Salah Paham

1307 Words
Aku tiba di rumah menjelang petang. Bunda tengah menunggu kepulanganku dengan penuh kecemasan. Ia langsung menghampiri begitu kami mengucapkan salam. "Kenapa baru pulang? Bunda sampai lelah menunggu dengan resah!" ucapnya sedikit dramatis. Aku tak menjawab hanya menoleh ke arah Iqbal. Biarkan dia saja yang menjelaskan! "Ternyata banyak kosan yang udah penuh, Bun. Jadi kita kunjungi ke beberapa tempat," jelas Iqbal. Memang benar sih apa yang dikatakannya. Hanya saja, jika kami mengunjungi kosan Indah lebih dulu mungkin gak gini jadinya. Aku berlalu masuk meninggalkan bunda dan Iqbal yang masih berdiri di teras. Penat menjalar di seluruh tubuh. Rasa lengket dari keringat siang pun terasa begitu bau. Aku memutuskan untuk segera membersihkan diri. Dengan merendam tubuh menggunakan air panas memang yang terbaik. Rasa lelah seolah hilang seketika tergantikan rasa nyaman pada tubuh ini. Sepuluh menit berlalu, aku segera menuntaskan aktivitas mandi ini. Kusambar handuk yang menggantung lalu mengeringkan badan seraya memakainya. Aku memilih pakaian tidur berlengan panjang, pakaian santai ternyaman yang cocok digunakan malam hari. Seharian aku tak membuka ponsel, kupastikan akan banyak pesan dari Rival, kekasihku. Namun, suara keroncongan di perut memaksaku keluar kamar menuju dapur mengurungkan niat untuk membuka ponsel yang lama terabaikan. Aku segera ke meja makan. Rupanya, Iqbal masih berada di sini. Bahkan ia tengah menikmati masakan bunda sebelum aku -yang sebagai anaknya- memakannya. Kupasang wajah masam. Biar dia tahu bahwa aku masih kesal dengan ulahnya. Namun, setelah dia selesai menghabiskan makannya ia berlalu begitu saja mengabaikan aku yang ada di sana. Menyebalkan! Kupasang telinga tajam tajam untuk memastikan apa yang akan dilakukannya kemudian. Terdengar Iqbal berpamitan pada bunda untuk langsung pulang. Ia juga berterima kasih atas masakan bunda yang barusan ia makan. Setelah itu, tak terdengar lagi suaranya. Tunggu! Apa dia benar-benar sedang mengabaikan aku? Pergi pulang tanpa pamit?! Hei, di sini harusnya aku 'kan yang marah dan aku yang mengabaikannya?! Lalu kenapa rasanya malah dia yang bersikap seperti itu? Segera ku habiskan makan malamku dengan cepat. Kemudian menghampiri bunda yang sedang menonton acara serial kesukaannya. "Udah makan?" tanya bunda yang sadar akan kedatanganku. "Udah, Bun." Aku ikut menonton tontonan itu. "Gimana, kosannya jadi dapat di mana?" tanya bunda kemudian. "Eh emang Iqbal gak bilang?" Agak heran karena biasanya bunda akan lebih banyak tanya pada Iqbal. "Dia cuma bilang kosannya udah dapat." "Ah, iya, Bun. Udah dapet dan letaknya gak jauh dari kosan Iqbal." "Deket? Kalo deket kenapa banyak kosan yang didatangi? Apa kamu kurang nyaman di situ jadi nyari dulu yang lain?" Ya, sudah kuduga bunda akan keheranan sama halnya diriku. "Nggak bukan, Bun. Karena emang letaknya juga di belakang kos Iqbal, jadi dia lupa ada kos di sana. Baru inget setelah kita berkeliling sana-sini." "Hahaha, ada-ada aja tuh anak! Tapi cocok 'kan kosannya sama kamu?" "Cocok, Bun. Tempatnya nyaman juga," jelasku. Bunda kembali fokus pada layar televisi di depan. Rasa kantuk menyerang, aku pun memutuskan kembali ke kamar. *** Aku memutuskan untuk tidur setelah melaksanakan sholat subuh. Namun, ponselku berdering sangat nyaring tapi bukan dari alarm. Baru saja aku beranjak untuk mengambil ponsel tersebut, deringnya berhenti. Aku pun memutuskan untuk kembali tidur. Ah, paling paling Iqbal mau minta maaf! Entah berapa lama aku tertidur hingga suara ponsel kembali membangunkanku. Kali ini aku benar-benar bangun dan bergegas mengambilnya. Tanpa kulihat siapa yang nelpon aku menjawabnya. "Hhhmmmm" Aku bergumam masih dengan mata terpejam. "Kemana aja? Dari kemarin susah dihubungi! Terus sekarang, udah siang gini masih belum bangun?!" ucap seseorang di seberang sana. Wait! Aku merasa suara ini berbeda dengan suara Iqbal. Cepat-cepat kulihat siapa yang menelepon, spontan mataku membelalak melihat nama yang tertera. Rival, dengan emoticon love di kedua sisinya. "Ah, maaf. Kemarin aku pulang malam, jadi lelah langsung tidur," jelasku pada si penelpon yang ternyata kekasihku. "Terus jam segini belum bangun juga?! Cewek pemalas!" umpat Rival. Entah, aku merasa tak terima dikatakan seperti itu. Aku segera melihat jam yang menempel di dinding kamar. Pukul tujuh pagi. Bagiku ini masih terbilang pagi. "Ya, b-bukannya gitu. Pokoknya tolong maafkan aku!" ujarku mengiba. "Dah lah!" Panggilan diputus. Aku membuka ponsel, ternyata banyak pesan dari Rival juga panggilan tak terjawab lima belas kali. Kubuka pesannya satu persatu. [Kamu dimana? Hari ini main, yuk!] [Kenapa gak balas? Lagi sibuk?] [Hey, kenapa biarin pesanku gitu aja!] [Balas dong!] [Queen, jangan buat aku naik darah!] [Wah, bener-bener kamu bikin aku hilang kesabaran!] [Woy! Gue marah nih!] [Jangan bilang lo lagi sibuk sama temen lo yang rese itu!] [Oke, kalo mau gini! Jangan nyesel, ya!] Pagi itu, suasana hatiku berubah seketika. Kesal, marah, bingung, semua bercampur menjadi satu. Memang, salahku karena tak memberi tahunya lebih dulu. Sungguh, aku lupa. Benar-benar lupa. Akan tetapi, aku merasa dia terlalu berlebihan dengan bereaksi seperti itu. Aku hubungi dia kembali untuk meminta penjelasan apa arti semua pesannya ini. Dan juga untuk menjelaskan semuanya apa yang kulakukan kemarin. Namun, panggilanku tak dijawab sama sekali. Aku mengulanginya hingga sampai tiga kali dan masih tetap sama. Ku ketik pesan, karena merasa sudah tak nyaman. [Kita ketemu hari ini] Tak ada balasan. Setelah lima menit kemudian aku kirim pesan lagi. [Atau kita putus saja!] Pesan terkirim. Tak lama balasan muncul. [Ayo, kita ketemu!] Seulas senyuman terukir di wajahku. Ya, rupanya dia tak mau jika harus sampai berpisah. Akan kuberi tahu agar dia tidak perlu berperilaku seperti itu. Aku segera bersiap, membersihkan diri lalu mencari pakaian yang nyaman digunakan hari ini. Tak lupa aku sarapan terlebih dahulu karena bunda telah menyiapkannya. Setelah semua selesai, aku telpon Rival agar segera menjemput. Sepuluh menit aku menunggu hingga ia pun datang dengan motor maticnya. Dia tersenyum dan menyapa seolah memang tak terjadi apa-apa sebelumnya. Aku pun membalasnya. "Kemana kita sekarang?" tanyanya setelah kudaratkan bokongku di jok bagian belakang. "Ke taman aja. Aku cuma mau ngobrol-ngobrol aja sama kamu," jawabku. "Oke, Sayang!" Motornya melaju dengan kecepatan sedang, tidak cepat juga tidak lambat. Hingga setelah kurang lebih satu kilometer ditempuh, kami pun sampai. Dia turun lalu menuntunku mencari kursi untuk ditempati. Setelah duduk, dia memintaku menunggu. Entah akan kemana dan aku menurut saja. Tak lama ia pun kembali dengan dua botol minuman di tangannya. "Maafkan aku, Queen. Aku terlalu terbawa suasana hati yang merindukan kamu," ucapnya seraya memberikan minuman yang sebelumnya ia bukakan untukku. Aku tersenyum. Tentu saja, ucapannya yang manis membuat aku meleleh. Aku melupakan semua umpatannya di ponsel hanya dengan ucapan permintaan maafnya barusan. Pertemuan yang aku rencanakan untuk menginterogasinya menjadi kencan biasa. Kami mengobrol ke sana ke mari tanpa membahas lagi hal yang sebelumnya terjadi. Biarlah. Toh dia sudah minta maaf. Dari taman, dia mengajakku ke tempat lain. Aku menuruti seperti sebelumnya, dan tanpa diduga dia mengajakku ke mall. Seketika, rasa ingin berbelanja sebagaimana kodratnya seorang wanita muncul dalam jiwaku. Terlebih melihat banyak diskon akhir pekan. Aku memintanya mengantar dari satu gerai ke gerai lain. Kuambil semua barang yang kuinginkan termasuk barang-barang yang nanti akan kubawa ke kosan. Setelah semua selesai kuambil, aku segera menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Kulihat air muka Rival sedikit berubah. Kemudian ia bergumam, "Cewek boros!" Pelan. Namun, masih terdengar oleh telingaku yang normal. "Kenapa, Val?" tegurku dan dia sedikit terkejut "Eh, ng-nggak. Sudah selesai belanjanya?" "Ya. Kamu sendiri gak beli apa-apa?" "Itu, nanti deh gampang." "Oh. Kalo mau cepet ambil aja nanti satuin, aku yang bayarin kok!" ucapku. "Ah, benarkah?" Mata yang semula kesal kini berubah jadi binar. Aku mengangguk. Sejurus kemudian ia pergi untuk mengambil keperluannya. Dan kembali dengan beberapa barang. Aku pun segera membayarnya. Setelah berbelanja. Ia mengajakku ke bagian bawah mall yang merupakan tempat makan. Kami makan di sana dan setelah itu pulang. "Jangan katakan kata putus lagi! Aku tak suka mendengarnya!" ucap Rival setelah aku turun dari motornya. "Ya … ya, maaf, Sayang!" "Pokoknya, untuk ke depan apa pun yang akan kamu lakukan tolong beri tahu aku. Biar aku gak salah paham." "Siap!" "Ya udah, aku pamit pulang ya!" Aku mengangguk lalu melambaikan tangan. Kemudian segera masuk setelah bayangannya hilang ditelan tikungan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD