"Teh, makan dulu, yuk!" ajak Ningsih setelah semua barang-barangku tersusun rapi.
"Emmm … tapi aku belum nanak nasi," jawabku bingung.
Sejujurnya perutku memang sudah lapar. Di rumah aku hanya sarapan bubur dan tadi tenagaku lumayan terkuras. Akan tetapi, jika aku makan sekarang sudah pasti tak hanya lauk yang kubeli tentu harus sama nasinya.
"Hahaha, Teh Queen lucu sekali. Gak apa-apa yuk makan aja di rumah aku!" ajaknya lagi, justru malah semakin membuatku sungkan.
"Eh, gak usah, Ning. Aku nanti masak nasi dulu," jawabku segera seraya mengambil rice cooker untuk kemudian segera memasangnya.
"Aaahhh lama. Yuk, ikut aja!"
Ningsih menarik tanganku. Mau tak mau aku pun mengikutinya. Dia membawaku ke rumahnya.
Seorang wanita paruh baya yang kupastikan merupakan ibu Ningsih sedang duduk membaca majalah. Ia menoleh begitu mendengar kami masuk. Kemudian menghampiriku dengan diiringi senyuman.
"Oh ini Neng Queen?" sapanya. Aku pun bergegas mencium punggung tangannya.
"Hehe iya, Bu. Maaf baru mampir ke sini," jawabku sedikit malu.
Bisa-bisanya aku lupa untuk menemui pemilik kost padahal aku hendak tinggal di sini. Jika saja Ningsih tidak memaksa tadi, bisa-bisa aku gak menemui ibunya sampai ingat.
"Oh, gak apa-apa. Pasti udah beres-beres, ya? Sekarang udah pada beres?" tanyanya kemudian.
"Udah, Bu." Aku mengangguk sopan.
"Semoga kerasan ya, Neng," ucap wanita yang merupakan ibu Ningsih itu. Ia sangat ramah sebagaimana anaknya. Aku merasa langsung memiliki keluarga begitu pinda ke sini.
Aku kembali mengangguk seraya menyunggingkan senyum.
"Udah makan?" tanya beliau lagi.
Aku hanya tersenyum dengan sedikit memamerkan gigi putihku yang tidak begitu rapi. Bingung mau menjawab apa, karena kedatangan ku ke sini memang untuk makan.
"Kayaknya Teh Queen belum makan, Bu," jawab Ningsih segera.
Ah, ingin rasanya kupeluk dia segera karena telah menyelamatkanku dari rasa kebingungan.
"Oh, kalau gitu kenapa diam aja, Ning? Ayo, ajak ke dapur. Kamu juga belum makan 'kan?!"
"Siap, Bu Bos!" Ningsih menempelkan telapak tangannya ke kening membentuk hormat membuat ibunya menggelengkan kepala.
Kemudian ia kembali menarik tanganku seraya berkata, "Yuk, Teh!"
Aku mengangguk dan kembali mengikutinya.
Kami duduk bersama di meja makan. Beberapa jenis lauk tersaji di atasnya. Ada sayur asem, tempe goreng, ikan teri, juga sambal dan lalapannya. Selain itu ada juga ayam goreng dan ikan goreng bersanding dengan tempe. Cocok sekali saat panas seperti ini makan sayur asem dengan sambal.
Ningsih dengan cekatan mengambilkan untukku piring, lalu menyendokkan nasi ke atasnya. "Segini cukup, Teh?" tanyanya setelah menyendokkan tiga centong nasi.
"Eh ... eh, kebanyakan, Ning. Nanti gampang deh kalau mau tambah!" seruku segera melihat nasi yang hampir meluber di atas piring.
Ningsih ini memberi makan untukku saja sudah seperti hendak memberi makan tukang bangunan!
Ia pun segera mengurangi porsinya lalu memberikannya padaku.
Aku benar-benar menikmati makan siang ini. Terlebih rasa sambal yang sangat menggugah selera membuatku makan hingga perut terasa kenyang. Ah, dasar padahal aku ini sedang makan di rumah orang. Bisa-bisanya makan dengan porsi banyak.
Setelah makan aku segera pamit kembali ke kamar. Tubuhku lumayan terasa pegal, jadi aku memutuskan untuk istirahat sejenak.
"Semuanya dua puluh lima ribu, Teh," ucap Ningsih dengan raut wajah menahan tawa.
Aku terkejut sekaligus kebingungan. Ini beneran bayar? Ah, bisa-bisanya aku menganggap semua ini gratis!
"T-tapi, uangku masih di ATM, Ning," jawabku sedikit grogi.
"Hey, Ningsih! Kebiasaan deh!" tegur ibu kost dari ruang tengah yang terpisah oleh lemari besar dengan dapur.
Sontak Ningsih tertawa terbahak-bahak. Lagi-lagi membuatku senyum kaku, tak mengerti maksudnya.
"Hehe, maaf, Teh. Iya sekarang istirahat dulu aja, udah jam dua ternyata," ucapnya seraya melihat jam dinding yang terpasang di ruang tengah.
"Iya, Ning. Nanti sore temenin aku keliling, boleh?" pintaku sebelum kembali ke kamar.
"Boleh. Jangan lupa shalat dulu ya, Teh. Yuk ah, aku juga belum shalat," ucapnya kemudian.
"Hehe iya." Aku pun melipir meninggalkan Ningsih setelah sebelumnya berterima kasih padanya dan ibunya.
Ah, aku kira jika datang ke tempat kos takan ada yang mengingatkan aku shalat. Nyatanya, orang yang paling dekat sekarang yang pertama mengingatkan.
Aku pun segera menunaikan kewajiban yang satu itu dan setelahnya segera tidur siang.
***
Seperti yang kupinta sebelumnya, saat ini Ningsih tengah menemaniku untuk berkeliling sekitar kost. Karena kost ini paling dalam, maka di sekitarnya hanya rumah warga. Hingga kami harus berjalan lebih dari seratus meter, barulah warung makan hingga minimarket terlihat.
Aku baru ingat, ada jalan yang dapat dilalui dan jaraknya lebih dekat ke jalan utama. Hanya saja harus melalui gang yang berada di samping kost Iqbal. Jalan ini yang pernah kami gunakan saat aku mencari Iqbal tempo hari. Sedangkan jalan yang kulalui saat datang tadi, jalannya sedikit memutar karena menggunakan kendaraan roda empat. Ini jalan yang Iqbal tunjukkan saat pertama kali aku ke sini.
"Jalan ini lebih dekat dan lebih aku sukai, Teh," ungkap Ningsih tiba-tiba saat aku sedang melihat-lihat sekeliling agar ingat jika nanti aku pergi sendiri.
"Ah, iya sih. Karena lebih dekat!" timpalku.
"Bukan. Bukan karena itu. Misal lebih jauh pun aku akan tetap menggunakannya."
Spontan aku mengerutkan kening tak mengerti.
"Karena dengan melewati jalan ini, besar kemungkinan aku bertemu pangeranku," bisiknya dengan menempelkan telapak tangan di samping mulutnya.
"Ah, jadi kamu punya pacar di sekitar sini?" tebakku seraya mengangguk-anggukkan kepala karena telah mengerti.
"Hehe, masih belum jadi sih. Tapi semoga segera," jawabnya, ia tersenyum-senyum seolah membayangkan sesuatu.
Aku tak bertanya siapa orang tersebut, karena jika disebutkan pun aku takan kenal. Selain itu, aku memang tak mau tahu tentang orang lain jika bukan karena orang itu sendiri yang bercerita.
Setelah keluar dari gang itu, Ningsih sedikit melihat-lihat ke dalam lingkungan kost Iqbal. Mungkin mencari keberadaan pangerannya.
"Pangeran kamu itu nge-kost di sini?" tanyaku yang ikut-ikutan melongok melalui gerbangnya.
"Iya, hehe," jawab Ningsih masih dengan perilaku yang sama.
"Emangnya dia siapa?" Aku yang awalnya tak mau tahu, akhirnya bertanya juga. Penasaran siapa yang bisa memikat wanita secantik Ningsih hingga ia rela melongok ke kawasan orang lain hanya demi melihat wajahnya.
"Emmm … nanti juga Teteh tahu sendiri," jawabnya sedikit malu. "Yuk ah, Teh. Lanjut jalan-jalannya!" ajaknya kemudian.
Aku mengekor saja.
Tibalah kami di jalan utama. Banyak pedagang kaki lima berjejer saat sore seperti ini. Padahal tadi saat aku datang belum ada satu pun. Ada penjual gorengan, martabak, roti bakar, nasi goreng dan yang lainnya. Aku rasa tinggal di sini tidak akan kesulitan makanan asal sedia uang yang banyak. Ah, lagi-lagi uang memang yang utama!
"Nah, Teh. Warung yang itu kalau siang jualan temen nasi. Mulai dari sayur-sayuran sampai daging dan segala macam ada," tunjuk Ningsih pada warung yang tutup.
Aku mengangguk-angguk mengerti.
"Pokoknya, Teh Queen di sini gak perlu khawatir masalah isi perut. Justru yang perlu dikhawatirkan isi hati!" seloroh Ningsih, ia tertawa.
Namun, kata-katanya membuatku mengingat pada Rival. Seseorang yang menjadi isi hatiku saat ini. Sedang apa ya, dia di sana?