nggak?" "Apa?" "Tolong fotoin gue, di samping bendera itu!" tunjuk Shasa pada sebuah bendera Indonesia—yang entah siapa yang memasang disana. "Hmmm." "Boleh?" "Gue berubah pikiran lagi nih!" "Habis lo jawabnya cuma 'hmmm' aja, gue kan bingung." Shasa mengerucutkan bibirnya. "Sini cepat!" Shasa segera menyodorkan ponselnya kepada Satria. "Cantik banget!" gumam Satria pelan. Dia mengambil foto Shasa dengan beberapa gaya. "Udah belum foto-fotonya? Yuk turun!" "Iya," jawab Shasa malas, rasanya masih ingin berlama-lama di sini. "Eh, kita belum berkenalan secara resmi. Nama gue Sharaza, biasa dipanggil Shasa. Lo?" Untuk pertama kalinya, Shasa mengajak seseorang berkenalan lebih dulu. Cowok itu terdiam sejenak, kemudian baru bersuara beberapa saat kemudian. “Satria.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD