Perkenalan

1017 Words
Kuraih ponsel setibanya di kamar kost. Cukup lelah berkeliling dengan Ningsih, aku pun merebahkan diri. Nama pertama yang kucari setelah ponsel digenggam yaitu Rival. Nada sambung terdengar setelah nomornya disentuh. Rival, lagi-lagi tak menjawab panggilan. Kugulir bagian pesan, tak ada lagi pesan darinya juga tak ada dari Iqbal. Biasanya setiap aku membuka handphone yang cukup lama kubiarkan, akan ada saja satu pesan dari Iqbal tapi saat ini tak ada. Kusentuh ikon telepon berwarna hijau dengan ragu, tapi setelahnya segera kusentuh ikon yang berwarna merah. Ah, sedang apa aku ini?! Terdengar suara lantunan adzan dari toa masjid yang sepertinya tak jauh dari sini. Baru kali ini aku mendengar suara adzan setibanya di sini, saat dzuhur tadi aku tak mendengar entah memang tak memperhatikan. Dan saat ashar aku tengah tidur lelap. Dengan sendirinya, tubuh ini melangkah untuk menunaikan shalat. Untuk pertama kalinya, karena memang biasanya bunda yang mengajak. Kuraih mukena dan segera menghamparkan sajadah. Aku shalat seperti biasa dan setelahnya aku berdoa. Jika sebelumnya, aku cepat merapikan alat shalat. Namun, saat ini tiba-tiba saja aku ingin berdoa. Aku merasakan rasa sakit yang dialami saat mimpi tempo hari. Rasanya sama persis. Entah karena terluka atau sedang merindukan seseorang. Hingga suara ketukan pintu terdengar, aku pun segera menyelesaikan doa yang kupanjatkan. "Sebentar," ucapku saat ketukan pintu yang kedua terdengar. Aku buka pintu kamar setelah menyimpan alat shalat. Ternyata Ningsih yang mengetuk dengan dua orang yang tak kukenal. "Yuk, masuk!" ajakku pada mereka bertiga. "Gak perlu, Teh. Justru kita ke sini mau temenin Teteh berkeliling untuk kenalan!" seru Ningsih segera. "Eh?" "Nah, ini Teh Syifa. Dia bisa dibilang kuncen di sini, hehe." Ningsih mengenalkan orang yang berdiri di samping kirinya. Dia cantik, dengan kulit putih dan tubuh yang ramping. Tubuh ideal bagi kebanyakan wanita. Matanya melotot ke arah Ningsih, tapi buru-buru tersenyum ke arahku. "Hai, Teh. Saya Queen," sapaku mengangguk sopan seraya mengulurkan tangan. "Saya, Syifa." Dia membalas dengan anggukan juga serta menjabat tanganku. "Nah, kalau yang ini Teh Tari. Dia juga kuliah di ITB, baru ke sini tadi sore. Teh Queen ada temennya!" seru Ningsih kembali memperkenalkan penghuni kost yang berdiri di samping kanannya. "Queen," ucapku kembali memperkenalkan diri diiringi uluran tangan. Wanita itu membalas dengan menyebut namanya juga. Dia juga tak kalah cantik, dan terlihat imut dengan wajahnya yang terlihat seperti wajah bayi. Belum lagi tubuhnya yang tidak terlalu tinggi tak terlihat seperti anak kuliahan. "Ya udah, yuk keliling!" ajak Ningsih kemudian. Aku pun mengikutinya. Benar apa yang dikatakan Ningsih, hampir semua penghuni kos merupakan karyawan. Yang kuliah hanya ada lima orang termasuk aku. Mereka semua ramah, setiap orang menawarkan diri untuk memberi bantuan jika aku membutuhkan. Aku dengan senang hati berterima kasih. "Nah, sekarang kan udah kenalan sama semua penghuni. Waktunya pesta penyambutan!" ujar Syifa yang disebut kuncen oleh Ningsih tadi. Aku sedikit melongo karena tak mengerti pesta apa yang dimaksud. Lalu tiba-tiba semua orang keluar kamar dan berkumpul di ruang tengah. Aku mengikuti Ningsih yang juga ikut duduk dan berkumpul. "Udah kumpul semua nih?" tanya Syifa kembali. "Udah, Teh!" jawab yang lain serempak. Aku sedikit heran. Padahal mereka baru pulang kerja, tapi semangatnya seperti baru bangun di pagi hari. "Nah, Queen. Sekarang kamu berdiri!" titahnya kemudian, dan semua tatapan langsung tertuju ke arahku. Dengan ragu aku berdiri perlahan. Rasanya sudah seperti ospek di kampus padahal belum pernah merasakan. Aku pun diam menunggu arahan. "Perkenalkan biasa dulu aja, Queen!" ujar Tari melihat aku diam saja. "Namaku Queenara Lathifah. Aku berasal dari Purwakarta. Aku hendak berkuliah di ITB. Aku …." Aku bingung apa lagi yang harus kukatakan, suasana canggung ini benar-benar membosankan. Tiba-tiba terdengar gelak tawa dari Syifa diiringi yang lainnya. Aku semakin salah tingkah. "Maaf, maaf, Queen. Kamu serius banget!" Dia masih saja menertawakanku. "Ya udah, sekarang yuk mulai aja!" ucapnya kemudian yang masih tak bisa dimengerti. Semua orang yang ada di sana mengumpulkan mie instan yang sejak tadi dibawa. Memang sejak awal, mata ini sedikit terusik melihat hampir semua orang membawanya kecuali aku dan Ningsih. Dan mungkin saat ini akan terjawab untuk apa itu semua. "Udah semua, ya? Nah Queen, pesta penyambutannya tuh kita makan mie instan yang dimasak disatuin. Dan yang masaknya harus kamu!" ucap Syifa membeberkan aturannya. Hah? Yang benar saja? Aku benar-benar merasa sedang ospek sekarang. "Nggak deng, bercanda! Tenang aja, ada koki khususnya kok! Kamu tinggal duduk manis aja sebagai pendatang baru!" tukas Syifa kemudian. Apa sih gak jelas banget! Maksud mereka ini apa? Kenapa aku seperti sedang dipermainkan! Aku diam saja, hanya senyum dan senyum yang menjawab. Sudahlah, biar bagaimanapun aku orang baru. Ikuti saja apa kata mereka. Kemudian seseorang dengan tubuh sedikit gendut berdiri. Menurutku dia paling gendut dan auranya baik. Dia memungut mie yang tadi dikumpulkan bersama dua orang lainnya. Aku pun ikut berdiri dan membantu mereka. "Eh, Queen gak usah! Kamu tunggu di sini aja!" ujar Syifa dengan suara sedikit berteriak. "Hehe, gak apa-apa, Teh. Aku mau bantu mereka," jawabku segera kembali memungut dan membawanya ke dapur bersama tiga orang tadi. Kemudian kakak yang bertubuh gendut tadi mengambil kuali besar. Kemudian menuangkan air ke dalamnya. Sedangkan dua orang yang lainnya membuka mie instan satu persatu. "Teh Queen gak perlu bantu, tunggu di ruang tengah aja padahal!" ucap Ningsih yang tiba-tiba muncul. "Nggak enak rasanya kalau aku diem aja!" sahutku seraya membuka mie instan mengikuti yang lainnya. "Emmm … maaf nih Teteh-teteh. Aku lupa nama kalian hehe," ucapku kemudian mengabaikan Ningsih yang masih berdiri di tempatnya. "Aku Nadia," ucap salah satu di antara dua orang tadi. "Nah, yang ini Wini," tunjuknya kemudian pada gadis di dekatnya. "Kalau yang itu teh Pibi." Gadis gendut tadi yang dia maksud. Pibi menoleh lalu tersenyum ke arahku. "Apa memang biasanya seperti ini ya, Teh?" tanyaku pada mereka. "Ya, begitulah," jawab Nadia. Saat ini mereka mematahkan mie-nya. Mungkin biar gak terlalu panjang setelah direbus nanti. Setelah air mendidih, Teh Pibi segera memasukkan mie yang telah kami patahkan. Kemudian memasukkan sayuran yang sebelumnya telah disiapkan. Tak lupa bumbu yang berada di dalam bungkus mie instan juga disertakan. Kulihat mie ini ada beberapa rasa. Entah, akan jadi apa nanti rasanya. Namun, aroma khas mie rebus tercium hidung menggugah selera.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD